MUNGKIN kita sepakat bahwa saat ini kita benar-benar sedang berada di era yang ketandusan moral meskipun dalam dunia digital yang serba canggih. Di tengah gelombang krisis moral dan politik yang melanda dunia itu, termasuk di negeri kita, muncul persoalan mendasar buat kita, antaranya ialah pertanyaan “ke manakah kita harus menoleh untuk mencari teladan kepemimpinan yang mampu menyatukan, menyejukkan, sekaligus menegakkan keadilan?” Dalam pusaran retorika kosong dan konflik kepentingan, sosok Rasulullah Muhammad SAW hadir sebagai mercusuar peradaban. Baginda saw bukan hanya pemimpin spiritual, tetapi juga negarawan yang berhasil menyeimbangkan akhlak, strategi politik, dan keberpihakan pada kemanusiaan dan keadilan.
Krisis Moral dan Politik Kontemporer
Pada kenyataannya fenomena politik yang kian sarat polarisasi, praktik korupsi yang berulang, serta retaknya solidaritas sosial menjadi cermin nyata krisis kepemimpinan dan moralnya. Masyarakat disuguhi drama politik yang lebih sering memperlihatkan perebutan kuasa daripada perjuangan membela rakyat dan negara. Krisis moral ini semakin terasa ketika elit gagal menampilkan keteladanan dan contoh yang menyejukkan. Kegagalan mereka saat lebih sibuk mempertahankan citra ketimbang menegakkan nilai. Dalam konteks inilah, figur Rasulullah SAW semakin relevan untuk kembali benar-benar dihadirkan sebagai figure dan rujukan utama.
Memimpin dengan Integritas
Semua memaklumi bahwa sebelum diangkat menjadi rasul, Muhammad SAW telah mendapat gelar al-Amîn-iaitu yang terpercaya. Legitimasi moral ini bukan lahir dari propaganda atau usaha pencitraan, melainkan dari konsistensi sikap dan keperibadiaan mulia. Beliau tidak pernah menipu dalam perdagangan, tidak memanipulasi dalam perundingan, dan tidak merendahkan martabat orang lain meskipun berbeda keyakinan. Kepemimpinan sejati, sebagaimana ditunjukkan Rasulullah, berakar pada integritas pribadi. Dalam konteks politik hari ini, integritas seharusnya bukan sekadar modal kampanye, wacana, retorik, tetapi harus menjadi jiwa dan ruh dalam setiap kebijakan publik.
Kepemimpinan yang Merangkul Bukan Memukul
Disisi lain, Baginda Rasulullah SAW juga sosok yang menampilkan seni kepemimpinan inklusif. Piagam Madinah adalah contoh konkret realitas ini. Sebuah dokumen politik yang mengikat berbagai suku, agama, dan kelompok sosial untuk hidup berdampingan dalam keadilan. Beliau tidak membangun kekuasaan dengan menyingkirkan pihak lain, melainkan dengan merangkul perbedaan dan potensi positif yang ada. Di tengah era politik dan polarisasi identitas yang mengancam persatuan, kita dapat belajar bagaimana Rasulullah mengutamakan maslahat bersama di atas kepentingan kelompok. Lebih-lebih lagi kepentingan peribadi.
Diplomasi dan Ketegasan
Bahkan Rasulullah SAW juga menampilkan harmonisasi antara kelembutan diplomasi dan ketegasan prinsip. Dalam Perjanjian Hudaibiyah sebagai contoh, beliau berani mengalah dalam hal formalitas demi membuka jalan perdamaian jangka panjang yang lebih menguntungkan Islam. Namun, dalam prinsip akidah dan moral, beliau tidak pernah berkompromi. Kepemimpinan yang efektif bukan hanya keras melawan, mengimbangi lawan politik, tetapi mampu menakar kapan harus tegas dan kapan mesti lentur lebih lembut dari bayu. Inilah seni diplomasi yang sering hilang dalam percaturan politik kontemporer. Terlebih di era digital hari ini. Di mana manusia lebih interaktif dengan layar skrin, tetapi kaku dalam berinteraksi saat berhadapan “pace to pace”. Bahkan kadang-kadang kehilangan kebijaksanaan, etika dan adab dalam berbahasa dan bertindak.
