Oleh : Dr. Noviardi Ferzi (Pengamat)
DI ujung tahun 2021 lalu, PetroChina International Jabung Ltd. telah resmi mendapatkan perpanjangan kontrak sebagai operator wilayah kerja Jabung untuk periode 2023–2043. Pemerintah melalui Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menandatangani kontrak perpanjangan Wilayah Kerja Jabung pada 22 November 2021 di Jakarta.
Namun ada satu hal yang sedikit luput dari pengamatan publik akan hal ini, yakni kesempatan pada pemerintah daerah untuk dapat lebih terlibat dalam pengelolaan minyak dan gas bumi dengan memberikan hak partisipasi sebesar 10 persen dalam bentuk Participating Interest (PI) maksimal 10 persen pada kontrak kerja sama yang wajib ditawarkan oleh kontraktor pada badan usaha milik daerah atau badan usaha milik negara sesuai dengan Peraturan Menteri ESDM 37/2016.
Peraturan ini bertujuan untuk meningkatkan peran serta daerah dalam pengelolaan migas. Keterlibatan pemerintah daerah dibuka lebar dalam menciptakan dukungan untuk kelancaraan pengelolaannya. Tidak hanya jadi penonton seperti selama ini.
Pertanyaannya adakah Jambi memanfaatkan peluang ini ?, Jawabannya pasti iya, karena ini peluang besar bagi Jambi. Secara teori sudah dihitung Potensi keuntungan BUMD apabila terlibat dalam pengelolaan ini bisa mencapai Rp 1 triliun. Tentu saja Jambi perlu terlibat demi nantinya berdampak pada kesejahteraan warga Jambi.
Untuk diketahui kontrak pertama WK Jabung sendiri ditandatangani pada 1993 untuk periode 30 tahun. Wilayah kerja itu mencatat penemuan minyak pertamanya di North Geragai Field di Tanjung Jabung Timur pada 1995, dan produksi pertamanya pada 1997.
Sampai dengan 2020, WK Jabung telah memproduksi total 362,22 juta barel setara minyak (MMBOE) minyak, gas, dan kondensat. Sejak 2006, PetroChina telah mempertahankan produksi harian rata-rata di atas 50.000 barel setara minyak per hari (BOEPD). Pada 2020, Jabung merupakan salah satu WK dengan performa terbaik, menempati urutan ketujuh dalam produksi minyak dan kondensat dengan angka 15.928 BOPD dan peringkat delapan dalam lifting gas dengan jumlah 171 MMSCFD.
Pemerintah Provinsi Jambi mempersiapkan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) untuk mengelola Participating Interest (PI) 10 persen blok migas. Ini merupakan salah satu sumber peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Provinsi Jambi.
Peran Pemda dan Tantangan BUMD
Salah satu keterlibatan pemerintah daerah Jambi dapat diwujudkan dengan mendukung dalam hal pembebasan lahan untuk pelaksanaan kegiatan hulu migas dan juga dukungan sosialisasi kepada masyarakat saat akan dilakukan beberapa kegiatan survei dan lain-lain.
Di samping itu, peran pemerintah daerah sangat krusial dalam percepatan dan kemudahan pengurusan izin-izin yang dibutuhkan untuk kegiatan usaha hulu migas. Sehingga peran penting pemerintah daerah dibutuhkan untuk membantu kelancaran operasional mengejar target lifting nasional.
Di Provinsi Jambi ke depan segera perlu adanya mekanisme pengelolaan PI 10 persen terhadap wilayah kerja migas di Provinsi Jambi, serta mekanisme alokasi gas bagi BUMD Tanjung Jabung Timur.
Tentu saja kue ini membutuhkan kesamaan cara pandang antara Pemprov Jambi, Pemkab Tanjung Jabung Barat, Tanjung Jabung Timur, Muaro Jambi, dan Batanghari, serta BUMD, memperoleh pemahaman komprehensif dan utuh tentang PI.
