Oleh: Riko Hamdan (Kasubsi Bimkesmaswat Lapas Kelas IIA Jambi)
ABSTRAK
Pemisahan Direktorat Jenderal Imigrasi (Ditjen Imigrasi) dan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS) dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) merupakan langkah yang diambil untuk mengatasi permasalahan struktural yang dihadapi oleh kedua sektor tersebut, guna meningkatkan efisiensi dalam pengelolaan sektor hukum dan pelayanan publik. Artikel ini bertujuan untuk menganalisis urgensi dan dampak dari pemisahan kedua direktorat tersebut terhadap tata kelola pemerintahan, alokasi anggaran, dan kualitas pelayanan publik di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitis. Tujuan penelitian ini adalah untuk menggali manfaat pemisahan Ditjen Imigrasi dan Ditjen PAS, serta mengevaluasi tantangan yang mungkin muncul dalam implementasi kebijakan ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemisahan ini berpotensi meningkatkan fokus dan efisiensi kedua sektor tersebut, dengan memungkinkan alokasi anggaran yang lebih tepat sasaran, mempercepat proses pengambilan keputusan, dan meningkatkan akuntabilitas dalam pengelolaan sektor imigrasi dan pemasyarakatan. Di sisi lain, pemisahan ini juga menghadirkan tantangan dalam hal koordinasi antar lembaga yang terpisah, serta perlunya sistem pengawasan yang lebih ketat untuk menghindari potensi penyalahgunaan.
Kata Kunci: Kemenkumham, Direktorat Imigrasi dan Pemasyarakatan, Pemisahan.
PENDAHULUAN
Saat pertama kali dibentuk, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dikenal dengan nama Departemen Kehakiman, yang mengelola berbagai tugas pemerintahan di bidang peradilan, administrasi hukum, pemasyarakatan, dan imigrasi. Lembaga ini secara resmi didirikan pada 19 Agustus 1945, dengan Prof. Dr. Mr. Soepomo, S.H. sebagai Menteri Kehakiman pertama. Seiring berjalannya waktu dan perubahan situasi politik, nama kementerian ini mengalami beberapa kali penyesuaian. Antara tahun 1999 hingga 2001, institusi ini dikenal sebagai Departemen Hukum dan Perundang-Undangan, kemudian berganti menjadi Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (2001-2004), dan selanjutnya menjadi Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (2004-2009). Akhirnya, sejak tahun 2009, lembaga ini dikenal dengan nama Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia seperti yang kita kenal sekarang.[1]
Salah satu bagian penting dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia saat ini adalah Direktorat Jenderal Imigrasi dan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, yang keduanya memainkan peran signifikan dalam melaksanakan tugas-tugas spesifik kementerian ini.
Direktorat Imigrasi dan Direktorat Pemasyarakatan di Indonesia didirikan sebagai upaya negara untuk memenuhi kebutuhan akan keamanan nasional, menjaga ketertiban sosial, serta mengelola individu yang melintas maupun berada dalam yurisdiksi hukum Indonesia sesuai dengan amanat Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2015 tentang Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Lembaga ini dibentuk untuk menjalankan dua fungsi utama yaitu mengawasi lalu lintas orang asing dan menjaga keamanan perbatasan melalui Direktorat Imigrasi, dan melakukan rehabilitasi serta pembinaan terhadap narapidana melalui Direktorat Pemasyarakatan.[2] Kedua direktorat ini awalnya berada di bawah Kementerian Hukum dan HAM, sebuah kementerian yang dibentuk dengan tujuan menyatukan fungsi hukum, keadilan, dan hak asasi manusia dalam satu lembaga yang efektif dan terintegrasi.
Pembentukan Direktorat Imigrasi dan Direktorat Pemasyarakatan masing-masing didorong oleh kebutuhan spesifik dalam menjaga kedaulatan negara dan memperkuat sistem hukum yang manusiawi. Direktorat Imigrasi lahir dari kebutuhan untuk melindungi kedaulatan Indonesia dari ancaman eksternal yang mungkin masuk melalui pergerakan warga negara asing.[3] Sejak awal kemerdekaan, pengawasan atas kedatangan dan keberangkatan orang asing menjadi penting untuk menjaga stabilitas nasional, termasuk melalui kebijakan visa, izin tinggal, hingga deportasi bagi pelanggar aturan. Fungsi ini semakin berkembang dengan meningkatnya arus wisatawan dan pelaku bisnis, di mana Direktorat Imigrasi berperan menjaga keamanan dan integritas wilayah negara di pintu-pintu masuk seperti bandara, pelabuhan, dan pos perbatasan. Sementara itu, Direktorat Pemasyarakatan difokuskan pada rehabilitasi dan pembinaan narapidana, menciptakan sistem penegakan hukum yang lebih manusiawi dengan memberi kesempatan bagi narapidana untuk mengembangkan keterampilan, kesadaran diri, dan kesiapan untuk berintegrasi kembali ke masyarakat. Program pembinaan ini mencakup pendidikan, pelatihan kerja, dan konseling, sebagai bagian dari komitmen negara terhadap perlindungan hak asasi manusia, yang menjadi nilai inti di Kementerian Hukum dan HAM.[4]
Pemerintah Indonesia berupaya mengintegrasikan fungsi hukum dan administrasi secara terpusat dengan menempatkan Direktorat Imigrasi dan Direktorat Pemasyarakatan di bawah Kementerian Hukum dan HAM.[5] Kebijakan ini bertujuan menciptakan koordinasi yang lebih terpadu dalam menjalankan dua fungsi krusial yaitu pengawasan keamanan perbatasan melalui Direktorat Imigrasi dan pengelolaan serta pembinaan narapidana melalui Direktorat Pemasyarakatan. Kementerian Hukum dan HAM berperan sebagai pusat kendali untuk menyatukan aspek hukum, pengawasan, dan rehabilitasi dalam satu sistem terintegrasi.
Namun, efektivitas sinergi ini akan bergantung pada sejauh mana kementerian mampu mengelola perbedaan prioritas dan kebutuhan operasional kedua direktorat tersebut. Integrasi ini diharapkan dapat memperkuat kemampuan responsif terhadap kebutuhan masyarakat dan tantangan global, namun tetap harus dievaluasi untuk memastikan bahwa perbedaan fungsi tidak menghambat kualitas pelayanan publik.
