NAMPAKNYA beberapa minggu terakhir ini, narasi yang menyudutkan profesi guru sebagai beban negara kembali menganga di ruang publik. Entah melalui komentar pejabat, cuitan di media sosial, atau diskursus yang dimunculkan oleh segelintir elite yang lupa bahwa mereka pernah duduk di bangku sekolah, dibimbing dan dibentuk oleh para guru. Bagi mereka yang berakal sehat, peduli tentang pembangunan bangsa ini, pasti merasakan bahawa ungkapan “guru beban negara” bukan saja keliru, tapi juga menyakitkan, mengaburkan realitas kompleks pendidikan Indonesia dan mengabaikan peran fundamental guru dalam membentuk masa depan bangsa.
Guru Bukan Beban, Tapi Pilar Bangsa
Profesi guru adalah satu dari sedikit profesi yang secara langsung bersentuhan dengan pembangunan karakter bangsa. Seorang guru bukan hanya pengajar, tapi juga pendidik, pembina moral, konselor, bahkan kadang menjadi pengganti orang tua bagi murid-muridnya. Dalam konteks negara berkembang seperti Indonesia, guru bukan sekadar pekerja dengan gaji dari APBN, melainkan agen transformasi sosial di akar rumput.
Jika kita melihat data dari UNESCO, negara dengan kualitas pendidikan terbaik adalah negara yang memberikan kesejahteraan dan penghormatan tinggi pada gurunya. Finlandia, Jepang misalnya, tidak pernah melihat guru sebagai beban anggaran. Justru sebaliknya, mereka dianggap sebagai investasi strategis. Bandingkan dengan wacana di negeri kita, di mana tunjangan guru dipersoalkan, beban administrasi terus ditambah, tapi dukungan substansial sangat minim.
Beban Siapa Sebenarnya?
Pertanyaannya siapa sebenarnya yang menjadi beban negara? Apakah guru yang setiap hari mendidik di ruang-ruang kelas dengan fasilitas seadanya? Atau justru sistem birokrasi pendidikan yang gemuk, tidak efisien, dan kerap kali gagal membaca kebutuhan nyata di lapangan?
Setiap tahun, anggaran pendidikan disalurkan-namun seberapa besar yang benar-benar sampai ke ruang kelas? Guru honorer masih dibayar dengan nominal yang tidak layak. Banyak guru di daerah terpencil harus berjalan berkilo-kilometer demi mengajar. Bahkan, dalam beberapa kasus, mereka harus menyisihkan gaji mereka untuk beli kapur tulis, memperbaiki meja rusak, atau menyediakan paket internet untuk kelas daring. Di sisi lain, proyek-proyek mercusuar pendidikan dengan anggaran jumbo lebih sering berakhir sebagai laporan PowerPoint belaka.
Coba kita bandingkan dengan para pembuat kebijakan, pejabat, politisi dan seangkatannya yang justru berlomba menaikkan tunjangan mereka sendiri. Revisi peraturan, penambahan alokasi dana representatif, dan pembelian fasilitas dinas yang tidak berdampak langsung terhadap pelayanan publik menjadi agenda rutin. Termasuk tunjangan fantastis, kendaraan dinas mewah, perjalanan luar negeri, bahkan alokasi dana aspirasi, yang seringkali tidak transparan, kejanggalan laporan penggunaan anggaran. Dan dapat pensiun seumur hidup walaupun menjabat wakil rakyat hanya 5 tahun. Apakah itu bukan beban?
Bayangkan, seorang guru di pelosok negeri mengabdi puluhan tahun, bangun pagi sebelum fajar, menyiapkan keperluan pembelajaran, bermotor butut, berjalan kaki berjam-jam melewati medan sulit demi sampai ke sekolah. Dengan gajinya pas-pasan, bahkan banyak yang masih berstatus honorer, menggantung harapan pada janji pengangkatan yang tak kunjung pasti. Di kelas, mereka bukan hanya mengajar, menyajikan silabus, tetapi menjadi orang tua, perawat luka batin, fasilitator, sekaligus motivator bagi murid-muridnya. Di luar jam mengajar, mereka masih berkutat dengan laporan administrasi, sistem daring yang kerap rusak, dan tuntutan kurikulum yang terus berubah. Bahkan jika kita jauhkan lagi pandangan menembus pagar-pagar pintu gerbang pesantren, benteng moral spiritual bangsa ini, tapi jauh dari sentuhan negara, gajinya pun tidak dibayar oleh negara. Mungkin kisah ceritanya akan lebih memprihatinkan lagi.
