Oleh : Dr. Noviardi Ferzi (Pengamat)
ECOREVIEW – Meski menyenangi tema ekonomi, sejak mahasiswa S1 saya menentang prinsip ekonomi Adam Smith bahwa dengan modal yang sekecil – kecilnya, untuk mendapatkan untung sebesar – sebesarnya. Dalam pikiran saya kala itu, mau jadi apa dunia, jika prinsip ini digunakan semua orang.
Berdasarkan pemikiran ini pula, menurut saya ini philosopy dasar yang bahaya, prinsip kapitalisme yang memberangus rasa keadilan, maka sejak itu saya berjanji tak akan mengeksploitasi prinsip ini dalam kehidupan.
Prinsip ekonomi ini kembali mengusik ketika batubara menjadi primadona. Ketika harga dunia Batubara meningkat, perhatian saya justru lebih tercurah pada dampak sosial, ekonomi dan lingkungan serta operasional tambang yang tak terkendali.
Meski tak setuju pada prinsip ekploitasi ekonomi, berfikir ekonomis bagi ekonom itu penting, kalkulasi kasar saya tentang batubara secara ekonomis angkanya sangat mencengangkan.
Mulai akhir tahun 2021, misalnya, harga batubara bergerak pada rentang US$ 375-US$ 415 per ton. Ini harga yang tinggi, bisa bayangkan, jika, kurs dolar hari ini 14.625 ribu rupiah, bearti harga batubara per ton dipasar dunia mencapai Rp. 5.480.000 sampai 6.065.000 juta rupiah lebih, tergantung kalorinya.
Sehingga, jika masyarakat Jambi melihat ada truk batubara yang berkapasitas 10 ton di Jalan, kita sesungguhnya sedang melihat uang 54 sampai 60 juta lebih yang berjalan. Suatu angka yang besar.
Angka itu baru satu truk, bayangkan jika ada 3.800 truk lalu lalang tiap hari, angkanya mencapai Rp 200- Rp 228 milyar perhari. Kalikan saja 20 hari perbulan, angka sudah menembus Rp 4 – Rpb4,56 triliun. Hampir tembus Rp 50 triliun pertahun. Dahsyat…
Ini baru satu pendekatan perhitungan yang membandingkan harga batubara dengan jumlah truk yang mengangkut. Jika mau akurat, kita bisa menghitung dengan data produksi batubara pertahun.
Produksi batubara Provinsi Jambi jika mengacu data tahun 2021 mencapai kurang 12 juta ton. Terbanyak hasil produksi di Sarolangun sebesar 4,9 juta ton. Kemudian Batanghari 2,7 juta ton. Bungo 1,3 juta ton, Tebo 1,1 juta ton, Muaro Jambi 122 ribu ton dan Tanjung Jabung Barat 3.600 ton.
Data produksi itu jika menggunakan harga terendah 375 dollar per ton, bearti ada 45 triliun pertahun cuan yang mengalir, lalu jika kita memakai harga 415 dollar per ton, angka ini mencapai 49, 8 triliun.
Relatif sama dengan menghitung dari rerata trafik angkutan di atas. Dari dua perbandingan ini saja, kita bisa menerka perputaran uang batubara Jambi. Sayangnya, Jambi mendapat proporsi yang kecil sekali dari limpahan batubara ini.
Penerimaan negara bukan pajak dari perusahaan penambangan batu bara, Provinsi Jambi mendapatkan percikan sebesar 16 persen royalti, dan 16 persen dari hasil land rent dalam setahun.
Terdapat 2 penerimaan negara bukan pajak yang harus disetorkan perusahaan tambang batu bara. Pertama dinamakan royalti, yang kedua dari land rent atau sewa lahan. Itu ditetapkan di dalam dari peraturan menteri ESDM.
Pendapatan yang dihasilkan dari perusahaan penambangan yang ada di Provinsi Jambi, misal pada data 2020 lalu kurang lebih sebanyak Rp 353 Miliar.
Nah pendapatan bukan pajak itu dibagi lagi, yakni 20 persen untuk pemerintah pusat, 16 persen untuk provinsi, 32 persen untuk daerah penghasil, kemudian 32 persen untuk kabupaten atau kota sekitar.
Kemudian untuk land rent, 20 persen untuk pusat 16 persen provinsi, 64 untuk daerah penghasil. Itu langsung ditransfer ke dana bagi hasil, namanya penerimaan negara bukan pajak.
Jika dihitung dari pembagian pendapatan ini, Pemerintah Provinsi Jambi menerima hasil tambang batu bara sebesar kurang lebih Rp 50 Miliar per tahun. Kecil sekali, bahkan tergolong tak berbanding dengan biaya perawatan jalan yang rusak. Apalagi kerugian lain di aspek sosial.
Di samping itu, masih ada pendapatan dari pajak. Untuk pajak seperti PBB, kendaraan bermotor, dan pajak-pajak lain itu langsung ke pemerintah daerah.
Di samping itu, meski harga emas hitam acuan saat ini tinggi, pengaruhnya terhadap rekrutmen tenaga kerja tidak signifikan.
Harga naik, produksi meningkat. Namun, batu bara sifatnya padat alat, bukan padat karya. Jadi efeknya terhadap rekrutmen tenaga kerja tidak terlalu berpengaruh.
Namun, efek domino tetap ada. Dengan meningkatnya produksi, terjadi peningkatan permintaan terhadap keperluan alat. Pengusaha daerah yang bergerak di bidang alat berat sejak harga batu bara naik mendapatkan efek positif. Selain itu, pengusaha logistik seperti makanan dan bahan bakar ikut merasakan manisnya harga si batu hitam.
