Jambiday.com, JAMBI – Pernyataan Gubernur Jambi Al Haris tentang Jumlah penduduk miskin di Provinsi Jambi terus berkurang ditanggapi secara skeptis oleh pengamat ekonomi Jambi Dr. Noviardi Ferzi. Berbicara di Jambi pengamat yang terkenal kritis ini mengatakan penurunan kemiskinan di bawah satu digit adalah hal yang semu.
Sebagai catatan jumlah penduduk miskin Provinsi Jambi turun dari 7,7 % tahun 2022 menjadi 7,58 % tahun 2023 atau sebesar 0,19 adalah penurunan kemiskinan yang semu.
Menurutnya sebetulnya penurunan tingkat kemiskinan saat ini semu. Sebab turunya tingkat kemiskinan tersebut lebih karena kebijakan yang instan, kebijakan yang altruistik, yaitu lebih karena besarnya bantuan sosial, bukan karena produktifitas rakyat.
“Semunya penurunan angka kemiskinan Jambi bisa dicermati juga dari adanya ironi ekonomi. Misalnya terkait inflasi bahan pangan,” ungkapnya di Jambi (25/4) hari ini.
“Menurut saya ada dua hal mengapa disebut angka tingkat kemiskinan saat ini semu, yaitu cara menurunkan angka kemiskinan dengan memperbanyak bantuan sosial dan fakta angka inflasi kebutuhan pokok yang masih tinggi,” ungkapnya.
Pengamat top Jambi ini juga menambahkan kesemuan angka kemiskinan karena kebijakan memperbanyak bantuan tersebut lebih bisa dipahami sebagai konteks konstruksi citra elite yang dilakukan rezim berkuasa. Menurut dia, ini ada korelasinya dengan jelang kontestasi politik 2024 mendatang.
“Dalam perspektif politik ini disebut imaging policy, yaitu kebijakan rezim berkuasa untuk membentuk citra,” jelasnya.
Noviardi menyebutkan penurunan tingkat kemiskinan terjadi seiring derasnya gelontoran dana bantuan sosial (bansos) dari pemerintah. Ia juga menilai penurunan kemiskinan hingga di bawah 6 persen wajar lantaran banjirnya dana Bansos. Menurut dia, langkah yang dilakukan pemerintah dalam mengatasi kemiskinan hanya solusi praktis, tanpa menyentuh akar permasalahan.
“Tidak ada yang istimewa, karena Bansos yang digelontorkan ratusan triliun, berkali-kali lipat. Kecuali Bansosnya minim, tapi program pemerintah tetap ampuh tekan kemiskinan, itu baru luar biasa,” ujarnya.
Ia pun menilai keberhasilan pemerintah menurunkan tingkat kemiskinan semu. Pasalnya, tingkat kemiskinan turun karena suntikan bansos, bukan karena peningakatan pendapatan riil masyarakat.
Dengan kondisi tersebut, menurut dia, bukan tidak mungkin tingkat kemiskinan penduduk akan naik jika dana bansos dikurangi.
Pengentasan kemiskinan dengan program bansos yang umumnya berorientasi pada pemenuhan kebutuhan konsumsi masyarakat miskin, menurut dia, bisa menimbulkan risiko.
Risiko pertama, masyarakat menjadi ketergantungan akan Bansos. Kedua, anggaran pemerintah bisa jebol.
Menurutnya, ketergantungan masyarakat akan Bansos mulai mendarah daging di masyarakat. Hal ini terlihat dari tingkat kemiskinan yang menurun, tapi pencari Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) justru kian marak.
Ia bilang, hal ini membuat mental masyarakat miskin kian miskin karena terlanjur senang menyandang predikat ini.
“Jangan sampai masyarakat senang mengaku miskin hanya untuk mencari kemudahan yang sebetulnya mereka tidak layak,” katanya.
Risiko kedua, kantong negara dan Pemda jebol. Pemerintah, menurut dia, tentunya tak mau prestasinya dalam menurunkan tingkat kemiskinan turun. Cara ampuhnya, hanya dengan menambah anggaran Bansos dari tahun ke tahun.
Pemerintah, menurut Noviardi juga perlu mengevaluasi sinkronisasi program pengentasan kemiskinan yang lebih terstruktur dan berkualitas bersama Kementerian/Lembaga (K/L) dan pemerintah daerah (Pemda). (RED)
Discussion about this post