Oleh: Irwan Hadi Syamsu (Fasilitator Forum Anak Daerah Jambi)
MANAKAH yang lebih penting, citra baik sekolah atau keselamatan peserta didik?
Pertanyaan ini muncul setelah jagat maya dihebohkan oleh pernyataan seseorang tentang keponakannya yang mengalami perundungan di Sekolah Dasar Islam Terpadu Al-Azhar Kota Jambi hingga berujung kematian.
Kontradiktif dengan hal tersebut, pihak sekolah memberikan klarifikasi bahwa tidak ada perundungan dan masalah tersebut telah selesai melalui jalan damai.
Seolah gunung es, masalah perundungan begitu besar namun sedikit sekali yang muncul ke permukaan. Penyebabnya beragam, mulai dari ketakutan korban untuk melaporkan hingga adanya upaya menutup-nutupi kasus oleh sekolah demi nama baik dan pencitraan. Terkait pencitraan sekolah yang membahayakan keselamatan peserta didik, itu merupakan hal yang paling haram untuk dilakukan.
Mengutip pasal 9 ayat 1a Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari satuan pendidikan atas kejahatan seksual dan kekerasan. Hal ini diperkuat oleh Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang penanggulangan dan pencegahan tindak kekerasan di lingkungan satuan pendidikan, bahwa setiap instansi yang membiarkan atau menutupi kekerasan terhadap peserta didik dikenakan sanksi berupa pemberhentian bantuan, penggabungan dengan satuan pendidikan milik pemerintah, bahkan penutupan satuan pendidikan.
Demi terciptanya lingkungan sekolah yang aman, nyaman, dan menyenangkan serta jauh dari tindak kekerasan, perundungan harus dihentikan melalui prosedur yang telah diundangkan agar memberikan kesadaran komulatif bagi penyelenggara pendidikan tentang bahaya menahun yang ditimbulkannya. Apalah guna sekolah berakreditasi “A” dan jargon religius “pendidikan karakter” jika masih tidak peduli dengan fenomena buruk yang justru merusak karakter peserta didik.
Racun Perundungan dan Penawarnya
Persis seperti domino, rundung menimbulkan efek yang selalu sama pada setiap korbannya. Jika tidak cacat fisik atau psikis bahkan meninggal, korban cenderung memiliki dendam yang kapan saja ada kesempatan akan membalas kepada pelaku atau orang lain yang tidak bersangkutan. Efek ini menjadi racun yang siap menggerogoti generasi ke generasi jika tidak ditemukan penawarnya.
Sesungguhnya, pemerintah telah memiliki formula khusus dalam mengentaskan angka kekerasan pada lingkungan satuan pendidikan melalui kebijakan Sekolah Ramah Anak (SRA). Maka akselerasi kebijakan ini penting untuk diberlakukan kepada setiap satuan pendidikan, baik Negeri maupun swasta.
Selain itu, pencegahan kekerasan terhadap peserta didik harus menjadi perhatian semua pihak, sejak keluarga, masyarakat, sekolah, sampai kepada pemangku kebijakan. Hal ini memungkinkan untuk tercapainya sistem pendidikan yang secara komprehensif mengakomodir minat, bakat, dan kebutuhan anak demi terciptanya generasi berkualitas.
Akhir kata, perundungan yang dibiarkan dan ditutup-tutupi adalah benih karakter kriminalis yang akan tumbuh hingga ratusan tahun mendatang. (***)
Discussion about this post