Oleh : Dr. Noviardi Ferzi (Pengamat)
LAGU lama diputar ketika belum ada lagu baru. APBN dipilih karena investor masih harus dicari. Pasca Softbank Jepang menarik diri sebagai investor strategis, pendanaan pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) baru di Kalimantan Timur akan menggunakan APBN, terutama pada tahap pertama yakni dari periode 2022 hingga 2024.
Pembangunan IKN menggunakan APBN, hingga 2024, tentu akan berpengaruh signifikan terhadap target pemerintah untuk kembali ke defisit APBN 3 persen pada 2023, karena IKN akan banyak memakan biaya dari belanja pemerintah yang memperbesar defisit APBN.
Menggunakan APBN untuk membiayai sebagian besar proyek IKN bukan tanpa risiko. Karena APBN seharusnya digunakan untuk membiayai proyek-proyek prioritas, terutama menjelang habisnya bonus demografi Indonesia pada 2035.
Pemerintah memperkirakan pembangunan IKN membutuhkan setidaknya Rp 466 triliun. Sebanyak 20 persen atau 89 triliun dari kebutuhan itu akan ditopang oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Adapun sisanya akan dipenuhi lewat berbagai cara; mulai dari skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU), pajak khusus, pemanfaatan barang milik negara, bahkan hingga crowdfunding.
Pemerintah memang bisa saja mengutak-atik postur APBN untuk membiayai IKN. Namun, hal tersebut akan mengorbankan proyek-proyek prioritas lainnya. Bahkan sebelum proyek IKN di mulai, sejumlah proyek infrastruktur sudah terancam mangkrak karena kekurangan pendanaan.
Resikonya Indonesia akan kehilangan momentum pertumbuhan ekonomi jika terlalu fokus pada pembangunan IKN. Apalagi menurutnya, kontribusi ekonomi dari pembangunan IKN tidak terlalu signifikan. Berbagai pengamat melakukan perhitungan kontribusi IKN terhadap ekonomi nasional sangat kecil hanya 0,05 persen -0,1 persen.
Mencari investor lain, bisa. Namun bukan perkara mudah meyakinkan investor untuk menggelontorkan uangnya di proyek IKN. Profil risiko proyek ini terlalu tinggi, sedangkan peluang keuntungannya tidak sebesar proyek infrastruktur lainnya. Dalam hal ini porsi pendanaan APBN justru akan mendominasi pembiayaan IKN.
Mau tak mau pemerintah harus membuka semua jalur pendanaan untuk membiayai IKN. Guna menopang APBN misalnya, pemerintah akan mengandalkan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP), obligasi, hingga pemanfaatan barang milik negara.
Selain APBN, pemerintah juga membuka ruang investasi melalui filantropi, trust fund, dan investor lain di luar pemerintah. Swasta murni diperbolehkan sepanjang sesuai rencana induk yang dibangun.
Padahal sebelumnya Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebelumnya menyebut bahwa pendanaan IKN tidak akan membebani keuangan negara, atau didominasi oleh APBN. Namun kini semua sudah berubah, investor hengkang, pemerintah harus menelan ludah.
Bicara skema pendanaan selain APBN meliputi Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU), investasi swasta, dan BUMN. Namun tetap saja membutuhkan dukungan fiskal memang akan dibutuhkan bahkan untuk skema pendanaan non-APBN seperti KPBU. Karena KPBU juga butuh dukungan APBN. Dalam bentuk project development fund, atau dukungan-dukungan lain yang harus mulai di identifikasi dengan ketat.
Masalahnya, APBN fiskal 2023, sesuai undang-undang, ada kewajiban kembali defisit 3 persen. Kecuali pemerintah mau memperlebar defisit ini untuk berhutang sebanyak – banyaknya demi IKN. Sementara untuk tahun 2024, masih ada penanganan Covid-18, pemulihan ekonomi, Pemilu, dan IKN. Kesimpulannya, IKN menjadi beban berat APBN yang sebenarnya sudah amat berat. (***)
Discussion about this post