Seiring waktu, kompleksitas fungsi dan mandat yang diemban oleh Direktorat Imigrasi dan Direktorat Pemasyarakatan berkembang pesat dan semakin beragam. Meski berada di bawah satu kementerian, kedua direktorat ini menghadapi tantangan yang sangat berbeda sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing. Direktorat Imigrasi, dengan mandat untuk mengelola lalu lintas orang lintas negara, kini dihadapkan pada peningkatan mobilitas global, pengawasan ketat terhadap orang asing, dan ancaman keamanan internasional. Dinamika ini menuntut peningkatan kebijakan pengawasan dan respons cepat terhadap isu-isu keamanan yang kian kompleks. Sebaliknya, Direktorat Pemasyarakatan berfokus pada penguatan kapasitas rehabilitasi narapidana dan penerapan program reintegrasi sosial, dengan tujuan memberikan keterampilan dan dukungan yang memungkinkan narapidana untuk berintegrasi kembali ke masyarakat pasca-penahanan. Perbedaan esensial dalam fokus dan operasi kedua direktorat ini menimbulkan tantangan yang signifikan terkait efektivitas dan efisiensi manajerial, terutama karena keduanya masih bernaung di bawah kementerian yang sama, yang mengaburkan prioritas spesifik dan menimbulkan potensi konflik dalam pengelolaan sumber daya dan kebijakan.
Pelantikan Prabowo Subianto sebagai Presiden Republik Indonesia memberikan dorongan kuat bagi Kementerian Hukum dan HAM di bawah Kabinet Merah Putih untuk segera melakukan langkah-langkah strategis yang signifikan. Pasca pelantikan menteri dan wakil menteri oleh Presiden kedelapan RI pada Senin, 21 Oktober 2024, Kemenkumham menegaskan komitmennya untuk menjadi pionir dalam transformasi birokrasi, menjadi model bagi kementerian dan lembaga lain.[6] Transformasi ini mencakup restrukturisasi, baik melalui pemecahan maupun penggabungan kementerian, untuk memastikan kesesuaian dengan kebutuhan nasional dan fokus kerja yang jelas, sebuah pendekatan yang merupakan bagian dari kebijakan presiden. Presiden Prabowo menekankan pentingnya optimalisasi kinerja setiap kementerian berdasarkan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) serta penajaman program. Kemenkumham pun mulai mengambil langkah konkret untuk mewujudkan arah kebijakan tersebut, memastikan bahwa kementerian berperan sebagai penggerak utama dalam reformasi pemerintahan yang efektif dan terfokus.
Urgensi untuk membentuk Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dan Direktorat Jenderal Imigrasi sebagai kementerian independen semakin mendesak, mengingat kompleksitas tantangan di bidang pemasyarakatan dan imigrasi di Indonesia. Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dihadapkan pada persoalan serius berupa overkapasitas lembaga pemasyarakatan (lapas), yang mencapai 89% di atas kapasitas, dengan daya tampung sekitar
140.000 orang, namun diisi lebih dari 265.000 narapidana.[7] Situasi ini tidak hanya menurunkan kualitas pembinaan dan rehabilitasi tetapi juga memperbesar risiko pelanggaran hak asasi manusia, mengingat keterbatasan fasilitas dan tenaga rehabilitasi yang memadai. Lebih jauh, tingkat residivisme yang mencapai 18,12% dari total 268.001 tahanan dan narapidana per Februari 2020 menunjukkan adanya kelemahan dalam program pembinaan yang ada, serta urgensi peningkatan dalam program reintegrasi sosial yang efektif.[8] Data ini mengindikasikan bahwa sistem pemasyarakatan saat ini belum optimal dalam mencegah kembali terjadinya pelanggaran hukum di kalangan mantan narapidana, menegaskan perlunya fokus dan alokasi sumber daya khusus yang lebih terarah, yang dapat diwujudkan melalui pemisahan kedua direktorat menjadi kementerian mandiri.
Direktorat Jenderal Imigrasi dan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, dengan tanggung jawab dan fungsi yang sangat berbeda, menghadapi kebutuhan mendesak untuk dipisahkan dari Kementerian Hukum dan HAM guna meningkatkan efektivitas serta optimalisasi sumber daya. Direktorat Jenderal Imigrasi, yang bertugas dalam pengawasan keamanan perbatasan, pengelolaan visa, izin tinggal, serta deportasi, memerlukan respons cepat dan fleksibilitas kebijakan dalam menangani arus global dan potensi ancaman eksternal. Di sisi lain, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan berfokus pada rehabilitasi dan pembinaan narapidana, dengan tujuan menurunkan angka residivisme dan memastikan pemenuhan hak asasi manusia sesuai prinsip restorative justice. Pemisahan ini, yang sejalan dengan visi Presiden Prabowo untuk memaksimalkan fungsi setiap lembaga, juga akan meningkatkan akuntabilitas dan transparansi dengan memungkinkan masing-masing direktorat mengelola kebijakan yang lebih responsif terhadap kebutuhan khususnya.[9] Pada akhirnya, pemisahan ini diharapkan memperkuat sistem hukum dan keamanan nasional secara komprehensif.
Integrasi kedua direktorat dalam satu kementerian justru berpotensi mengurangi efektivitas pelayanan publik yang diharapkan dari perspektif kemanfaatan hukum bagi masyarakat. Hal ini sejalan dengan teori kemanfaatan hukum, hukum harus membawa manfaat bagi seluruh lapisan masyarakat atau utility of law, namun integrasi ini dapat menghambat pencapaian tujuan tersebut.[10] Direktorat Imigrasi, yang bertanggung jawab atas keamanan perbatasan, membutuhkan respons cepat dan fleksibilitas dalam kebijakan untuk menangani dinamika keamanan lintas negara yang terus berubah, sesuai dengan asas due process yang menuntut ketepatan dalam prosedur keamanan. Di sisi lain, Direktorat Pemasyarakatan bertanggung jawab untuk memberikan perlakuan yang humanis kepada narapidana dan berkomitmen pada program pembinaan jangka panjang, dengan memperhatikan prinsip restorative justice. Perbedaan orientasi dan kebutuhan ini sering kali menjadi hambatan dalam upaya memberikan pelayanan publik yang cepat dan tepat sasaran, sehingga masyarakat tidak mendapatkan kemanfaatan hukum secara optimal dari kedua direktorat ini, bertentangan dengan prinsip kemanfaatan hukum yang seharusnya dirasakan oleh semua pihak. Pemisahan Direktorat Imigrasi dan Direktorat Pemasyarakatan dari Kementerian Hukum dan HAM diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas masing-masing direktorat, di mana Direktorat Imigrasi dapat fokus pada kebijakan keamanan nasional dan pengelolaan migrasi, sementara Direktorat Pemasyarakatan berfokus pada program rehabilitasi dan reintegrasi sosial narapidana. Hal ini akan menciptakan struktur organisasi yang lebih terarah dan ramping, mempercepat pengambilan keputusan, serta meningkatkan respons terhadap tantangan di lapangan.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif analitis yang bertujuan untuk menggambarkan secara terperinci setiap poin penting yang disajikan dalam artikel, mulai dari latar belakang, alasan, urgensi, hingga implikasi dari pemisahan kedua direktorat ini. Dengan cara ini, pembaca dapat memperoleh gambaran menyeluruh mengenai argumentasi utama yang mendasari pentingnya pemisahan tersebut. Dalam penerapan metode deskriptif analitis, artikel dianalisis secara sistematis, dimulai dengan pemaparan masalah, seperti tugas dan tantangan yang dihadapi masing-masing direktorat dalam struktur Kementerian Hukum dan HAM saat ini. Setelah itu, alasan utama pemisahan diuraikan secara rinci, mencakup pertimbangan operasional, efisiensi, serta perbedaan fokus tugas kedua direktorat. Metode ini juga mencakup penjelasan mengenai urgensi pemisahan, yaitu kebutuhan mendesak akan alokasi sumber daya yang lebih terfokus dan respons kebijakan yang lebih cepat di setiap direktorat untuk menghadapi tantangan spesifiknya.
