ADA pepatah lama: lidah tak bertulang, tapi bisa mematahkan hati. Di Pati, pepatah itu terbukti. Kepemimpinan bukan sekadar mengeluarkan kebijakan. Ia adalah seni mengelola pesan, menjaga hati rakyat, dan menumbuhkan kepercayaan publik. Sayangnya, di Kabupaten Pati, seni ini sedang dipertontonkan dalam bentuk yang keliru.
Pernyataan Bupati Pati, Sadewo, yang menantang warganya untuk mendemo kebijakan pajak, menjadi pelajaran pahit tentang bagaimana komunikasi publik yang salah kaprah dapat memicu badai protes. Kata-kata yang seharusnya menenangkan justru menjadi pemantik amarah.
Kali ini saya tidak membahas aspek politik atau hukumnya tetapi dari sisi komunikasi publik atau publik speaking sang bupati. Saya coba menganalisis berdasarkan beberapa rekaman video saat bupati berbicara di banyak forum dan media.
Analisis saya menunjukkan tiga ciri utama dari gaya berbicaranya: arogan, menantang, dan kurang empati. Ditambah lagi, ia cenderung otoriter, tertutup terhadap kritik, mengabaikan aspirasi publik, dan hanya melunak setelah tekanan massa memuncak.
Gaya komunikasi seperti ini tidak sekadar menimbulkan resistensi; ia memperlebar jarak antara pemimpin dan rakyat. Dalam teori kepemimpinan partisipatif, jarak seperti ini adalah racun bagi legitimasi. Berikut penjelasannya:
Pertama, Arogan – Tersirat kesombongan atau kekuasaan tanpa toleransi kritik; kedua, Menantang – menggunakan diksi ancaman bahwa tantangan dengan kata-kata seperti “silakan demo saya tidak takut”; ketiga, Tidak empati – tidak sensitive terhadap kesulitan rakyat; keempat, Otoriter – cenderung memaksakan keputusan tanpa dialog atau partisipasi warga; kelima, Anti kritik, menganggap kritik sebagai ancaman bukan masukan; keenam, Mengabaikan aspirasi – kebijakan dibuat tanpa sosialisasi dan tanpa mendengar keluhan atau aspirasi warga dan ketidaksensitifan akan beban ekonomi masyarakat; ketujuh, Late apology – Minta maaf namun terkesan hanya setelah tekanan massa; delapan, Seremonial – Fokus pada penampilan, bukan substansi kebijakan; Sembilan, Gesture/postur kaku dan minim senyum kaku memberi kesan jarak emosional dan kurang kehangatan.
Lantas, bagaimana gaya bicara yang lebih efektif dan mendekatkan diri ke rakyat?
• Gunakan pendekatan kolaboratif, bukan “menantang”, ajak dialog terbuka dan beri ruang aspirasi masyarakat.
• Perlihatkan empati yang tulus: akui beban rakyat, khususnya di situasi ekonomi sulit, dan dengarkan keluhan dengan tulus.
• Berkomunikasi secara transparan: jelaskan alasan kebijakan, mekanisme, dan dampaknya, agar warga merasa dihargai.
• Pola bahasa deskriptif, bukan defensif: misalnya, “Saya memahami kekhawatiran ini…” atau “Kami perlu waktu dan dialog untuk cari solusi bersama.”
• Tindak lanjuti kritik dengan tindakan nyata: sebelum minta maaf, tunjukkan langkah konkret seperti review kebijakan, konsultasi publik, atau pembentukan forum aspirasi warga.
• Bangun narasi inklusif, bukan seremonial: lebih fokus pada hasil kebijakan dan keberpihakan, bukan hanya tampil di panggung protokoler.
• Gesture tubuh: ekspresi wajah ramah dan tulus, kontak mata teduh menyapu semua audience, gerakan tangan membuka buka menunjuk
Secara psikologis, Gesture Sadewo secara keseluruhan membentuk citra otoriter, agresif, dan berjarak. Dalam teori nonverbal immediacy, rendahnya unsur kedekatan nonverbal (senyum, kontak mata hangat, gerakan terbuka) akan menurunkan penerimaan publik terhadap kebijakan, bahkan jika kebijakan tersebut rasional. Untuk membalik persepsi publik, ia perlu mengganti bahasa tubuh dari dominasi menjadi kolaborasi.
Secara keseluruhan, gaya bicara pemimpin yang efektif adalah empati, inklusif, dan responsif. Sadewo bisa belajar mengedepankan dialog dan empati, bukan dominasi dan pencitraan. Dengan demikian, ia bisa meredam konflik dan membangun kepercayaan publik kembali. Kesan yang terbentuk dari Pemimpin Komunikatif adalah: mengajak, membangun kepercayaan, setara, dan terbuka memperkuat kepercayaan publik.
Pelajaran Komunikasi Kepemimpinan
Pemimpin yang ingin bertahan di tengah badai protes harus menguasai dua hal: substansi kebijakan dan seni penyampaiannya. Ada beberapa kaidah sederhana yang sering dilupakan:
1. Gunakan pendekatan kolaboratif — ajak dialog, bukan adu tantangan.
2. Tunjukkan empati — akui beban rakyat sebelum menawarkan solusi.
3. Kendalikan bahasa tubuh — gerakan terbuka, bukan menunjuk.
4. Seirama antara kata dan gestur — hindari kontradiksi yang membingungkan audiens.
5. Respon cepat, bukan reaktif — minta maaf sebelum krisis membesar, dan sertai dengan tindakan konkret.
Kepemimpinan pada akhirnya adalah tentang membangun kepercayaan. Bahasa tubuh yang tepat, nada bicara yang ramah, dan sikap yang terbuka terhadap kritik bukan sekadar atribut tambahan mereka adalah inti dari seni memimpin di era demokrasi.
Bupati Pati telah memberi kita contoh nyata: kata-kata dan gestur yang salah dapat menghapus nilai dari sebuah jabatan. Kini, pertanyaannya: apakah ia akan belajar memperbaiki gaya komunikasinya, atau membiarkan badai ini menjadi warisan kepemimpinannya?. (***)
Discussion about this post