Jambiday.com, JAMBI- Data dari Dewanpers.or.id, Indeks Kebebasan pers (IKP) di Provinsi Jambi dalam kurun waktu dua tahun terakhir mengalami penurunan. Di Tahun 2024, IKP Jambi adalah 68,16 dengan kategori cukup bebas. Terjadi penurunan sebesar -9,07 poin dibandingkan pada tahun 2023 yakni 77,23. Juga turun enam poin dari nilai IKP Jambi tahun 2022 yang berada di angka 83,68. Penurunan disumbang dari penurunan tiga kondisi lingkungan yang diamati, yakni lingkungan fisik politik, ekonomi dan hukum. Untuk nilai lingkungan fisik politik turun sebanyak -10,71 poin. Kategori lingkungan ekonomi turun sebanyak -9,04 dan lingkungan hukum mengalami penurunan sebanyak -5,94 poin.

Menurut Dewan pers lagi, turunnya nilai di lingkungan fisik politik diantaranya disebabkan adanya isu tentang kebebasan dari kekerasan, isu tersebut diantaranya kasus Ari menjadi sorotan. Di mana ia dianggap jurnalisme warga. Situasi menjadi lebih kompleks ketika diinformasikan bahwa Ari mengalami pembacokan setelah menerima ancaman dari oknum pemerintah daerah. Serta laporan mengenai penganiayaan wartawan oleh orang dekat Kepala Biro Umum Provinsi Jambi. Dan jurnalis perempuan mengalami kekerasan seksual oleh oknum wakil bupati, namun korban mundur dari laporan resmi karena tidak memiliki bukti yang kuat.
Selanjutnya, turunnya nilai kondisi lingkungan ekonomi disebabkan salah satunya banyak media tidak memperhatikan kewajiban dan haknya seperti gaji, asuransi dan hak-hak lainnnya yan seharusnya diterima oleh jurnalis.
Belum lagi, banyaknya media yang ”dikebiri” akibat gejolak politik jelang Pilgub Jambi pada November 2024 lalu. Dari data kebebasan intervensi masih kategori cukup bebas, tercatat bahwa media melakukan swasensor untuk mencegah intervensi, tekanan dan lembaga ataupun pemerintah.
Menurut Ahli Pers dari Dewan Pers, Herri Novealdi, Kondisi penurunan IKP tersebut cukup rendah jika dibandingkan provinsi lain di Indonesia. Dan terkait intervensi menurut Herri, sensor dilakukan dengan alasan menjaga hubungan baik kerjasama yang telah terjalin.
”Sensor itu pasti ada, mengingat kerjasama dan hubungan baik namun sayangnya tidak bisa dibuktikan secara detail. Juga swasensor terkait pemberitaan negatif terhadap pemerintah itu kadang-kadang diberlakukan. Juga sensor jika sudah mendekati PIlkada. Pertimbangannya kerjasama iklan antara media dan pemerintah. Ini data dari IA Civil society Jambi,” jelas Herri via WhatsApp, Minggu (23/03/25).

Ditambahkan pria yang juga dosen di UIN STS Jambi ini, dalam IKP 2024 yang diukur berdasarkan kejadian selama tahun 2024, bisa dilihat bersama bahwa di Provinsi Jambi mengenai kebebasan dari intervensi hanya dalam kategori “cukup bebas”. Ada beberapa praktik pemerintah daerah/partai politik menekan dalam bentuk menunjuk, memindahkan, atau memecat anggota redaksi perusahaan pers. Dari IKP 2024 diketahui bahwa di Provinsi Jambi dalam kaitannya dengan intervensi ini banyak terjadi praktik swasensor. Media melakukan swasensor duluan sebelum diintervensi pemerintah/partai politik baik dalam bentuk tekanan, dan/atau himbauan dari pejabat atau dari lembaga di luar pers.
Praktik swasensor di media Jambi terlihat sebagai upaya untuk mencegah intervensi dan tekanan. Hal ini sering dilakukan dengan alasan menjaga hubungan baik kerja sama yang telah terjalin, meskipun tidak dapat dibuktikan melalui kliping karena berita tersebut tidak dimuat.
”Beberapa perusahaan media bisa diputus kontrak karena menyajikan fakta/berita yang tidak sesuai dengan harapan pemasang iklan. Kebebasan dari intervensi di kalangan media di Jambi menunjukkan tantangan serius, dengan hubungan antara media dan pemerintah. Pengaruh kontrak iklan, serta perlunya menjaga kode etik jurnalistik agar wartawan dapat bekerja dengan aman dan independen. Di Jambi, pengaruh pemerintah/partai politik terhadap media menunjukkan tantangan serius terhadap independensi jurnalistik,” tegas mantan Jurnalis ini.
Sementara itu, Waka I DPRD Provinsi Jambi, Ivan Wirata, melihat kondisi yang sama. Bahwa pers Jambi ”kerap’ mendapatkan intervensi dari pemerintah daerah saat membuat berita yang akan diterbitkan di media masing-masing.
”Sebenarnya, pers itu sahabat sebagai pilar ke empat demokrasi di negara kita. Dan juga, kami sebagai dewan ada juga fungsi tablig nya, dan pers itu membantu. Dalam tata kelola pemerintahan itu sudah jelas, ada beberapa indeksnya. Pemimpin sebuah organisasi itu dikatakan bagus, jika ada kerja sama yang baik bukan intervensi tingkat tinggi. Jadi, jika ada OPD yang kerjanya tidak bagus, terus diingatkan media dengan cara yang benar dan gerah terus marah dan melakukan intervensi. Jadi pertanyaan, dia mau mendukung pemerintahan ini menjadi good governance atau tidak? Media dikendalikan, adanya sensor pemberitaan itukan tidak baik, masyarakat Jambi wajib tahu semua hal baik ataupun buruk. Keterbukaan informasi publik penting di sini,” jelas Ivan.
Ketua DPD II Golkar Muaro Jambi ini menambahkan, agar adanya perubahah paradigma berfikir yang dilakukan oleh semua lini. Agar semua rencana kerja pemerintah daerah (RKPD) bisa berjalan dengan maksimal. Dan untuk itu perlu kontrol sosial dari dewan dan di syiarkan oleh pers apapun hasil kinerja tersebut.
”Media jangan dikendalikan, kebebasan pers itu penting. Tentu saja, pers kan ada etika jurnalismenya dan itu harus diterapkan juga Kita semua ada etika kerja, sesuai SDM dan kepentingan masing-masing. Jika semua berada di koridor yang benar, saya yakin hubungan kerja akan baik juga,” pungkasnya. (OYI)
Discussion about this post