Oleh : Dr. Noviardi Ferzi (Pengamat)
GEJOLAK harga pangan adalah dampak dari kebiasaan kita menyerahkan urusan perut ke orang lain. Muara dari perilaku impor tanpa dibarengi usaha kuat mewujudkan kemandirian pangan. Padahal dengan 240 juta lebih penduduk, masalah pangan hal paling esensial, bagaimana memberi makan orang banyak, ini bukan masalah ekonomi semata, tapi juga stabilitas nasional. Tak ada negara yang stabilitasnya baik tanpa pangan.
Kenaikan semua komoditi pangan berpangkal dari lambatnya pemerintah mencapai swasembada. Kita ketagihan untuk membeli, akibatnya masalah harga komoditi naik, selalu terulang setiap tahunnya. Naifnya, kita selalu bergantung ke impor, motifnya jelas, karena ada rent seeking, ada fee yang diperoleh dari setiap kilogram komoditi yang diimpor.
Persoalan gejolak harga pangan di dalam negeri seakan-akan tak ada habisnya. Belum reda polemik tepung terigu, kedelai, minyak goreng, kini masyarakat dihadapkan lagi dengan melambungnya harga daging. Kedelai dan daging sama-sama jenis pangan yang mengandalkan impor. Akibatnya, jika pasar internasional bergejolak, harga di pasar domestik pun dipastikan terganggu. Ibaratnya, meskipun di luar hanya bersin, kita di sini sudah sakit. Apalagi kalau di pasar internasional sudah batuk-batuk, mungkin kita sudah tekapar.
Sebagai contoh, harga daging sapi naik dari yang biasanya di kisaran 115 hingga 125 ribu rupiah per kilogram (kg), kini menjadi 160 rupiah ribu per kg. Sementara itu, harga daging sapi bagian paha belakang menyentuh 135 hingga 160 ribu rupiah per kg. Hal yang sama juga pada harga daging sapi murni dari sebelumnya 115 menjadi 132 ribu rupiah per kg.
Untuk Sapi Kemampuan produksi nasional belum mencapai 70 persen dari total kebutuhan, kurang lebih 30 persen masih bergantung pada impor. Inilah yang membuat harga daging dalam negeri rentan bergejolak. Ketika harga di pasar internasional terganggu harga dalam negeri pun otomatis terganggu.
Kementan sendiri dinilai belum bisa mendorong peningkatan produksi daging dalam negeri. Program integrasi sapi sawit serta Upaya Khusus Sapi Indukan Wajib Bunting (Upsus Siwab) yang digembar-gemborkan lembaga penanggung jawab sektor peternakan dipandang jalan di tempat.
Pencapaian swasembada daging nasional yang harus diimplementasikan oleh pemangku kepentingan, yaitu (1) penciptaan bibit unggul melalui breeding dan perbaikan genetik, (2) peningkatan populasi dan mutu genetik melalui reproduksi dan pembiakan, (3) pemenuhan pakan berkualitas sepanjang tahun berbasis bahan baku lokal, (4) pengendalian dan pengontrolan kesehatan hewan dan betina produktif, (5) pasca panen dan pen-golahan untuk menciptakan margin dan nilai (value creation), (6) penerapan regulasi dan kebijakan pemerintah yang kondusif, serta (7) pengembangan SDM peternak.
Hal yang sama juga terjadi pada kedelai yang mayoritas bersumber dari impor. Harga dalam negeri rawan bergejolak. Mogoknya pedagang daging sama dengan mogoknya pedagang tahu dan tempe, beberapa waktu lalu. Mereka memprotes meroketnya harga bahan baku untuk membuat tahu tempe.
Produksi komoditas kedelai yang hanya 211.265 ton padahal rata-rata kebutuhan kedelai dalam negeri sebesar 2.825.219 ton pada tahun 2021 lalu. Ini artinya, pemerintah harus mengimpor kedelai setiap tahunnya. Tahun 2022, impor kedelai sebesar 2.521.224 ton tanpa ada upaya untuk swasembada. Padahal ada program prioritas kedelai.
Kondisi ini cukup anomali, mengingat sejak tahun 2015 lalu, pemerintah menerbitkan program Upsus Pajale (Upaya Khusus Padi, Jagung, dan Kedelai), tetapi hingga sekarang justru produksi kedelai dalam negeri tak naik-naik.
Sebenarnya, kalau mau swasembada pangan seperti kedelai, kuncinya adalah sediakan bibit bagus, menjamin pupuk ada di pasar dan affordable untuk petani, bimbingan teknis, dan sekolah lapangan bagi petani agar produksinya banyak dan kualitas bagus, peningkatan teknologi pascapanen, menjamin harga tidak anjlok pada saat panen, ketersediaan akses ke pasar, dan finansial bagi petani.
Langkah awal untuk swasembada pangan adalah dengan melakukan pemberantasan dan pembersihan para mafia pangan yang bermain. Salah satu langkahnya adalah dengan melakukan pengurangan barang import komoditas.
Usaha ini memang mengandung resiko namun perlu, karena menghentikan import akan menimbulkan gejolak harga. Namun, titik beratnya adalah memberantas mafia dan stop import barang komoditas, adalah opsi yang perlu dilakukan secara proporsional. Pemerintah harus berani menghentikan impor.
Selain itu ketersediaan bibit unggul namun tidak didukung dengan lahan yang luas tidak akan menghasilkan hasil yang maksimal. Jadi balai-balai besar harus serius dan segera bergerak. Segera diterbitkan UU tentang pengalihan lahan agar dapat menahan laju pengalihan lahan yang banyak berubah menjadi alih fungsi dari awalnya lahan pertanian menjadi kebun sawit atau areal pemukiman.
Hal lainnya yang juga tidak kalah penting dalam meningkatkan industri pangan adalah ketersedian sarana dan prasarana tehnologi. Pasalnya sejauh ini, pasokan tehnologi pendukung pertanian terkesan tersendat sehingga hasil produktifitas pertanian tidak maksimal.
Kedaulatan pangan harus berorientasi petani Indonesia kaya dan makmur. Maka untuk mewujudkan petani kaya maka mata rantai high cost yang di keluarkan oleh petani dapat di pangkas. Swasembada pangan harus berparameter peningkatan kesejahteraan petani. (***)
Discussion about this post