HASIL DAN PEMBAHASAN Urgensi Pemisahan Direktorat Jenderal Imigrasi dan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dari Kementerian Hukum dan HAM
Pemisahan Direktorat Jenderal Imigrasi (Ditjen Imigrasi) dan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS) dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) adalah salah satu langkah besar yang diambil oleh pemerintah Indonesia dalam rangka memperbaiki pengelolaan sektor hukum dan pelayanan publik. Pemisahan ini menjadi bagian dari kebijakan yang lebih luas di bawah Kabinet Merah Putih, setelah pelantikan Menteri dan Wakil Menteri oleh Presiden Prabowo Subianto, yang juga menyaksikan pembentukan beberapa kementerian baru.[11] Dalam konteks ini, Kemenkumham dipecah menjadi tiga kementerian yang lebih fokus: Kementerian Hukum; Kementerian HAM; serta Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan. Pemisahan ini tentu diharapkan membawa perubahan signifikan, tetapi sejauh mana perubahan tersebut akan berdampak positif, masih menjadi perdebatan.
Salah satu klaim yang sering diajukan oleh pendukung pemisahan ini adalah bahwa pemisahan akan meningkatkan fokus dan efisiensi pelayanan. Dalam hal ini, masing-masing direktorat dapat lebih terfokus pada tugas dan tanggung jawab yang spesifik, tanpa harus berbagi perhatian dengan sektor lain yang memiliki kebutuhan dan tantangan yang sangat berbeda. Sejalan dengan teori pemisahan kekuasaan, pemisahan ini juga mencerminkan prinsip dasar tujuan negara untuk menciptakan pemerintahan yang efektif dan efisien, di mana setiap lembaga atau sektor memiliki ruang dan kewenangan yang jelas untuk menjalankan fungsi-fungsi mereka secara optimal.[12] Dalam perspektif hukum, hal ini mengacu pada prinsip “delegasi kekuasaan” dan “kompetensi absolut”, di mana setiap entitas negara diberikan wewenang khusus untuk mengelola dan memutuskan urusannya sendiri tanpa intervensi yang tidak relevan dari sektor lain.[13] Ditjen Imigrasi, misalnya, akan lebih leluasa dalam menangani masalah yang berkaitan dengan pengawasan orang asing, pengelolaan paspor dan visa, serta isu-isu yang menyangkut diplomasi internasional. Sementara itu, Ditjen PAS akan lebih fokus pada pembinaan narapidana, rehabilitasi sosial, dan upaya reintegrasi sosial. Dalam konteks ini, pemisahan ini seharusnya dapat mempermudah kedua direktorat untuk menyesuaikan strategi kebijakan yang lebih sesuai dengan tantangan masing-masing. Namun, pertanyaannya adalah apakah pemisahan ini benar-benar akan menghasilkan kinerja yang lebih baik? Ataukah justru akan menciptakan birokrasi yang lebih rumit dan tumpang tindih?
Salah satu keuntungan yang banyak diharapkan dari pemisahan ini adalah peningkatan akuntabilitas dan transparansi. Dengan pemisahan, setiap kementerian atau direktorat dapat lebih mudah diukur kinerjanya, karena tanggung jawab yang lebih jelas. Dalam hal ini, anggaran yang sebelumnya bisa tumpang tindih antar sektor kini dapat dialokasikan dengan lebih tepat sasaran, sehingga dapat lebih efektif dalam mendukung program-program yang ada. Namun, tantangan besar yang harus dihadapi adalah bagaimana memastikan bahwa sistem pengawasan yang baru ini dapat berjalan secara efektif. Di sektor imigrasi, kita tahu bahwa sektor ini memiliki kerentanannya sendiri, seperti potensi penyalahgunaan dalam penerbitan visa atau paspor, serta potensi risiko terorisme yang melibatkan warga negara asing.[14] Di sisi lain, Ditjen PAS juga tak luput dari potensi penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi yang berkaitan dengan pengelolaan lembaga pemasyarakatan. Oleh karena itu, meskipun pemisahan ini memberikan peluang untuk pengawasan yang lebih terfokus, kita tidak boleh melupakan pentingnya sistem kontrol yang ketat untuk mencegah potensi penyimpangan.
