Jambiday.com, JAMBI- Praktik money politics atau politik uang seolah jadi pemenang pemilahan kepala daerah termasuk Provinsi Jambi. Apapun upayanya, ending akhirnya, hasil Pilkada sangat bergantung pada uang untuk meraih suara dari masyarakat dalam pemilu.
Penilaian ini disampaikan pengamat politik Dr. Noviardi Ferzi melihat fenomena politik uang yang makin menjadi-jadi di Pilkada 2024 ini. Menurutnya, politik uang mulai terjadi pada kartelisasi politik di internal partai dalam bentuk mahar untuk mengantongi tiket pencalonan. Hasilnya, politik uang menjadi masalah sistematis yang sulit diberantas.
Bukan hanya itu, Noviardi juga mengatakan politik tidak sekadar uang tapi dalam bentuk lain misalnya bantuan sosial, mobilisasi ASN ataupun bentuk lain yang merupakan bagian untuk memengaruhi pemilih.
” Soal politik uang, pak Burhanuddin Muhtadi, dalam disertasinya menyebut Indonesia menempati urutan ketiga sebagai negara dengan praktik politik uang tertinggi di dunia. Indonesia hanya kalah dari dua negara di Afrika, yakni Uganda dan Benin. Bayangkan, selevel sama negara terbelakang Afrika, soal politik uang, rata – rata sekitar 33 persen dari total pemilih yang masuk dalam daftar pemilih tetap (DPT) terlibat praktik jual beli suara. ” tandasnya prihatin.
“Ini menjadikan Indonesia sebagai negara dengan tingkat politik uang terbesar ketiga di dunia. Hanya kalah dibanding Uganda dan Benin,” kata Burhanuddin dalam pidato pengukuhan guru besarnya pada November 2023 lalu.
Dalam hal ini ia menilai tradisi politik uang di Indonesia karena para elite politik tak punya nilai-nilai bernegara yang baik.
Selain itu, kondisi ekonomi masyarakat, terutama kelas menengah, juga lemah. Tradisi ini bisa diberantas dengan desakan dari kelompok masyarakat kelas menengah.
“Dalam istilah sosiologinya disebut the ruling class. Jika masyarakat kelas menengahnya semakin sedikit, dan semakin terdesak oleh tekanan ekonomi, perubahan akan amat sulit terjadi,”
Pada hakikatnya, Noviardi mengatakan tak ada yang diuntungkan dalam praktik politik uang. Ia mengatakan praktik itu merugikan elite politik karena harus buang-buang uang dan masyarakat yang menerima.
Sebab, menurut dia, penguasa yang terpilih karena politik uang merasa tak memiliki beban untuk memenuhi janjinya saat kampanye. Mereka merasa sudah ‘membeli’ suara warga.
“Qsal tahu saja, politik uang itu tak kesetian, publik harus tahu, ketika mereka sudah dikasih uang, seolah-olah sudah dibeli. Bahwa suara anda sudah dibeli. Ketika jadi pemimpin saya sudah tidak perlu melayani kalian, siap – siap saja daerah kita tak maju – maju,”pungkasnya. (RED)
Discussion about this post