Dengan modal Dasar hukum kerja sama PI 10 persen dengan Pertamina / SKK Migas adalah Peraturan Menteri ESDM Nomor 37 Tahun 2016 tentang Ketentuan Penawaran PI 10 persen pada wilayah kerja minyak dan gas bumi.
Pemerintah daerah dapat masuk mengelola melalui BUMD yang disahkan melalui Perda dan berbentuk Perusda atau perseroan terbatas dengan kepemilikan saham minimal 99 persen Pemda dan sisanya terafilisasi dengan Pemda.
Pemerintah Provinsi Jambi sendiri telah mengajukan surat persetujuan penunjukan BUMD penerima dan pengelola PI 10 persen di wilayah kerja yang telah ditentukan, beserta dokumen perusahaan yang ditunjuk, sebagaimana diatur pasal 3 Permen ESDM Nomor 37 tahun 2016.
Dari sisi lain, Participating interest 10 persen merupakan terobosan bagus untuk meningkatkan kemandirian BUMD di Jambi. Hanya saja perlu di antisipasi sehingga BUMD tidak menjadi tunggangan pemodal melalui pengelolaan participating interest.
Tantangannya tentu saja klasik mengingat BUMD tidak mempunyai modal yang cukup untuk bisa terlibat dalam participating interest 10 persen. Selain itu, jika BUMD yang menjalankan sepenuhnya participating interest 10 persen, apakah BUMD Jambi memiliki tenaga ahli yang memadai dan kompeten sesuai kualifikasi teknis yang dibutuhkan.
Karena industri perminyakan merupakan industri padat modal serta berisiko tinggi, untuk membagi risiko dan beban biaya tersebut, maka perlu keterlibatan swasta bersama BUMD dalam pengelolaan participating interest 10 persen tersebut.
Dalam kepentingan ini, Gubernur Al Haris sebenarnya telah menjajaki kerjasama dengan Pemerintah Provinsi Jawa Barat dalam hal penyiapan SDM. Nanti pemerintah Provinsi akan mengirimkan SDM (sumber daya manusia) ke PT Migas Hulu Jabar untuk mempelajari sistem pengelolaan PI 10 persen.
Namun, langkah ini tentu tidak cukup, perlu inisiasi lain dalam menyiapkan SDM Lokal yang bisa mengelola migas di Jambi. Karena investasi SDM sifatnya jangka panjang, perlu keterlibatan institusi pendidikan di Jambi dalam menyiapkan SDM migas ini. Jika tak dilakukan, lagi – lagi anak – anak Jambi hanya menjadi penonton.
Antisipasi Korupsi Migas di Jambi
Di balik peluang besar ini sebenarnya pemerintah harus mengantisipasi sisi lain dari kue baru migas ini, yakni Korupsi.
Masalah ini publik belajar dari kasus dugaan korupsi pembelian gas bumi Perusahaan Daerah Pertambangan dan Energi (PDPDE) Sumatera Selatan yang menyeret mantan Gubernur Sumsel Alex Noerdin.
Kasus ini seolah menyingkap tabir rentannya pengelolaan migas menjadi bancakan dan menjadi preseden buruk bagi pengelolaan migas oleh BUMD di Indonesia, meski tidak bisa digeneralisir, ini bisa dijadikan warning, perlu di antisipasi, jika tidak dikhawatirkan akan juga terjadi di Jambi.
Mengantisipasi ini penting, agar Pejabat daerah dan BUMD patuh pada regulasi tata kelola aset pemerintah daerah, hati-hati dan memahami dengan baik regulasi di tingkat pusat dan daerah, tidak hanya terkait migas namun juga regulasi di tingkat Pemda. Selain itu sedari awal harus ada audit, auditor publik dan pemerintah dalam hal ini BPKP. Jika tidak, hanya masalah waktu, muncul kasus hukum dari kue baru Migas ini. (***)
Discussion about this post