Di sisi lain, pemisahan ini juga membuka peluang bagi peningkatan kapasitas pengawasan. Ditjen Imigrasi dan Ditjen PAS adalah dua lembaga yang selama ini dikenal memiliki tingkat kerentanannya yang tinggi terhadap tindakan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Ditjen Imigrasi, yang mengelola berbagai kebijakan keimigrasian, sering kali menjadi sorotan dalam kasus-kasus penyalahgunaan izin tinggal dan peraturan imigrasi lainnya. Begitu pula dengan Ditjen PAS, yang kerap dihadapkan pada masalah seperti over kapasitas penjara, kondisi narapidana yang tidak terkelola dengan baik, dan program rehabilitasi yang belum optimal. Berdasarkan data terbaru, jumlah penghuni pemasyarakatan di Indonesia mencapai 276.127 orang, sementara kapasitas penjara yang tersedia hanya untuk 145.404 orang.[15] Hal ini menciptakan ketidakseimbangan yang signifikan, dengan lebih dari dua kali lipat jumlah narapidana dan tahanan melebihi kapasitas yang ada. Pemisahan ini diharapkan dapat memberikan ruang bagi kedua lembaga tersebut untuk meningkatkan pengawasan internal dan eksternal yang lebih intensif. Namun, apakah pemisahan ini benarbenar mampu mengurangi potensi penyalahgunaan dalam dua sektor ini? Pengawasan yang lebih ketat tentu diperlukan, tetapi harus ada keberanian untuk memberantas budaya korupsi yang sudah mendarah daging. Pemisahan Kemenkumham menjadi tiga kementerian yang berbeda akan membutuhkan koordinasi yang sangat intensif di antara kementeriankementerian tersebut. Kementerian Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan yang dipimpin oleh Menko Yusril Ihza Mahendra akan menjadi pusat koordinasi[16], namun apakah kemampuan koordinasi antar kementerian ini bisa berjalan dengan lancar tanpa menciptakan tumpang tindih kebijakan dan program? Tidak sedikit pihak yang khawatir bahwa pembagian tugas yang lebih terfokus justru akan menghambat komunikasi antara lembaga yang saling bergantung. Oleh karena itu, selain pemisahan yang lebih fokus, penting bagi pemerintah untuk memastikan bahwa sistem koordinasi antara kementerian dapat berfungsi dengan baik.
Pemisahan ini menawarkan peluang untuk memperkuat pengelolaan sumber daya manusia (SDM). Dengan fokus yang lebih tajam, masing-masing direktorat atau kementerian dapat lebih mudah untuk merekrut dan melatih tenaga ahli yang sesuai dengan kebutuhan spesifik mereka. Ditjen Imigrasi, misalnya, dapat lebih fokus dalam merekrut profesional di bidang keamanan internasional dan diplomasi, sementara Ditjen PAS dapat lebih menekankan pada pengembangan keterampilan dalam rehabilitasi narapidana dan pembinaan sosial. Pemisahan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS) dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) bukan hanya sebuah langkah administratif, tetapi juga merupakan upaya untuk mengatasi permasalahan struktural yang telah lama menghambat pengelolaan lembaga pemasyarakatan (lapas) di Indonesia. Dalam konteks ini, pemisahan Ditjen PAS menjadi urgensi yang semakin jelas, terlebih setelah banyak pihak, termasuk akademisi dan lembaga negara, menilai bahwa sektor.
pemasyarakatan membutuhkan perhatian khusus yang tidak dapat lagi dibatasi oleh kerangka kerja Kemenkumham yang juga mengelola sektor-sektor lainnya. Seperti yang diungkapkan oleh Handoyo Sudradjat, mantan Dirjen Pemasyarakatan pada 2015, pemisahan pemasyarakatan dari Kemenkumham adalah langkah fundamental untuk menciptakan sistem yang lebih efisien dan terfokus. Ia menyarankan pembentukan Badan Pemasyarakatan Nasional (Bapasnas) yang akan langsung bertanggung jawab kepada presiden, sebagai solusi jangka panjang untuk mengatasi masalah-masalah di sektor ini.[17]
Berdasarkan data yang ada, masalah utama yang dihadapi oleh Ditjen PAS adalah over kapasitas yang parah, dengan jumlah penghuni yang mencapai 276.127 orang, jauh melebihi kapasitas yang tersedia, yakni hanya 145.404 orang.[18] Kondisi ini menciptakan ketidakseimbangan yang tidak hanya berdampak pada fasilitas dan kualitas pembinaan yang diberikan kepada narapidana, tetapi juga menambah tekanan pada anggaran negara yang sudah terbatas. Menurut Sudradjat, meskipun ada tambahan anggaran sebesar Rp 450 miliar, hal tersebut masih belum mencukupi untuk memenuhi standar fasilitas dan pelatihan petugas, serta pengelolaan lapas yang sesuai dengan kebutuhan dan standar internasional.[19] Dengan adanya pemisahan, Ditjen PAS dapat mengalokasikan anggaran dengan lebih fokus dan efektif, tanpa harus bersaing dengan sektor-sektor lain dalam Kemenkumham yang memiliki prioritas berbeda. Ini memberikan kesempatan bagi Ditjen PAS untuk mengembangkan sistem pemasyarakatan yang lebih berorientasi pada rehabilitasi dan reintegrasi sosial narapidana, serta meningkatkan kualitas fasilitas yang ada.
Pemisahan ini juga membuka ruang untuk reformasi birokrasi yang lebih tajam dan tepat sasaran. Dengan struktur yang lebih terfokus, Ditjen PAS dapat mempercepat pengambilan keputusan yang selama ini terhambat oleh proses birokrasi yang berbelit-belit. Ditjen Imigrasi dan Ditjen PAS memiliki karakteristik tugas yang sangat berbeda, sehingga memiliki kebutuhan yang berbeda pula dalam hal pengelolaan sumber daya dan kebijakan.[20] Ditjen PAS, yang berfokus pada pengelolaan lapas dan pembinaan narapidana, membutuhkan pengelolaan yang lebih spesifik, terstruktur, dan fokus pada pengembangan kapasitas SDM, rehabilitasi, serta peningkatan fasilitas. Sementara itu, Ditjen Imigrasi, yang berhubungan dengan urusan internasional dan keamanan perbatasan, membutuhkan kebijakan dan pengelolaan yang berbeda. Pemisahan ini memungkinkan masing-masing sektor untuk lebih optimal dalam menjalankan tugas dan fungsinya, mengurangi tumpang tindih anggaran dan mempercepat respons terhadap tantangan yang ada. Meskipun pemisahan Ditjen PAS dari Kemenkumham telah menjadi wacana yang lama berkembang, urgensinya kini semakin jelas. Sistem pemasyarakatan di Indonesia membutuhkan perubahan yang lebih fundamental, dan pemisahan ini merupakan langkah pertama menuju perbaikan yang lebih efektif. Permasalahan over kapasitas, kekurangan fasilitas, dan kualitas pembinaan yang masih jauh dari standar internasional hanya dapat diatasi dengan pembenahan yang lebih terstruktur dan fokus.[21]
Pemisahan dalam hal ini akan menghadapi tantangan utama yaitu bagaimana memastikan bahwa SDM yang direkrut dan dilatih dapat bekerja sesuai dengan standar profesionalisme yang tinggi dan dapat mengatasi berbagai tantangan yang ada. Peningkatan profesionalisme bukan hanya soal pelatihan, tetapi juga soal menciptakan budaya kerja yang mendukung transparansi, akuntabilitas, dan pemberantasan korupsi. Pemisahan Direktorat Jenderal Imigrasi dan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dari Kementerian Hukum dan HAM memang merupakan langkah strategis yang dapat membawa dampak positif jika dijalankan dengan baik. Namun, kita harus kritis terhadap potensi tantangan yang akan muncul, terutama terkait koordinasi antar lembaga, pengawasan yang efektif, dan peningkatan kapasitas SDM. Pemisahan ini bukanlah solusi instan, melainkan sebuah proses yang membutuhkan perhatian dan pengelolaan yang matang agar dapat benar-benar membawa perubahan yang signifikan bagi kualitas pelayanan publik di Indonesia.
