Oleh : Dr. Noviardi Ferzi (Ekonom)
BERKAH Ramadhan. Ibadah puasa yang dijalankan mayoritas masyarakat Indonesia membawa perilaku ekonomi yang unik. Secara mikro perubahan tingkat konsumsi, daya beli dan berbagai ekspektasi lainnya. Perilaku yang mendorong roda ekonomi berputar, berkorelasi positif terhadap perkembangan makro ekonomi daerah dan nasional.
Ramadhan adalah salah satu contoh fenomena moving holiday. Adanya perayaan bulan Ramadhan dan Idul fitri ini secara langsung berpengaruh besar pada pola konsumsi masyarakat secara makro, khususnya di negara-negara yang mayoritas penduduknya adalah beragama Islam, termasuk Indonesia.
Tren ini anomali yang menarik, karena sebenarnya Ramadhan identik dengan proses pengendalian hawa nafsu duniawi, namun menariknya tingkat konsumsi masyarakat justru sering kali lebih tinggi jika dibandingkan dengan bulan-bulan lain.
Laju konsumsi biasanya akan terus bergerak mencapai klimaksnya seiring adanya tunjangan hari raya (THR) yang diterima hampir seluruh tenaga kerja. Belum lagi dengan aliran zakat atau donasi sosial lainnya yang dalam durasi singkat akan mengerek daya beli kaum papa.
Di antara berbagai data yang tersedia, PDB Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga dapat memberikan gambaran yang tepat terkait fenomena puasa dan konsumsi masyarakat.
Mengutip Danareksa Research Institute (DRI) yang memproyeksi Konsumsi rumah tangga pada kuartal I-2022 bisa tumbuh ke 4,12% yoy. Pemulihan konsumsi rumah tangga di kuartal I – 2022 masih bisa berlanjut ke kuartal II – 2022. Hal ini disebabkan oleh konsumsi masyarakat selama Ramadhan.
Di tengah Pandemi tahun 2021 kemarin Continuum Data Indonesia mencatatkan indeks konsumsi masyarakat pada periode Ramadan mengalami peningkatan sebesar 17 persen. Riset tersebut dikumpulkan dari 1,2 juta pembicaraan dari 934.671 akun di media sosial pada periode 1 April hingga 25 April 2021.
Peningkatan konsumsi tertinggi terjadi pada pengeluaran pakaian dan rumah tangga dengan masing-masingnya mencapai 47 persen dan 18 persen. Kebanyakan kenaikan belanja pakaian secara online, seperti jeans, kemeja, sarung yang berkaitan dengan Ramadan.
Contoh faktual lainnya, hasil riset yang dilansir oleh McKinsey menggambarkan akselerasi digitalisasi sejak pandemi. Catatan pengiriman paket selama delapan minggu pandemi menyamai jumlah paket yang terkirim sepanjang 10 tahun sebelum Covid-19.
Meski konsumsi tinggi perlu juga diwaspadai, mengingat konsumsi merupakan variabel yang lebih banyak dipengaruhi (dependen) ketimbang memengaruhi (independen).
Tingkat konsumsi yang meningkat atau progresif akan mendorong akselerasi pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan investasi dan produksi sektor penyedia konsumsi (khususnya pertanian, industri, dan perdagangan).
Namun di sisi yang lain konsumsi amat dipengaruhi faktor daya beli, yakni episentrum antara tingkat pendapatan dan inflasi. Ketika tingkat pendapatan diasumsikan konstan, sedangkan inflasi tengah menanjak, daya beli masyarakat akan terpangkas. Karena itu agar ekspektasi pertumbuhan ekonomi tetap terjaga selama Ramadan dan Lebaran, daya beli masyarakat harus tetap dirawat.
Lalu, apakah Ramadhan dapat dijadikan sebagai momentum kebangkitan ekonomi di masa pandemi Covid-19? Menurut analisa saya, momentum Ramadhan tidak dapat dijadikan penopang pemulihan ekonomi (economic recovery) yang tengah tertatih di era pandemi ini.
Ada dua alasan yang mendasarinya. Pertama, geliat ekonomi pada masa Ramadhan bersifat musiman, sehingga begitu bulan puasa dan Hari Raya Idul Fitri sudah lewat, kegiatan ekonomi kembali ke situasi sebagaimana biasanya.
Kedua, permasalahan pemulihan ekonomi di masa endemi Covid-19 tidak dapat dilakukan tanpa kemampuan mengendalikan pandemi itu sendiri secara konsisten, seperti laju vaksinasi booster dan lainnya.
Momentum Ramadhan dalam dua tahun ini kita digerakkan energi ganda dalam melahirkan perilaku ekonomi. Selain optimisme yang bersenyawa dengan gelora spiritual, meski beradaptasi, digitalisasi dalam rentang dua tahun pandemi telah membuat kita jenuh. Rasa bosan yang ingin kita lepaskan dengan kebebasan, baik itu mudik atau belanja.
Ramadhan dan Lebaran Idul Fitri tahun 2022 ini sebagai momentum untuk mengungkit ekonomi di kuartal II-2022, dengan tetap menjaga pengendalian pandemi Covid-19 yang masih mengancam. Akhirnya selamat berpuasa, Marhaban Ya Ramadhan. (***)
Discussion about this post