Jambiday.com, JAMBI– Provinsi Jambi bisa dikatakan terperangkap krisis pengangguran permanen. Penilaian ini disampaikan pengamat ekonomi Jambi Dr. Noviardi Ferzi tentang ketenagakerjaan (15/4).
Menurutnya meski cenderung tak kasat mata, di zaman Gubernur Al Haris masalah ketenagakerjaan terus menjadi masalah berkepanjangan yang disebabkan oleh ketidakmampuan ekonomi daerah menyerap tenaga kerja yang sangat besar jumlahnya dan terus meningkat relatif tinggi tiap tahunnya. Bahkan, Jambi bisa dikatakan terperangkap krisis pengangguran permanen.
“Salah satu ciri di Jambi adalah labor surplus economy, sehingga Indonesia mulai terperangkap krisis pengangguran permanen,” ungkap pengamat top Jambi ini.
Rilis Badan Pusat Statistik (BPS) provinsi Jambi mencatat 85 ribu orang masyarakat Provinsi Jambi masih menjadi pengangguran. Angka pengangguran ini sebenarnya menurun dari 86,46 ribu orang pada Agustus 2022 menjadi 85,58 ribu orang pada Agustus 2023 atau sebesar 4,59 persen pada Agustus 2022 mengalami penurunan menjadi 4,53 persen Agustus 2023.
Noviardi mengatakan membaca data ini secara awam saja kita sudah tahu penurunan ini tergolong kecil dibandingkan pertumbuhan ekonomi yang digembar – gemborkan terbaik nomor empat se Sumatera. Ekonomi Jambi tumbuh tanpa mampu menyentuh esensi pembangunan berupa lapangan kerja baru bagi masyarakatnya.
Selanjutnya ia memperkirakan, total pengangguran yang terdiri dari pengangguran resmi (open employment), pencari kerja (job seekers), dan setengah pengangguran (under employment) yang pada 2024 diperkirakan akan terus membengkak pada tahun-tahun berikutnya.
“Kalkulasi saya pada tahun 2023, angka resmi 85 ribu TPT, jika menghitung ketiga kategoro tadi jumlah pengangguran bisa mencapai 120 ribu orang, pada tahun 2024 akan meningkat bisa menjadi 87 ribu orang. Dengan jumlah total disemua kategorinya 126 ribu orang, ini kalkulasi saya, dengan asumsi pertumbuhan ekonomi, lapangan kerja dan lainnya, ” ungkapnya.
Krisis ini menurutnya akan menjadi lebih berat dengan semakin meningkatnya angka putus sekolah menjadi kurang lebih 76,973 orang orang per tahun. Dari jumlah tersebut, 53 persen di antaranya akan memasuki pasar kerja.
Anak putus sekolah SMA di Jambi per Januari 2022 tercatat 203 siswa dari jumlah siswa 76.973 atau 0,26 persen. Angka tersebut mencatat Jambi tertinggi persentase anak putus sekolah dari 6 provinsi lain.
Lalu siapa yang salah akan hal ini ?
Menurut saya angka pengangguran ini belum mengambarkan perbaikan ekonomi Jambi secara menyeluruh, kenapa ? Rilis BPS tidak mengambarkan angkatan kerja secara keseluruhan.
Bekerja didefinisikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh seseorang dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh pendapatan atau keuntungan, paling sedikit 1 jam (tidak terputus) dalam seminggu yang lalu.
Mereka yang tidak memenuhi kriteria itu atau tidak bekerja sama sekali disebut pengangguran terbuka. Persentasenya dari jumlah angkatan kerja disebut Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT).
Sehingga analisa saya, meningkatnya jumlah pekerja penuh tak serta merta bisa diartikan perbaikan ekonomi.
Perlu diketahui bahwa TPT hanya dihitung dari angkatan kerja saja. Penduduk usia muda yang bukan angkatan kerja tidak diperhitungkan dalam TPT usia muda. Misalnya yang sedang bersekolah. Dapat juga karena alasan lain seperti putus asa, kecacatan, kurangnya transportasi, pekerjaan rumah tangga, dan sebagainya
Pada Agustus 2022 misalnya jumlah pekerja penuh waktu di Jambi mencapai 1,11 juta orang meningkat sebesar 108 ribu orang dibanding Agustus 2021.
Dari data penganggur menurut usianya, salah satu yang menjadi perhatian adalah tentang indikator TPT usia muda. Usia muda dalam hal ini diartikan berumur 15-24 tahun. Indikator ini mencerminkan sejauh mana pemuda bersedia mencari pekerjaan atau mempersiapkan usaha dalam kegiatan ekonomi.
Perlu diketahui bahwa TPT hanya dihitung dari angkatan kerja saja. Penduduk usia muda yang bukan angkatan kerja tidak diperhitungkan dalam TPT usia muda. Misalnya yang sedang bersekolah. Dapat juga karena alasan lain seperti putus asa, kecacatan, kurangnya transportasi, pekerjaan rumah tangga, dan sebagainya.
TPT berdasar pendidikan dibedakan menurut tingkat pendidikan tertinggi yang ditamatkan. Antara lain: Sekolah Dasar (SD), Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SMP), Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SMA), Sekolah Lanjutan Tingkat Atas Kejuruan (SMK), Akademi, dan Universitas. TPT masing-masing dihitung dari persentase penganggur berpendidikan tersebut dari jumlah populasi kelompoknya.
TPT SMK selalu melampaui TPT umum atau keseluruhan. Hal ini menggambarkan banyak penduduk tamatan SMK tidak terserap dengan baik ke dalam pasar kerja Indonesia. Padahal, lulusan SMK diharapkan dapat langsung terjun dalam dunia kerja.
Sementara itu, banyak orang yang melanjutkan sekolah tinggi dengan harapan setelah lulus bisa mendapatkan pekerjaan yang sesuai. Namun pada kenyataannya, lapangan pekerjaan yang terbuka untuk itu pun tidak sesuai dengan harapan.
Sehingga pada faktanya, relatif tak ada perbaikan berarti dari data pengangguran tersebut. Justru pengangguran perkotaan akan menjadi momok tanpa mampu diserap lapangan kerja. (RED)
Discussion about this post