Spirit Amanah dan Akuntabilitas
Baginda Rasulullah menegaskan bahwa kepemimpinan adalah amanah yang pasti diminta pertanggungjawabannya, bukan privilese yang harus dibanggakan. Ketika sahabat meminta jabatan, Baginda akan menolaknya jika tidak melihat kapasitas yang mumpuni. Pesan ini relevan dalam konteks birokrasi modern. Karena jabatan apapun levelnya adalah titipan amanah dan tanggungjawab untuk mengabdi, bukan untuk menguasai. Apalagi untuk bermegah-megah, dan menjadi arogan. Oleh itu kita lihat akuntabilitas Rasulullah tidak hanya pada rakyat secara horizontal, tetapi juga di hadapan Allah secara vertical dengan penuh penghambaan. Justeru itu, kesadaran transendental inilah yang seharusnya mengawal para pemimpin kita, agar tidak tergoda oleh kepentingan sesaat dan ambisi pribadi yang merugikan.
Menyentuh Dimensi Kemanusiaan
Di luar aspek politik, Rasulullah SAW menunjukkan kepemimpinan yang penuh kasih sayang-sebuah value yang dikongsi bersama oleh semua, yang merentasi keyakinan, agama, budaya, suku-bangsa dan status. Beliau mendengar keluh kesah rakyat, peduli pada anak yatim, bahkan tidak pernah menolak undangan orang miskin. Model kepemimpinan moral tidak berhenti pada visi besar, melainkan hadir dalam tindakan sederhana yang menguatkan ikatan kemanusiaan. Merujuk gejolak tanah pusaka Indonesia saat ini, dalam kondisi rakyat yang terhimpit ekonomi dan hilang kepercayaan pada elit, kepemimpinan yang menyentuh hati nurani inilah yang paling dibutuhkan.
Pelajaran untuk Era Kini
Tidak dinafikan, memang di era digital yang serba cepat, citra pemimpin bisa saja dibangun lewat pencitraan media. Dan hal itu sangat mudah. Namun, rakyat akhirnya akan menilai dari konsistensi sikap dan rekam jejak yang hari ini jejak digital itu terlalu sangat mudah pula untuk ditelusuri. Oleh sebab itu Rasulullah SAW memberi teladan bahwa kepemimpinan tidak lahir dari panggung besar, melainkan dari kejujuran dalam hal yang terkecil dan paling simple. Masyarakat Indonesia hari ini memerlukan pemimpin yang bukan hanya fasih berpidato, besar pengaruhnya, banyak sumbanganya, tetapi sosok pemimpin yang dibutuhkan adalah peimpin mampu meneladani akhlak Nabi saw, adil, jujur, rendah hati, dan tegas membela kebenaran.
Penutup: Menjemput Tauladan Membangun Kemuliaan
Hakikatnya hilangnya moral dan krisis politik bukanlah akhir segalanya. Justru ia membuka peluang untuk melakukan hijrah kolektif menuju tatanan kepemimpinan yang lebih bermartabat. Rasulullah SAW telah menunjukkan peta jalannya, integritas, amanah, diplomasi, keadilan, dan kasih sayang. Jika nilai-nilai ini dihidupkan, politik akan kembali menjadi sarana membangun, bukan meruntuhkan. Dan bangsa yang menempatkan akhlak di atas segalanya akan menemukan kembali arah menuju kemuliaannya.
Rasulullah SAW bukan hanya teladan bagi umat Islam, tetapi juga mercusuar bagi kemanusiaan. Kini tergantung pada kita, apakah mau belajar dari sejarah, atau terus terperangkap dalam lingkaran krisis yang melelahkan. Wallahu a’lam. (***)
Discussion about this post