Pemisahan Direktorat Jenderal Imigrasi (Ditjen Imigrasi) dan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS) dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) bukan hanya berfokus pada efisiensi internal, tetapi juga berkaitan erat dengan pemenuhan standar internasional. Imigrasi dan pemasyarakatan merupakan sektor yang sangat terhubung dengan berbagai konvensi internasional, seperti hak asasi manusia, keamanan internasional, dan reformasi peradilan.[22] Dengan pemisahan ini, setiap direktorat akan lebih mudah menyesuaikan kebijakan dan prosedur mereka dengan tuntutan internasional. Ditjen Imigrasi dapat lebih cepat mengimplementasikan kebijakan sesuai dengan peraturan internasional terkait pengawasan orang asing dan pencegahan perdagangan manusia, sementara Ditjen PAS bisa lebih fokus pada penerapan standar hak asasi manusia dalam penanganan narapidana, serta pembinaan sosial yang berbasis pada reformasi peradilan. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan kredibilitas Indonesia di mata internasional dan memperkuat kerjasama lintas negara.
Pemisahan ini berpotensi meningkatkan kepuasan dan kepercayaan publik terhadap kedua sektor tersebut, baik di bidang imigrasi maupun pemasyarakatan. Dengan alokasi anggaran yang lebih jelas dan langsung sesuai kebutuhan masing-masing sektor, Ditjen Imigrasi dapat mengembangkan infrastruktur keamanan perbatasan dan teknologi informasi dengan lebih efektif, sedangkan Ditjen PAS dapat lebih fokus pada peningkatan fasilitas rehabilitasi dan pembinaan. Kejelasan ini akan mempermudah pengelolaan anggaran dan memastikan dana digunakan secara efisien, sehingga meningkatkan kualitas layanan dan memperkuat kepercayaan publik terhadap kinerja pemerintah. Penyederhanaan ini bukan hanya menguntungkan dari segi administrasi, tetapi juga memberikan dampak positif dalam meningkatkan akuntabilitas dan transparansi di kedua lembaga yang terpisah.
Mengingat kondisi over kapasitas yang terjadi di lembaga pemasyarakatan dan tantangan besar terkait pengelolaan fasilitas keamanan perbatasan, langkah pemisahan ini menjadi sangat tepat saat ini. Di sektor pemasyarakatan, kapasitas penjara yang melebihi batas, dengan lebih dari 270.000 narapidana, menunjukkan kebutuhan mendesak untuk pengelolaan yang lebih terfokus dan efisien.[23] Di sisi lain, pengembangan infrastruktur keamanan perbatasan yang lebih baik juga menjadi prioritas, terutama dengan ancaman global yang terus berkembang, seperti perdagangan manusia dan potensi penyelundupan. Pemisahan ini memberikan kesempatan bagi Ditjen Imigrasi untuk lebih fokus dalam memperkuat infrastruktur perbatasan, sementara Ditjen PAS bisa lebih intens dalam mengatasi permasalahan over kapasitas dan meningkatkan kualitas fasilitas rehabilitasi. Dengan begitu, pemisahan ini dapat mengatasi masalah mendesak dan membawa perubahan yang lebih signifikan dalam kedua sektor yang memiliki peran krusial dalam menjaga keamanan dan keadilan di Indonesia.
Kemanfaatan Hukum bagi Masyarakat dan Institusi Penegak Hukum melalui Pemisahan Direktorat Imigrasi dan Direktorat Pemasyarakatan dari Kementerian Hukum dan HAM
Pemisahan Direktorat Jenderal Imigrasi dan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dari Kementerian Hukum dan HAM merupakan langkah yang penting untuk meningkatkan kemanfaatan hukum bagi masyarakat dan efektivitas institusi penegak hukum. Saat ini, tugas-tugas imigrasi dan pemasyarakatan diatur dalam Pasal 7 Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 139 Tahun 2024 tentang Penataan Tugas dan Fungsi Kementerian Negara Kabinet Merah Putih Periode Tahun 2024-2029, yang menempatkan Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan sebagai lembaga terpisah untuk memimpin dan mengoordinasikan urusan pemerintahan terkait imigrasi dan pemasyarakatan. Ketentuan ini merupakan pengembangan dari Perpres Nomor 18 Tahun 2023 tentang Kementerian Hukum dan HAM, yang menjelaskan bahwa penyelenggaraan suburusan dalam imigrasi dan pemasyarakatan masih berada di bawah satu atap kementerian. Pemisahan ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas layanan dan menciptakan efisiensi yang lebih baik bagi masing-masing fungsi kelembagaan.
Menurut teori kemanfaatan hukum (utility of law) oleh Jeremy Bentham, hukum seharusnya menghasilkan manfaat terbesar bagi masyarakat, memberikan perlindungan hukum yang tepat dan efisien.[24] Dengan pemisahan, Direktorat Jenderal Imigrasi dan Pemasyarakatan akan memiliki otonomi yang lebih besar untuk melayani masyarakat sesuai dengan kebutuhan spesifik mereka. Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, misalnya, akan lebih fokus pada penyelenggaraan kebijakan di bidang pembinaan, pembimbingan
kemasyarakatan, pengamanan, serta intelijen pemasyarakatan seperti yang diatur dalam Pasal 21 Perpres Nomor 18 Tahun 2023. Fungsi-fungsi ini mencakup pembinaan dan pengawasan warga binaan serta pengelolaan benda sitaan dan barang rampasan negara, yang memerlukan pendekatan yang sangat berbeda dari layanan keimigrasian. Dengan pemisahan, Ditjen Pemasyarakatan bisa lebih optimal dalam menjalankan tugas-tugasnya tanpa terganggu oleh urusan imigrasi yang berbeda karakteristiknya.
