Oleh : Dr. Nuraida Fitri Habi, S.Ag, M.Ag (Dosen Fakultas Syariah UIN STS Jambi dan Ketua Jaringan Demokrasi Indonesia (JADI) Provinsi Jambi)
INDONESIA akan menyelenggarakan perhelatan politik besar, pemilu nasional pemilihan presiden, DPR, DPD, DPRD, dan juga Pilkada serentak pada 2024. Pemilu serentak ini akan menjadi ujian yang sesungguhnya bagi bangsa Indonesia dalam menjalankan demokrasi.
Tantangan penyelenggaraan Pemilu 2024 dapat dikelompokan secara subtantif, teknis dan pragmatisme. Kondisi ini lahir dari dinamika dalam pemilihan presiden serta pemilihan legislatif pada tahun ini yang diramaikan dengan disinformasi yang bertebaran serta praktik pragmatisme politik.
Secara subtantif, momen 2024 dan 2029 akan menjadi tahapan konsolidasi yang penting untuk mencapai kematangan demokrasi di Indonesia. Pemilu tahun 2024 dapat menjadi tahapan konsolidasi demokrasi. Dimana kelembagaan Pemilu sudah semakin kuat sehingga proses penyelenggaraan pemilu juga turut disederhanakan, terutama dengan melakukan adopsi teknologi digital, dan semakin terbukanya peluang partisipasi elektoral untuk aktif berdialog terkait isu-isu strategis.
Kampanye yang dilakukan secara langsung maupun melalui media massa dan media sosial seringkali diwarnai oleh Politik Identitas. Hal tersebut selain berdampak buruk terhadap proses konsolidasi demokrasi Indonesia, juga berakibat pada polarisasi yang mengganggu integrasi banggsa Indonesia. Sehingga untuk mencegah terjadinya Politik Indentitas dan polarisasi pada Pemilu 2024 mendatang maka pemangku kebijakan perlu melakukan pemetaan dan menentukan langkah-langkah strategis untuk mereduksi praktik Politik Identitas tersebut.
Politik identitas berpotensi pada memecah belah bangsa dan menghambat perkembangan demokrasi. Padahal dampak politik identitas tidak hanya berpengaruh pada miskinnya ide dan gagasan yang semestinya menjadi ide dan gagasan, kampanye kontestasi pemilu. Dampak politik identitas, dapat menjadi lebih buruk dari itu, yaitu memecah belah bangsa dan memperlambat perkembangan demokrasi di Indonesia.
Selain itu tantangan yang dihadapi dalam melahirkan pemilu yang berkualitas juga menyangkut masalah teknis persiapan Pemilu, masalah partisipasi pemilih, masalah transparansi, dan tata kelola pemilu yang akuntabel, dan tahapan kampanye.
Termasuk dalam hal ini masalah penyelenggara wajah baru terpilih baik KPU dan Bawaslu yang belum memahami regulasi serta aspek teknis kepemiluan menjadi sebuah catatan yang harus diperhatikan, disini peran sekretariat sebagai pendukung administrasi dan teknis menjadi penting.
Selain itu tantangan teknis penyelenggaraan pemilu 2024 yang krusial adalah seleksi dan rekrutmen Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) melalui Panitia Pemungutan Suara (PPS) telah memasuki babak akhir.
Ini jadi tantangan terberat karena dalam proses seleksi KPPS ada potensi – potensi tindak pidana yang menyertainya/menimpanya sehingga perlu mitigasi /diketahuinya dari awal supaya tidak menabrak pasal pidana yang berujung penjara dan denda bagi oknum yang melakukannya.
KPPS sebagai Penyelenggara Ad-Hoc pemilu memiliki peran strategis dalam pemungutan dan penghitungan suara di TPS.
Apabila tidak memiliki integritas maka potensi perolehan suara potensi terjadi penyelewengan. KPPS ujung tombak dalam pemungutan suara, mulai membuka kotak suara, memegang surat suara, menghitung suara, menulis angka / hasil dalam rekapitulasi, mencatat, menyegel, menyuarakan suara sah dan tidak sah dengan ditunjukkan saksi dan pengawas, mendaftar pemilih, mencatat pemilih, dan sebagainya.
