Oleh : Dr. Noviardi Ferzi (Pengamat)
PENGANGGURAN lebih berbahaya dari perbudakan. Karena itu salah satu tujuan pembangunan ekonomi adalah untuk membuka lapangan kerja, agar orang tak menganggur. Namun, itu dulu, kini bekerja atau tidak sama – sama melahirkan kondisi yang sama, yaitu ketimpangan sosial, yang memberikan peluang orang kaya menimbun kekayaan, memperbudak dengan modus memberikan pekerjaan kepada warga dengan upah murah dan hak dasar buruh yang dihilangkan.
Praktek ” perbudakan ” ini seperti di fasilitasi oleh UU Ciptaker yang kontroversial. Pada satu sisi UU ini ingin membuka lapangan kerja, namun, di sisi lain, UU Ciptaker membuka praktek perbudakan bagi kaum pekerja Indonesia.
Sekilas UU Ciptaker seperti tidak ada perubahan berarti dari UU Ketenagakerjaan 13/2003, padahal jika kita lihat, ada penggantian dan penghilangan substansi hingga timpang tindih antara pasal satu dengan pasal lainnya yang merugikan pekerja dan perempuan.
Dalam UU Cipta Kerja berpotensi merugikan pekerja, merubah mereka yang bekerja tak ubah sebagai budak, khususnya pasal – pasal yang mengatur tentang :
Pertama, Sistem kerja kontrak, dalam UU Cipta Kerja, perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) tidak dibatasi periode dan batas waktu kontrak. Pasal 81 angka 15 UU Cipta Kerja mengubah ketentuan Pasal 59 pada UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pasal 81 angka 15 UU Cipta Kerja menyebut, pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Penggunaan frasa “tidak terlalu lama” mengubah ketentuan soal batas waktu pekerjaan yang penyelesaiannya “tiga tahun” sebagai salah satu kriteria PKWT.
Hal ini diyakini akan membuat pengusaha leluasa menafsirkan frasa “tidak terlalu lama” dan makin menipisnya kepastian kerja bagi buruh.
Demikian juga perpanjangan PKWT yang kemudian diatur Peraturan Pemerintah (PP), dengan pengaturan ini buruh dapat dikontrak dalam jangka pendek, tanpa periode, dan secara terus menerus atau tanpa batas waktu sehingga menyebabkan buruh kehilangan kesempatan menjadi karyawan tetap (PKWTT).
Ke dua, Praktik outsourcing meluas.UU Cipta Kerja tidak mengatur batasan kriteria pekerjaan yang dapat dipekerjakan secara alih daya atau outsourcing. Berdasarkan UU Ketenagakerjaan, outsourcing hanya dapat dilakukan jika suatu pekerjaan terlepas dari kegiatan utama atau terlepas dari kegiatan produksi.
Sementara itu, UU Cipta Kerja tidak memberikan batasan demikian. Akibatnya, praktik outsourcing diprediksi makin meluas. Selain itu, dalam UU Cipta Kerja juga hanya mengatur peralihan perlindungan pekerja pada perusahaan penyedia jasa atau vendor lain.
Hal ini sebagaimana amanat Putusan Mahkamah Kontitusi (MK) Nomor 27/PUU-IX/2011.Sementara itu, peralihan hubungan kerja dari vendor ke perusahaan pemberi kerja sebagaimana diatur UU Nomor 13 Tahun 2003 tidak tercantum dalam UU Cipta Kerja. Alhasil, peluang agar hubungan kerja pekerja outsourcing beralih ke perusahaan pemberi kerja makin kecil.
Ketiga, masalah waktu kerja eksploitatif. Dalam UU Cipta Kerja, batasan maksimal jam lembur dari tiga jam dalam sehari dan 14 jam dalam sepekan, menjadi empat jam dalam sehari dan 18 jam dalam seminggu.
Selain akan berakibat pada kesehatan buruh, besaran upah lembur yang diterima juga tidak akan sebanding.
Mengingat, upah minimum yang menjadi dasar penghitungan upah lembur didasarkan pada mekanisme pasar berdasarkan PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.
Ke Empat, berkurangnya hak cuti dan istirahat. Dalam UU Cipta Kerja, istirahat bagi pekerja hanya diperoleh sekali dalam sepekan. Dengan demikian, pengusaha tidak mempunyai kewajiban untuk memberikan waktu istirahat selama dua hari kepada pekerja yang telah bekerja selama lima hari dalam sepekan.
Apalagi, dalam UU Cipta Kerja juga buruh dapat dikenakan wajib lembur. Selain itu, UU Cipta Kerja juga menghilangkan hak cuti panjang selama dua bulan bagi buruh yang telah bekerja minimal selama enam tahun.
Ke Lima, Pekerja rentan alami PHK. Buruh rentan mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK), salah satunya ketika mengalami kecelakaan kerja. Pasal 81 angka 42 UU Cipta Kerja menyisipkan Pasal 154A mengenai alasan pemutusan pemutusan hubungan kerja.
Salah satu alasannya yakni pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 bulan.
Sementara itu, pasal 172 UU Ketenagakerjaan menyatakan buruh berhak atas dua kali pesangon jika mengalami PHK karena sakit berkepanjangan melebihi 12 bulan. Namun, ketentuan ini dihapus melalui UU Cipta Kerja.
Masalah – masalah ini hanya bagian dari konspirasi ekonomi yang mencatut hak rakyat untuk sejahtera. Prof. Musa Asy’arie pernah mengatakan konspirasi ekonomi tampil sebagai tukang catut. Para mereka ini merupakan para pemegang kepentingan yang selalu memainkan kebijakan perekonomian pemerintah.
Menurutnya ekonomi tukang catut ini berlaku dari kalangan bawah hingga kalangan atas. Kalangan bawah seperti calo yang masih sering berkeliaran di sekeliling masyarakat Indonesia. Sedangkan kalangan atas seperti pihak multinasional korporasi yang perlahan-lahan memainkan peranan penting dalam perekonomian Indonesia.
Dalam prakteknya, tukang catut ini membangun jaringan konspirasi di semua lini, mulai dari regulasi perundangan, pemodalan, perizinan, penetapan lokasi, dan manajemen perusahaan. Kondisi ini yang menyebabkan banyak munculnya korupsi.
Agar perekonomian Indonesia tidak diberdaya oleh konspirasi kepentingan, konspirasi harus dilawan agar negeri ini tidak tergadaikan. Kalau ingin membangun pro rakyat, maka pemerintah harus melawan konspirasi pengangguran dan perbudakan. (***)
Discussion about this post