Oleh : Dr. Noviardi Ferzi (Pengamat)
PERSENGKOKOLAN tender bukan cerita baru, tapi kejadian lama yang telah membentuk pola berulang, hanya berganti rezim tanpa berganti banyak pemain. Dugaan upaya pengkondisian berbagai proyek yang bernilai besar dan kecil terjadi hampir semua daerah di Indonesia, termasuk di Provinsi Jambi. Tidak di satu dua OPD saja, namun tersebar di beberapa OPD lainnya.
Bahkan, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyatakan perkara persekongkolan tender hingga kini masih mendominasi jenis penanganan. Fenomena ini pada akhirnya akan merugikan publik karena pemenangnya bukan pelaku usaha paling kompetitif
Persekongkolan tender merupakan fenomena yang membahayakan bagi perekonomian secara keseluruhan.Dampak persekongkolan tender mengakibatkan kerugian yang signifikan, baik terhadap pelaku usaha pesaing maupun kepada masyarakat secara luas.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha
(KPPU) telah mengatur dalam pedoman khusus, bahwa para pelaku usaha dilarang melakukan persekongkolan dalam tender dengan pelaku usaha lain dalam mengatur dan menentukan pemenang tender sehingga menyebabkan persaingan usaha tidak sehat.
Persekongkolan tender adalah konspirasi pelaku usaha dengan pihak lain. Hal ini membawa konsekuensi bahwa kepentingan yang hadir di dalam persekongkolan tender tidak selalu eksklusif antar-sesama pelaku usaha, melainkan juga melibatkan oknum pejabat atau pimpinan di pemerintah pusat, daerah, badan usaha milik negara, daerah, dan atau perusahaan swasta.
Dampak negatif dari persekongkolan tender tersebut adalah hilangnya kesempatan bagi pelaku usaha lain untuk berkompetisi dalam tender dan merugikan negara.
Modusnya bisa memberlakukan syarat-syarat untuk mencegah atau menghalangi pihak lain memperoleh barang dan jasa secara bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas, atau juga membatasi pasar atau teknologi. Praktek ini sebenarnya salah satu upaya menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar yang bersangkutan.
Peraturan KPPU No. 2 Tahun 2010 memberikan beberapa indikasi dari praktik persekongkolan ini, mulai dari tahap perencanaan, pembentukan panitia, prakualifikasi perusahaan, pembuatan persyaratan sebagai peserta, pengumuman tender, pengambilan dokumen tender, penentuan harga perkiraan sendiri/harga dasar lelang, penjelasan (open house), penyerahan dan pembukaan dokumen (kotak penawaran), evaluasi dan penetapan pemenang, pengumuman calon pemenang, pengajuan sanggahan, penunjukan pemenang dan penandatanganan kontrak, sampai pada tahap pelaksanaan dan evaluasi pelaksanaan.
Di dalam pedoman itu diungkapkan perilaku konspiratif yang menghambat persaingan usaha yang sehat itu, ternyata juga masih mungkin dilakukan pada tahap paling ujung. Dalam hal ini, pemenang tender ternyata mensubkontrakkan pekerjaan itu kepada perusahaan lain, atau bahkan ke rekanan pelaku usaha yang kalah di dalam tender itu.
Bisa juga pelaku usaha yang memenangkan tender tetap mengerjakan proyek itu, tetapi ia sengaja mengurangi volume dan nilai proyek itu sehingga menyimpang dari komitmen awal, dan semua itu dilakukan atas dasar konspirasi dengan pihak-pihak tertentu. Memang dapat terjadi bahwa persekongkolan tender baru kemudian terbongkar setelah suatu proyek rampung dikerjakan. Melalui audit, misalnya, baru ditemukan ketidakberesan yang mengindikasikan suatu persekongkolan tender.
Dalam Peraturan KPPU No. 2 Tahun 2010 digambarkan tiga skema suatu persekongkolan tender. Pertama, adalah Persekongkolan horisontal terjadi apabila sejumlah pelaku usaha atau penyedia barang/jasa mengadakan konspirasi satu sama lain, sehingga sebenarnya tidak pernah ada persaingan di antara mereka.
Di luar terlihat mereka pura-pura bersaing (persaingan semu), padahal mereka sudah mengatur siapa yang akan menjadi pemenang dalam tender itu. Sebagai contoh, mereka saling membocorkan isi dokumen. Biasanya pelaku usaha yang sengaja “dikalahkan” akan diberi imbalan atas kesediaannya bekerja sama di dalam persekongkolan tersebut.
Dalam persekongkolan horisontal ini, pihak panitia pengadaan barang dan jasa, atau panitia lelang, atau pengguna barang dan jasa, atau pimpinan proyek, tidak terlibat di dalam konspirasi ini. Apabila sudah terlibat, maka persekongkolan ini tidak lagi disebut horisontal.
Kedua, bentuk persekongkolan tender vertikal. Di sini sudah ada keterlibatan panitia, pengguna barang/jasa, atau pimpinan proyek. Justru keterlibatan ini secara aktif dijalankan dengan cara memberi kesempatan kepada salah satu dari pelaku usaha (perserta tender/lelang) untuk memenangkan proyek tersebut. Biasanya, praktik demikian disertai imbalan-imbalan tertentu kepada pihak panitia, pengguna barang/jasa, atau pimpinan proyek.
Apabila di dalam pemberian imbalan ini terdapat kerugian negara, maka dengan sendirinya perilaku demikian selain adalah persekongkolan vertikal juga merupakan tindak pidana korupsi. Sesama pelaku usaha yang menjadi peserta tender kemungkinan tidak berhubungan secara langsung satu sama lain. Gambaran dari persekongkolan vertikal ini adalah sebagai berikut:
Bentuk ketiga adalah kombinasi dari bentuk pertama dan kedua, yaitu persekongkolan horisontal dan vertikal. Beberapa pelaku usaha/penyedia barang atau jasa yang menjadi peserta tender sudah melakukan konspirasi dan hal ini direstui dan difasilitasi oleh panitia, pengguna barang/jasa, atau pimpinan proyek. Tentu pada akhirnya, siapa yang akan memenangkan tender itu sudah diatur di antara mereka.
Bahkan, cukup sering peserta tender “abal-abal” ada yang sengaja diikutkan demi memperlihatkan bahwa kegiatan tender itu diikuti oleh cukup banyak peserta dan pemenangnya sudah diseleksi secara ketat.
Dalam doktrin persaingan usaha, persekongkolan tender masuk dalam kategori kartel berat (hardcore cartel) karena tak hanya mengkondisikan harga, tapi juga pengaturan produksi sekaligus menentukan pemenang tender.
Karena itu, semestinya pelanggaran tender diganjar hukuman berat. Tak hanya hukuman denda, ia menyebut ke depannya pelaku juga akan dikenakan hukuman pelarangan ikut tender di masa depan atau daftar hitam (blacklist). (***)
Discussion about this post