Oleh Dr. Noviardi Ferzi (Pengamat)
PEMBANGUNAN infrastruktur harus membuka ruang keadilan, membawa distribusi ekonomi secara merata. Namun dua hal ini bukan sesuatu yang given, diberikan secara alamiah. Keadilan dan pemerataan merupakan Cateris Paribus, teori yang berlaku jika asumsinya terpenuhi. Hari ini asumsi pembangunan infrastruktur memiliki efek berganda belum terpenuhi.
Penyebab tak terwujudnya keadilan dan pemerataan, berawal dari orientasi ekonomi yang over dosis dari para pemilik modal dan kekuasaan. Saat ini infrastruktur terlalu berorientasi uang, mengeruk sumber daya secara masif. Kapitalisme menguasai segalanya, dari hulu perizinan hingga eksplorasi, dari perencanaan hingga pengadaan bahan baku infrastruktur.
Dari titik ini, perspektif sejarah menjadi penting digunakan untuk memahami berbagai ketimpangan dan praktek munculnya kolonialisme baru dalam pembangunan infrastruktur yang sedang terjadi. Dahulu, jalur kereta api dibikin pemerintah kolonial secara tak langsung bertujuan untuk memaksimalkan penjajahan dari pada kesejahteraan rakyat. Pembangunan jalur kereta api lebih sebagai sarana eksploitasi komoditas pangan dan hasil bumi, mempercepat dan mengefisiensikan praktik kolonialisme.
Namun meski sama semangatnya dalam mengeksploitasi sumber daya, ada perbedaan antara infrastruktur kolonial dengan hari ini terjadi. Perbedaannya, infrastruktur kolonial Belanda dibangun masih dengan perencanaan, sehingga sebagian legacy-nya seperti jalur kereta api sampai sekarang masih dapat dimanfaatkan.
Sedangkan infrastruktur hari ini dibangun tanpa perencanaan dan tidak didedikasikan untuk kepentingan rakyat, sehingga tidak berdampak kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat umum, mis-planning, mis-feasibility study
Proyek infrastruktur seperti pembangunan kereta api cepat Jakarta-Bandung, pemindahan ibu kota ke Kalimantan Timur, dan mangkraknya Bandara Sudirman di Purbalingga, serta Bandara Kertajati, Majalengka, adalah contoh pembangunan yang tidak berdasarkan planning.
Masalah perencanaan ini bisa dilihat juga dari Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara, kendati RUU tersebut kini sudah disahkan DPR menjadi undang-undang. Lucunya, proyek sebesar ini hanya merujuk pada 17 referensi sebagai daftar pustaka. Terlalu sedikit untuk dijadikan referensi pemindahan ibu kota yang begitu besar dengan naskah akademis yang begitu dangkal dan sumir.
Selain itu pembangunan infrastruktur yang mengharuskan menggusur lahan masyarakat, menjadi anti tesis yang memiskinkan masyarakat dari pembangunan infrastruktur. Penggusuran lahan, termasuk pemukiman, dianggap tidak berpihak kepada masyarakat. Pasalnya, nilai ganti rugi terkadang tidak sebanding, saat masyarakat ingin membeli lahan yang baru.
Pembangunan infrastruktur, membuat banyak masyarakat merasa dilanggar hak-haknya. Padahal semestinya orientasi pembangunan yang tidak hanya pembangunan fisik, namun juga sumber daya manusia.
Dalam catatan YLBHI masalah ini menimbulkan banyak aduan masyarakat atas pelanggaran hak akibat pembangunan infrastruktur masuk dari semua wilayah. Di Palembang, LBH setempat menerima pengaduan kasus pembangunan jalan tol. Kemudian di LBH Padang, ada aduan tentang proyek pembangkit listrik tenaga geothermal. LBH Bandung menerima pengaduan soal pembangunan PLTU Batubara Cirebon dan Bendungan Jatiegede, dan masih banyak kasus pengadun lain seiring pembangunan infrastruktur.
Kasus-kasus pengaduan itu menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi dan infrastruktur dilakukan dengan mengambil hak masyarakat. Hasilnya, pembangunan infrastruktur meski ditujukan untuk meningkatkan derajat kesejahteraan, tetap dominan “efek memiskinkan” yang tidak bisa dihindari, di satu sisi ingin meningkatkan perekonomian masyarakat, namun di lain sisi menghilangkan akses masyarakat pada sumber pendapatannya
Lalu, seberapa lama program pembangunan infrastruktur membawa dampak pada pembangunan ekonomi?
Tidak ada jawaban yang pasti, tergantung jenis infrastruktur yang dibangun, apakah jalan, listrik, bandara, atau jenis lainnya. Ada yang berpendapat bahwa dampak dari pembangunan infrastruktur baru akan terasa dalam 2-3 tahun ke depan, namun faktanya bisa lebih 1 atau 2 dasa warsa.
Selama masa tunggu ini, masyarakat lokal hanya jadi penonton dari pertumbuhan pesat di wilayahnya. Sementara kerusakan lingkungan yang berakibat langsung pada kehidupan dan kesehatan mereka berlangsung sepanjang masa.
Kalaupun mereka mendapat manfaat sangatlah sedikit seperti menjadi jongos, sopir, dan warung-warung kecil tempat belanja karyawan pusat pertumbuhan. Bila dibandingkan dengan keuntungan yang didapat para investor, tentulah ibarat bumi dan langit.
Tidak berlebihan bila para penganut pendekatan strukturalis menggambarkan jalan-jalan bagus yang dibangun itu hanya berfungsi untuk mengangkut sumber daya alam dari daerah ke pelabuhan, kemudian dibawa ke negara-negara pemilik modal. Tak ubah praktek di zaman kolonial. (***)
Discussion about this post