Beda dengan pejabat dan politisi, guru bekerja dalam sunyi. Tak ada sorotan kamera. Tak ada mobil dinas. Tak ada uang perjalanan dinas, apalagi fasilitas hotel bintang lima dan ruang kelas ber-AC seperti ruang sidang DPR. Mereka mendidik tanpa janji jabatan, tanpa target pencitraan. Tapi hasil kerja mereka? Terlihat di mana-mana, pada setiap orang sukses yang pernah diajar dengan sabar oleh seorang insan yang bergelar guru, yang rela menjadi lilin rela terbakar demi penerangi jiwa-jiwa anak bangsa ini.
Narasi yang Perlu Diluruskan
Sejatinya labelisasi guru sebagai beban negara adalah hasil dari pandangan sempit yang melihat anggaran sebagai pengeluaran, bukan investasi. Ini adalah cara berpikir jangka pendek, birokratis, dan berjarak dari realitas. Yakinlah negara tidak pernah rugi dengan menggaji guru, bahkan dengan tunjangan sekalipun. Justeru yang merugikan adalah ketika guru tidak diberdayakan, tidak dihargai, dan dipaksa tunduk pada sistem evaluasi yang tidak manusiawi.
Bahkan lebih ironis lagi, narasi ini sering datang dari mereka yang menikmati gaji besar dari pajak rakyat tanpa pertanggungjawaban setimpal. Sementara guru harus membuat laporan, RPP, asesmen formatif, asesmen sumatif, administrasi BOS, hingga unggahan di sistem digital yang kerap error-sementara para pengambil kebijakan tinggal menandatangani laporan dan memberikan “motivasi” dari podium dan rapat-rapat yang mungkin juga ada tunjangan dan uang sakunya. Sedangkan Guru?
Mengapa Kita Harus Berpihak pada Guru
Rentang panjang perjalanan sejarah mencatat bahwa pendidikan yang kokoh telah membangun negara yang kuat. Dan pendidikan yang kokoh tidak akan pernah lahir tanpa guru yang dimuliakan. Ketika guru dilecehkan secara sistematis dan terstruktur baik melalui ucapan maupun kebijakan, maka yang kita tanam bukan hanya ketimpangan, tapi juga generasi penuh luka nestapa.
Bukankah sudah saatnya publik cerdas membedakan kritik terhadap sistem pendidikan dengan menyalahkan guru?. Kritik terhadap Kementerian, kebijakan kurikulum yang membingungkan, atau evaluasi berbasis skor semata sangatlah valid. Tapi menjadikan guru sebagai kambing hitam adalah kemalasan intelektual yang tak bisa dibenarkan dan ditolerir.
Refleksi dan Rekomendasi Seluruh Bangsa
Telah tiba saatnya “Reformulasi Narasi Publik”. Media dan pemangku kebijakan harus berhenti menggunakan diksi yang menyudutkan guru. Perlu ada narasi positif yang menempatkan guru sebagai pahlawan pembangunan manusia dan pembina bangsa.
Demikian juga “Perbaikan Kebijakan dan Dukungan Nyata”. Kebijakan harus berpihak pada kesejahteraan dan pengembangan profesional guru. Bukan hanya pelatihan yang seremonial minim objektif, tapi pembinaan berkelanjutan yang membebaskan guru dari jerat-jerat administrasi yang menyita fokus tugas utama guru.
Dan “Evaluasi Birokrasi Pendidikan”. Lakukan audit dan reformasi menyeluruh terhadap sistem birokrasi pendidikan. Kurangi beban administratif, alihkan fokus pada pembelajaran yang bermakna dan berkualitas.
Serta fahamilah bahwa “Pendidikan Sebagai Investasi Jangka Panjang”. Pemerintah dan masyarakat harus melihat pendidikan sebagai pilar strategis pembangunan. Dan guru adalah aktor dan pemeran utamanya.
Akhirnya, untuk para guru mungkin inilah masa dan ketika untuk kita menoleh kepada diri kita masing-masing. Tudingan pahit ini pasti ada hikmah yang hendak dihadirkan. Jadi mari benar-benar kita buktikan kita adalah asset modal bangsa. Sehingga, ketika ada yang berkata “guru adalah beban negara” kita harus berani dan layak menjawab TIDAK. Karena guru adalah penopang dan tonggak utama negara. Tanpa guru, tidak ada insinyur, dokter, jurnalis, bahkan pejabat, politisi yang bisa berdiri di podium dan membuat kebijakan. Yang seharusnya kita pertanyakan Adalah apakah negara sudah cukup bertanggung jawab pada guru-guru kita?. (***)
Discussion about this post