Dalam seleksi petugas KPPS dibutuhkan sosok yang memiliki integritas, kualitas, kredibilitas, skill, serta kejujuran.
Karena itu hal ini menjadi tantangan terberat KPU melalui PPS dalam melakukan seleksi KPPS yang benar – benar andal, kredibel, dan jujur.
Pemilu 2024 diikuti 18 partai politik, pada 2019 ada 16 partai politik, bertambah partai bearti kompetisi tambah berat yang memicu terjadi pragmatisme politik. Untuk mengambil atensi pemilih terjadilah kerentanan yang tinggi pada jual beli suara
Menelisik hal tersebut bisa dimulai dari analisa orientasi pemilih yang berfokus pada pemilihan presiden, yang akhirnya tidak memperhatikan pemilihan legislatif. Hal itu berdampak pada tantangan-tantangan lainnya yang menjurus pada langkah pragmatisme.
Merujuk data kasus pidana pemilu 2019 lalu, dengan 380 putusan inkrah. Menurut data tersebut, politik uang atau jual beli suara adalah kasus yang paling banyak terjadi dalam proses pemilu.
Berikutnya adalah tantangan, kapasitas pemilih yang bermasalah, karena terlalu sibuk dengan pemilihan presiden dan kurang mampu memberikan suara untuk pemilihan legislatif dengan benar. Akhirnya suara menjadi tidak sah atau salah dalam mencoblos sangat tinggi.
Sebagai contoh berdasarkan data Literasi Teknis Pemberian Suara, surat suara yang tidak sah dalam pemilihan DPR RI mencapai hingga 17,5 juta atau 11,2 persen dari jumlah pemilih 139.9 juta pada 2019. Lebih parah lagi pada pemilihan DPD RI, surat suara yang tidak sah berjumlah 29 juta atau 19 persen.
Hulu tantangan pragmatisme muncul karena kompetisinya sangat ramai dan ketat, walhasil peluang untuk menang menjadi begitu berat untuk didapat. Kondisi itu memicu pragmatisme dengan mengambil jalan pintas, menyebarkan hoaks disinformasi, dan dan ujaran kebencian, termasuk melakukan kecurangan.
Pragmatisme politik melahirkan pelanggaran yang berdaya rusak tinggi dilapangan dapat dipetakan berupa money politik yang tinggi dan masiv, KPPS mengarakan pilihan pemilih, mobilisasi pemilih, intimidasi pemilih d TPS, termasuk manipulasi dalam penghitungan suara berupa ; pencurian suara parpol yang tak lolos PT, migrasi ilegal suara partai ke caleg tertentu, pencurian suara antar caleg dan mengubah berita acara hasil perhitungan suara.
Terakhir dalam aspek penyelenggaraan Pemilu 2024 mencari format yang ideal demi menjaga asas penyelenggaraan Pemilihan Umum.
Format ideal Pemilu itu yang oleh banyak kalangan akademisi setidaknya juga harus memenuhi 5 indikator penting, pertama, prinsip penyelenggara Pemilu yang harus dipedomani, ke dua Pemilih cerdas dan bertanggung jawab, ketiga, produk dari pemilihan tersebut yakni pemerintahan yang baik dan bersih, tentu ini menjadi harapan kita semua bahwa prodak demokratisasi ditingkat local dengan biaya yang tinggi ini harus menghasilkan pemerintahan yang baik dan bersih. Indikator keempat, terwujudnya demokratisasi di internal Parpol dan yang kelima, wakil rakyat yang bertanggung jawab.
Kondisi ideal itu, yakni dengan berpedoman pada prinsip Cegah, Awasi, Tindak (CAT).
Pencegahan dilakukan secara preventif agar penyelenggaraan Pilkada dapat diminimalisasir pelanggarannya. Pengalaman penyelenggaraan Pemilu 2019 dan pilkada serentak 2020 harus dijadikan titik tolak untuk mencari solusi inovatif melalui kebijakan operasional penyelenggaraan dengan tetap mengacu koridor regulasi pemilu agar penyelenggaraan Pemilu 2024 dapat berjalan efektif, efisien, transparan dan akuntabel. Untuk keperluan ini, KPU perlu membuat road map sebagai acuan guna mengatasi tantangan-tantangan kompleksitas penyelenggaraan Pemilu 2024.
**
Discussion about this post