Sebaliknya, pemisahan juga memungkinkan Direktorat Jenderal Imigrasi untuk lebih fokus pada layanan lintas batas dan penegakan hukum keimigrasian. Dalam Pasal 25 Perpres No. 18 Tahun 2023, disebutkan bahwa Ditjen Imigrasi memiliki tanggung jawab dalam pelayanan fasilitas keimigrasian, penegakan hukum, keamanan keimigrasian, dan pengelolaan perlintasan negara. Tanggung jawab ini mencakup penyediaan layanan seperti pengurusan paspor, visa, dan pengawasan pergerakan lintas batas yang semuanya berimplikasi langsung pada keamanan dan diplomasi internasional. Dalam survei Kementerian PAN-RB pada 2022, indeks kepuasan masyarakat terhadap layanan keimigrasian masih tergolong rendah pada angka 70,8%.[25] Pemisahan ini diharapkan dapat mengatasi masalah efisiensi dan transparansi, memungkinkan Ditjen Imigrasi untuk mengembangkan sistem yang lebih responsif dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat, sehingga meningkatkan kemanfaatan hukum bagi para pengguna layanan imigrasi.
Lebih lanjut, pemisahan ini dapat memperkuat fungsi pengawasan dan akuntabilitas. Dengan dua direktorat yang mandiri, pengawasan terhadap pelaksanaan tugas di masingmasing bidang dapat dilakukan secara lebih spesifik, memungkinkan adanya akuntabilitas yang lebih tinggi atas kinerja dan transparansi pengelolaan anggaran. Pengawasan yang efektif ini dapat meminimalisir risiko penyalahgunaan wewenang dan praktik korupsi yang sering kali menjadi sorotan di lembaga pemerintahan. Sektor imigrasi dan pemasyarakatan di berbagai negara termasuk Indonesia kerap dianggap rawan terhadap praktik korupsi, seperti yang ditunjukkan oleh laporan Transparency International.[26] Dengan adanya pengawasan yang lebih kuat, pemisahan ini diharapkan dapat memperbaiki citra dan kredibilitas kedua sektor ini di mata publik.
Selain itu, pemisahan ini mendukung reformasi profesionalisme dan pengembangan sumber daya manusia di kedua direktorat. Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dapat lebih memfokuskan tenaga profesionalnya untuk menangani proses pembinaan warga binaan yang mengutamakan rehabilitasi dan reintegrasi sosial. Sementara itu, Direktorat Jenderal Imigrasi bisa lebih mengembangkan keahlian SDM dalam urusan keamanan perbatasan dan diplomasi, sesuai dengan standar internasional dan teknologi informasi modern di bidang keimigrasian. Pemisahan ini memungkinkan masing-masing lembaga untuk membentuk budaya kerja dan standar pelayanan yang lebih sesuai dengan kebutuhan unik mereka, sehingga mendukung kepastian hukum dalam pelaksanaan tugas masing-masing direktorat.
Pemisahan Ditjen Imigrasi dan Pemasyarakatan juga berdampak positif bagi stabilitas sosial dan keamanan nasional. Dengan pengelolaan yang lebih baik di masing-masing bidang, stabilitas sosial dapat lebih terjaga karena Ditjen Imigrasi memiliki kontrol lebih baik terhadap lalu lintas orang yang keluar dan masuk wilayah Indonesia, sementara Ditjen Pemasyarakatan dapat memberikan layanan pemasyarakatan yang mendorong rehabilitasi dan reintegrasi warga binaan ke masyarakat secara efektif. Dalam teori kemanfaatan hukum, stabilitas sosial dan keamanan adalah unsur penting dari kemanfaatan hukum yang dapat memberikan kesejahteraan dan keamanan kepada masyarakat secara menyeluruh. Akhirnya, pemisahan ini diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan publik terhadap institusi hukum di Indonesia. Masyarakat yang merasakan manfaat langsung dari layanan yang lebih cepat, responsif, dan profesional akan memiliki kepercayaan lebih tinggi terhadap lembaga hukum, mengurangi persepsi negatif yang selama ini kerap terkait dengan birokrasi yang lamban dan tidak transparan. Berdasarkan teori kemanfaatan hukum, kepercayaan publik adalah komponen penting yang mendukung efektivitas hukum itu sendiri. Ketika masyarakat percaya bahwa hukum benar-benar melayani kepentingan mereka, efektivitas hukum akan meningkat, dan stabilitas sosial akan lebih mudah dicapai.
Secara keseluruhan, pemisahan Direktorat Jenderal Imigrasi dan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan membawa manfaat besar bagi kemaslahatan masyarakat dan efektivitas hukum di Indonesia. Langkah ini tidak hanya memperkuat kualitas dan akuntabilitas pelayanan di masing-masing direktorat tetapi juga mendukung pencapaian hukum yang lebih bermanfaat, sesuai dengan prinsip-prinsip utilitarianisme hukum yang berupaya memberikan manfaat maksimal bagi masyarakat luas. Dalam hal ini, cita-cita hukum Indonesia, yang berorientasi pada keadilan, kemanfaatan, dan kesejahteraan sosial, dapat lebih terwujud dengan pemisahan yang memberikan ruang bagi masing-masing sektor untuk berfungsi secara optimal sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dengan pemisahan ini, masyarakat diharapkan akan merasakan manfaat nyata dari layanan yang lebih profesional, transparan, dan responsif, sehingga meningkatkan kepercayaan terhadap institusi hukum di Indonesia. Hukum yang dijalankan harus berfungsi untuk melayani kepentingan publik secara efisien, mengurangi ketimpangan, serta memfasilitasi akses yang lebih mudah bagi masyarakat. Pemisahan ini memungkinkan kedua direktorat untuk lebih fokus dalam mewujudkan citacita hukum tersebut, terutama dalam konteks pemasyarakatan yang memerlukan pendekatan rehabilitasi yang lebih efektif, dan imigrasi yang membutuhkan pengawasan lintas negara yang lebih ketat. Dengan demikian, pemisahan ini bukan hanya langkah administrasi, tetapi juga merupakan upaya untuk memperkuat pencapaian tujuan hukum yang lebih adil dan berorientasi pada kesejahteraan masyarakat.
