Jambiday.com, JAMBI– Salah satu fase penting dalam demokrasi telah kita lalui, yaitu Pemilu. Pemilu serentak 2024 memiliki tantangan polarisasi SARA dan fanatisme kelompok yang miskin substansi untuk perbaikan bangsa Indonesia.
Dalam menyongsong ini Kenara Institute Lembaga Think Thank Indonesia mengelar diskusi politik Indonesia 2024 dan Tata Kelola Negara Pasca Pemilu di salah satu hotel di Kota Jambi, Sabtu, 19 Februari 2022.
Diskusi Kenara Institute Forum akan mengundang pembicara lokal yang sangat berkompeten di antaranya, Wein Arifin (Anggota Bawaslu Provinsi), Dr. Asad Isma (Akademisi), Dr. Nuraida Fitri Habi (Koordinator Presidium Jaringan Demokrasi Indonesia), Dr. Dedek Kusnadi (Pengamat Politik) serta Nasrul Yasril dan Awang sebagai penanggap.
Dalam diskusi yang berlangsung hangat para pembicara menyoroti rekonsiliasi elite dan menjadi agenda selanjutnya. Yang amat penting dilaksanakan bersama adalah mengawal kerja-kerja kebijakan dan pembangunan agar tak terjebak pada demokrasi prosedural.
Dr. Nuraida Fitri Habi dari Koordinator Jaringan Demokrasi misalnya menyoroti fase demokrasi di Indonesia, menurutnya dalam pemilu yang penting bukan hanya pilih-memilih, tetapi juga partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan negara ini. Mengawal kekuasaan yang dijalankan, dan memastikan kebijakan-kebijakan yang dihasilkan berpihak pada kemanusiaan.
“Ada tiga tahapan dalam pelaksanaan pemilu, sebelum pelaksanaan, selama pelaksanaan dan setelah pelaksanaan,” terang Fitri-sapaan akrabnya.
Selain itu wanita cantik mantan anggota KPU Provinsi Jambi ini juga menyoroti berbagai kelemahan pelaksanaan pemilu dan Pilkada. Paparan alumni doktoral UIN Syarif Hidayatullah ini memetakan secara detail kendala teknis Pemilu Indonesia.
Sementara Dr Dedek Kusnadi pengamat politik Jambi mengatakan kita hanya terjebak pada demokrasi Prosedural. Seperti pelaksanaan Pemilu semata pada akhirnya membuat kewarganegaraan kita hanya hadir setiap lima tahun sekali. Implikasinya, sering terjadi diskoneksi antara kewarganegaraan.
” Dalam pemilu berharga hanya vote yang dimiliki setiap warga negara, bukan kewarganegaraan yang kita agungkan beserta hak-hak yang melekat di dalamnya. Hal ini yang pada akhirnya dimanfaatkan oleh politisi yang menyebabkan pemilu tak lagi menjadi ajang demokrasi, melainkan ajang mobilisasi, ” ungkapnya.
Selanjutnya Wein Arifin dari Bawaslu Provinsi Jambi mengatakan saat ini kita menghadapi krisis representatif demokrasi dimana punya hak pilih (vote) namun tidak punya suara (voice). Hal ini tidak bisa dilepaskan dari peran Orde Baru yang mendepolitisasi masyarakat selama 32 tahun. Usai Orde Baru runtuh, tanpa pernah mendapat pendidikan politik dan tanpa ditanya makna perwakilan rakyat yang dibutuhkan, masyarakat diberi hak pilih. Akibatnya, kita sukses melaksanakan pemilu namun gagal melembagakan perwakilan rakyat dalam sosok resminya.
Kemudian Dr. Asad Isma akademisi UIN STS Jambi mengatakan persoalan kebijakan kita saat ini adalah hilangnya toleransi di dalam pemilu yang kita hasilkan. Jika terus terjebak pada fanatisme dan polarisasi terhadap pilihan partisan maka akhirnya kita selalu berputar dan terjebak pada aspek prosedural semata dalam demokrasi.
Sementara itu, Dedek Kusnadi, berkata kondisi bangsa saat ini sedang tidak baik-baik saja. Pertama, dalam hal ini indikatornya lemahnya legislatif dari eksekutif. Kedua, kebebasan demokrasi semakin turun setiap tahun terutama kebebasan pendapat. Ketiga, hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah.
“Pemilu hanya jadi kegiatan rutin tanpa makna, hanya jadi kegiatan seremonial. KPU hanya sepotong kue, untuk dibagi-bagikan ke dalam kelompok Cipayung. Untuk menduduki jabatan, terutama KPU sebagai penyelenggara demokrasi. Harusnya dipilih oleh lembaga independen,” tegas Dedek. (OYI/NFZ)
Discussion about this post