Tetapi secara luas, efek ekonominya tidak dirasakan Jambi. Itu karena kebanyakan perusahaan bukan milik pengusaha lokal. Akibatnya perputaran uangnya tidak di Jambi. Meski di atas kertas, naiknya harga batu bara memengaruhi produk domestic bruto (PDRB), namun emas hitam di Jambi belum banyak berperan dan memberikan manfaat bagi rakyat.
Kembali pada harga batu bara yang tinggi tadi, membuat eksploitasi makin menjadi, menimbulkan masalah, terutama yang paling terasa adalah angkutannya yang memonopoli jalan.
Masalah angkutan ini, substansi persoalannya adalah hak masyarakat sebagai penguna jalan yang terampas atau bahkan tereliminasi. Dalam hal ini pihak yang menderita adalah masyarakat disepanjang jalur angkutan. Masyarakat rugi waktu karena macet, mengalami depresi sosial hingga cacat atau bahkan kehilangan nyawa adalah fakta yang tak terbantahkan.
Sejak 1 Januari hingga 9 Juni 2022 saja, terpantau 176 kali kecelakaan di jalan umum di Jambi yang melibatkan angkutan batubara. Rangkaian peristiwa itu menyebabkan 41 warga tewas.
Masifnya angkutan batubara yang melintasi jalan umum untuk menuju pelabuhan di Jambi sangat meresahkan masyarakat. Banyak keluhan masuk akibat kecelakaan lalu lintas yang meningkat dengan melibatkan angkutan batubara.
Sudah pasti ada perdebatan, tentang siapa yang paling dirugikan dalam hal ini, namun kembali pada keberpihakan tadi, Gubernur tinggal memilih mau mengayomi kepentingan siapa, masyarakat atau sebagian masyarakat. Sementara rakyat terus dirugikan.
Provinsi Jambi sebenarnya, telah memiliki Perda Nomor 13 Tahun 2012 tentang larangan operasi yang masih lemah ditegakkan. Aktivitas angkutan batu bara yang beroperasi di luar jam ketentuan masih mengular pada siang hari.
Tuntutan masyarakat jelas, Paling tidak pemerintah mengatur ritme angkutannya jam operasi, perlu direvisi atau diberikan saja toleransi pada siang hari dengan jumlah persetiganya, supaya tidak terjadi penumpukan di malam hari. Para sopir sudah menyadari soal terjadi kepadatan lalin dan dampak lingkungan. Buktinya sampai sekarang masih ada yang bandel. Pendapatan negara boleh meningkat, tapi harus mempertimbangkan segala risiko yang akan terjadi di tengah masyarakat.
Pemerintah provinsi berwenang mengatur soal pengangkutan hasil tambang karena sesuai UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, sesuai ketentuan Pasal 7 Junto Pasal 1 angka 6, dalam hal ini Gubernur bisa mengeluarkan Pergub terkait larangan angkutan batubara melintas di jalan umum.
Saat ini Pergub itu diterbitkan dengan hukum yang jelas dan juga dilatarbelakangi alasan yang jelas, untuk menghentikan kesemerawutan angkutan batu bara.
Terdapat tiga aspek yang menjadi alasan utama Pergub tersebut mendesak untuk dikeluarkan.
Pertama, keberadaan truk lalu lintas memicu kemacetan setiap hari. Kedua, pelanggaran soal jumlah truk itu sendiri karena jumlah yang diizinkan melintas jauh melebihi batas yang diperbolehkan.
Kemudian ketiga adalah keamanan pengendara akibat banyaknya korban jiwa yang sudah berjatuhan karena maraknya truk batubara di jalan umum.
Sehingga wajar gubernur hadir dengan Pergub itu, dasar hukumnya jelas itu UU minerba, Gubernur juga punya wewenang mengatur soal angkutan batubara ini. Dan ini sudah pernah dilakukan Gubernur Sumsel yang mencabut Pergub 23 Tahun 2012 dengan mengeluarkan Pergub 74/2018, dan Mahkamah Agung sendiri akhirnya mengeluarkan putusannya dan membenarkan kebijakan yang telah diambil Gubernur Sumsel.
Kini tinggal kita menagih keberpihakan Gubernur Jambi, beranikah mengeluarkan pergub untuk menghentikan angkutan batu bara di Jambi. Sembari menunggu Jalan khusus dapat disewakan ke perusahaan-perusahaan tambang, kelapa sawit dan hutan tanaman industri dengan memungut retribusi. Dana hasil sewa pemakaian jalan lantas dapat dialokasikan bagi kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan.
Sekarang, kalau mau jujur, jalan khusus angkutan batu bara merupakan jalan tengah yang harus mulai dilakukan, karena melalui solusi ini juga potensi konflik dapat diminimalkan.
Tidak seperti sekarang, pemerintah, khususnya Gubernur hanya mengulur waktu dengan solusi parsial sementara waktu, seperti memindahkan jalur jalan batubara dari Bulian, Bajubang, Tempino, Kota Jambi dan Talang duku.
Maka, tak heran hari ini kita harus tegas meminta Gubernur Jambi untuk membuat kebijakan berupa moratorium angkutan batu bara. Karena, pertanyaannya, mau sampai kapan, dan sampai kapan pula, masyarakat di sepanjang jalan itu tahan? (***)
Discussion about this post