KESIMPULAN
Pemisahan Direktorat Jenderal Imigrasi dan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) merupakan langkah strategis yang penting untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengelolaan kedua sektor ini. Pemisahan ini diharapkan dapat mengoptimalkan alokasi sumber daya, meningkatkan profesionalisme, dan memfokuskan kebijakan sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan masing-masing sektor. Di sisi lain, tantangan utama yang akan dihadapi adalah memastikan koordinasi yang efektif antara lembaga-lembaga yang terpisah, serta peningkatan kapasitas pengawasan dan akuntabilitas di masing-masing sektor. Dalam perspektif hukum, pemisahan ini berhubungan langsung dengan prinsip kemanfaatan hukum, yang bertujuan untuk memberikan pelayanan hukum yang lebih efisien dan memberikan manfaat maksimal bagi masyarakat. Dengan pemisahan ini, diharapkan sektor imigrasi dapat lebih responsif dalam mengelola kebijakan keimigrasian dan pengawasan perbatasan, sementara sektor pemasyarakatan dapat lebih fokus dalam rehabilitasi dan reintegrasi narapidana ke masyarakat. Akhirnya, pemisahan ini memiliki potensi besar dalam memperbaiki kualitas pelayanan publik dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi hukum di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Rasyid Hendarto, dkk, Kapita Selekta Pemasyarakatan Edisi III” Back to Basic, Jakarta: IDE Publishing.
Ahmad Sanusi, “Evaluasi pelaksanaan pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan terbuka” Jurnal ilmiah kebijakan hukum, Vol 13 No 2 (2019): 123-138
Aliyuddin Abd Rasyid, Hendra Harmain, Analisis Penerapan Prinsip Akuntansi dalam Meningkatkan Akuntabilitas Laporan Keuangan Masjid di Indonesia, 2018
Antara Babel News, “Kemenkumham siap bertransformasi dalam Kabinet Merah Putih” https://babel.antaranews.com/berita/442381/kemenkumham-siap-bertransformasidalam-kabinet-merah-putih diakses pada 10 November 2024
Arief Budiono, “Teori utilitarianisme dan perlindungan hukum lahan pertanian dari alih fungsi” Jurnal Jurisprudence, Vol 9 No 1 (2019): 102-119
CNN Indonesia, “Pemerintah Diminta Segera Tambah Lapas Atasi Over Kapasitas” https://www.cnnindonesia.com/nasional/20241110183239-12-1165043/pemerintahdiminta-segera-tambah-lapas-atasi-over-kapasitas diakses pada 12 November 2024
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM RI, “Handoyo Ingin Ditjen PAS Terpisah Dari Kemenkum HAM dan Jadi Bapasnas”
https://www.ditjenpas.go.id/handoyo-ingin-ditjen-pas-terpisah-dari-kemenkum-hamdan-jadi-bapasnas diakses 12 November 2024
Elwi Danil, Korupsi: Konsep, Tindak Pidana Dan Pemberantasannya-Rajawali Pers, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
EMedia DPR RI, “Keadilan Restoratif Jadi Solusi Kelebihan Kapasitas pada Lapas dan Rutan” https://emedia.dpr.go.id/2023/10/20/keadilan-restoratif-jadi-solusi-kelebihankapasitas-pada-lapas-dan-rutan/ diakses pada 12 November 2024
F.M. Putra, “Kebijakan Keimigrasian Dalam Upaya Pemberantasan Dan Pencegahan Perdagangan Manusia (Immigration Policy In Efforts To Eradication And Prevention Of Human Trafficking)” Journal of Law and Border Protection, (2020)
Grace Sharon, Sogar Simamora, Konsesi Sebagai Instrumen Untuk Mewujudkan Pembangunan Nasional, Sleman: Deepublish Digital.
Hidayat Chusnul Chotimah, “Identitas Nasional dan Norma Internasional Sebagai Pertimbangan Politik Indonesia” urnal Politica Dinamika Masalah Politik Dalam Negeri dan Hubungan Internasional, Vol 7 No 2 (2018)
Juniarso Ridwan, Hukum administrasi Negara dan kebijakan pelayanan publik, Bandung: Nuansa Cendikia.
Kantor Wilayah Kemenkumham RI Provinsi DKI Jakarta, “Kemenkumham Siap
Bertransformasi dalam Kabinet Merah Putih” https://jakarta.kemenkumham.go.id/berita-utama/kemenkumham-siapbertransformasi-dalam-kabinet-merah-putih diakses pada 12 November 2024
Kementerian Hukum dan HAM RI, “Sejarah Kemenkumham RI” https://kemenkumham.go.id/profil-2/sejarah-kemenkumham-ri diakses pada 12 November 2024
Kementerian Hukum RI, “Kemenkumham Siap Bertransformasi dalam Kabinet Merah Putih” https://www.dilaw.id/berita/kemenkumham-siap-bertransformasi-dalamkabinet-merah-putih diakses pada 12 November 2024
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, “Laporan Kepuasan Pelayanan Informasi Publik” https://ppid.menpan.go.id/standar-layanan/laporankepuasan-pelayanan-informasi/ diakses pada 24 November 2024
Kompas.com “Lapas di Indonesia “Overcrowded”, Kapasitas 140.000, Penghuninya 265.000 Orang” https://nasional.kompas.com/read/2024/06/13/07562511/lapas-di-indonesiaovercrowded-kapasitas-140000-penghuninya-265000-orang diakses pada 10 November 2024
Kompas.com, “Daftar Kementerian di Bawah Kemenko Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan” https://nasional.kompas.com/read/2024/10/21/13200371/daftarkementerian-di-bawah-kemenko-bidang-hukum-ham-imigrasi-dan diakses pada 12 November 2024
Mita Noveria, Kedaulatan Indonesia di Wilayah Perbatasan: Perspektif Multidimensi, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor.
Muhammad Ali Zaidan, “Zaidan, M. A. (2017). Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
(Pendekatan Kebijakan Kriminal)” Law Research Review Quarterly, Vol 3 No 2 (2017): 149-180
- Selle, Sistem Hukum dan Penegakan Hukum, Makassar: CV. Social Politic Genius.
Sekretariat Kabinet Republik Indonesia, “Presiden Prabowo Tekankan Sinergi Program Kerja untuk Wujudkan Tata Kelola Pemerintahan yang Baik”
https://setkab.go.id/presiden-prabowo-tekankan-sinergi-program-kerja-untukwujudkan-tata-kelola-pemerintahan-yang-baik/ diakses pada 11 November 2024
Sekretariat Kabinet RI, “Kondisi Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia Pasca Ditetapkannya UU Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan” https://setkab.go.id/kondisi-lembaga-pemasyarakatan-di-indonesia-pascaditetapkannya-uu-nomor-22-tahun-2022-tentang-pemasyarakatan/ diakses 12 November 2024
The Indonesian Institute, “Menguji Efektivitas Program Pemasyarakatan dalam Mencegah Kejahatan Berulang” https://www.theindonesianinstitute.com/menguji-efektivitasprogram-pemasyarakatan-dalam-mencegah-kejahatan-berulang/ diakses pada 10 November 2024
Udiyo Basuki, “Penegakan Hukum Atas Tindak Pidana Perdagangan Orang Perspektif Hak Asasi Manusia” Varia Justicia, Vol 13 No 2 (2017): 132-146
[1] Kementerian Hukum dan HAM RI, “Sejarah Kemenkumham RI” https://kemenkumham.go.id/profil2/sejarah-kemenkumham-ri diakses pada 12 November 2024
[2] Muhammad Ali Zaidan, “Zaidan, M. A. (2017). Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (Pendekatan Kebijakan Kriminal)” Law Research Review Quarterly, Vol 3 No 2 (2017): 149-180
[3] Mita Noveria, Kedaulatan Indonesia di Wilayah Perbatasan: Perspektif Multidimensi, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor, h. 7
[4] Udiyo Basuki, “Penegakan Hukum Atas Tindak Pidana Perdagangan Orang Perspektif Hak Asasi Manusia” Varia Justicia, Vol 13 No 2 (2017): 132-146
[5] Kantor Wilayah Kemenkumham RI Provinsi DKI Jakarta, “Kemenkumham Siap Bertransformasi dalam Kabinet Merah Putih” https://jakarta.kemenkumham.go.id/berita-utama/kemenkumham-siapbertransformasi-dalam-kabinet-merah-putih diakses pada 12 November 2024
[6] Antara Babel News, “Kemenkumham siap bertransformasi dalam Kabinet Merah Putih” https://babel.antaranews.com/berita/442381/kemenkumham-siap-bertransformasi-dalam-kabinet-merah-putih diakses pada 10 November 2024
[7] Kompas.com “Lapas di Indonesia “Overcrowded”, Kapasitas 140.000, Penghuninya 265.000 Orang” https://nasional.kompas.com/read/2024/06/13/07562511/lapas-di-indonesia-overcrowded-kapasitas-140000penghuninya-265000-orang diakses pada 10 November 2024
[8] The Indonesian Institute, “Menguji Efektivitas Program Pemasyarakatan dalam Mencegah Kejahatan Berulang” https://www.theindonesianinstitute.com/menguji-efektivitas-program-pemasyarakatan-dalammencegah-kejahatan-berulang/ diakses pada 10 November 2024
[9] Sekretariat Kabinet Republik Indonesia, “Presiden Prabowo Tekankan Sinergi Program Kerja untuk Wujudkan Tata Kelola Pemerintahan yang Baik” https://setkab.go.id/presiden-prabowo-tekankan-sinergiprogram-kerja-untuk-wujudkan-tata-kelola-pemerintahan-yang-baik/ diakses pada 11 November 2024
[10] S. Selle, Sistem Hukum dan Penegakan Hukum, Makassar: CV. Social Politic Genius, h.38
[11] Kementerian Hukum RI, “Kemenkumham Siap Bertransformasi dalam Kabinet Merah Putih” https://www.dilaw.id/berita/kemenkumham-siap-bertransformasi-dalam-kabinet-merah-putih diakses pada 12 November 2024
[12] Juniarso Ridwan, Hukum administrasi Negara dan kebijakan pelayanan publik, Bandung: Nuansa Cendikia, h. 59
[13] Grace Sharon, Sogar Simamora, Konsesi Sebagai Instrumen Untuk Mewujudkan Pembangunan Nasional, Sleman: Deepublish Digital, h. 199
[14] F.M. Putra, “Kebijakan Keimigrasian Dalam Upaya Pemberantasan Dan Pencegahan Perdagangan Manusia (Immigration Policy In Efforts To Eradication And Prevention Of Human Trafficking)” Journal of Law and Border Protection, (2020)
[15] CNN Indonesia, “Pemerintah Diminta Segera Tambah Lapas Atasi Over Kapasitas” https://www.cnnindonesia.com/nasional/20241110183239-12-1165043/pemerintah-diminta-segera-tambahlapas-atasi-over-kapasitas diakses pada 12 November 2024
[16] Kompas.com, “Daftar Kementerian di Bawah Kemenko Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan” https://nasional.kompas.com/read/2024/10/21/13200371/daftar-kementerian-di-bawahkemenko-bidang-hukum-ham-imigrasi-dan diakses pada 12 November 2024
[17] Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM RI, “Handoyo Ingin Ditjen PAS Terpisah Dari Kemenkum HAM dan Jadi Bapasnas” https://www.ditjenpas.go.id/handoyo-ingin-ditjen-pasterpisah-dari-kemenkum-ham-dan-jadi-bapasnas diakses 12 November 2024
[18] Sekretariat Kabinet RI, “Kondisi Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia Pasca Ditetapkannya UU Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan” https://setkab.go.id/kondisi-lembaga-pemasyarakatan-diindonesia-pasca-ditetapkannya-uu-nomor-22-tahun-2022-tentang-pemasyarakatan/ diakses 12 November 2024
[19] Aliyuddin Abd Rasyid, Hendra Harmain, Analisis Penerapan Prinsip Akuntansi dalam Meningkatkan Akuntabilitas Laporan Keuangan Masjid di Indonesia, 2018
[20] Ahmad Sanusi, “Evaluasi pelaksanaan pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan terbuka” Jurnal ilmiah kebijakan hukum, Vol 13 No 2 (2019): 123-138
[21] Abdul Rasyid Hendarto, dkk, Kapita Selekta Pemasyarakatan Edisi III” Back to Basic, Jakarta: IDE Publishing, h. 43
[22] Hidayat Chusnul Chotimah, “Identitas Nasional dan Norma Internasional Sebagai Pertimbangan Politik Indonesia” urnal Politica Dinamika Masalah Politik Dalam Negeri dan Hubungan Internasional, Vol 7 No 2 (2018)
[23] EMedia DPR RI, “Keadilan Restoratif Jadi Solusi Kelebihan Kapasitas pada Lapas dan Rutan” https://emedia.dpr.go.id/2023/10/20/keadilan-restoratif-jadi-solusi-kelebihan-kapasitas-pada-lapas-dan-rutan/ diakses pada 12 November 2024
[24] Arief Budiono, “Teori utilitarianisme dan perlindungan hukum lahan pertanian dari alih fungsi” Jurnal Jurisprudence, Vol 9 No 1 (2019): 102-119
[25] Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, “Laporan Kepuasan Pelayanan Informasi Publik” https://ppid.menpan.go.id/standar-layanan/laporan-kepuasan-pelayananinformasi/ diakses pada 24 November 2024
[26] Elwi Danil, Korupsi: Konsep, Tindak Pidana Dan Pemberantasannya-Rajawali Pers, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, h.87. (***)
Discussion about this post