Oleh : Noviardi Ferzi (Pengamat)
PROVINSI Jambi di bawah kepemimpinan Gubernur Dr. H. Al Haris, Sos, MH saya nilai belum memiliki strategi menyeimbangkan struktur perekonomian yang selama ini bertumpu pada sektor pertanian dan perkebunan. Ironisnya, ada upaya memfasilitasi sektor ekonomi ekstraktip termasuk pertambangan Batu bara secara berlebihan.
Gejala mempertahankan dominasi Batu bara, Gubernur sebagai pengendali APBD rela mengelontorkan dana Rp 50 milyar membuat jalan alternatif terutama untuk Batu bara.
Tak hanya itu, ia tampil menyakitkan hati masyarakat, dengan mengatakan tak ada aturan yang melarang pengunaan dana APBD untuk jalan tambang, di sini jelas ia tak punya konsep keseimbangan dalam membangun.
Padahal keseimbangan ini penting, jangan sampai karena Batu bara sektor – sektor lain yang sebenarnya potensial untuk dikembangkan di Jambi terganggu, seperti pariwisata, ataupun peluang mengembangkan potensi pertanian dan industri kerajinan rakyat berbasis kearifan lokal. Jika ekonomi tambang terlalu menghegemoni akan melumpuhkan sektor lain, karena tergerus dampak angkutan Batu bara.
Kalau mau jujur, bisnis batu bara sifatnya padat alat, bukan padat karya. Jadi efeknya terhadap rekrutmen tenaga kerja tidak terlalu berpengaruh.
Namun, efek domino tetap ada. Dengan meningkatnya produksi, terjadi peningkatan permintaan terhadap keperluan alat. Pengusaha daerah yang bergerak di bidang alat berat sejak harga batu bara naik mendapatkan efek positif. Selain itu, pengusaha logistik seperti makanan dan bahan bakar ikut merasakan manisnya harga si batu hitam.
Tetapi secara luas, efek ekonominya tidak dirasakan Jambi. Itu karena kebanyakan perusahaan bukan milik pengusaha lokal. Akibatnya perputaran uangnya tidak di Jambi. Meski di atas kertas, naiknya harga batu bara memengaruhi produk domestic bruto (PDRB), namun emas hitam di Jambi belum banyak berperan dan memberikan manfaat bagi rakyat.
Produksi batubara Provinsi Jambi jika mengacu data tahun 2021 mencapai kurang 12 juta ton. Terbanyak hasil produksi di Sarolangun sebesar 4,9 juta ton. Kemudian Batanghari 2,7 juta ton. Bungo 1,3 juta ton, Tebo 1,1 juta ton, Muaro Jambi 122 ribu ton dan Tanjung Jabung Barat 3.600 ton.
Tingkat produksi segitu jika menggunakan harga terendah 375 dollar per ton, bearti ada 45 triliun pertahun cuan yang mengalir, lalu jika kita memakai harga 415 dollar per ton, angka ini mencapai 49, 8 triliun.
Sayangnya, Jambi mendapat proporsi yang kecil sekali dari limpahan batubara ini. Penerimaan negara bukan pajak dari perusahaan penambangan batu bara, Provinsi Jambi mendapatkan percikan sebesar 16 persen royalti, dan 16 persen dari hasil land rent dalam setahun.
Terdapat 2 penerimaan negara bukan pajak yang harus disetorkan perusahaan tambang batu bara. Pertama dinamakan royalti, yang kedua dari land rent atau sewa lahan. Itu ditetapkan di dalam dari peraturan menteri ESDM.
Pendapatan yang dihasilkan dari perusahaan penambangan yang ada di Provinsi Jambi, misal pada data 2020 lalu kurang lebih sebanyak Rp 353 Miliar.
Nah pendapatan bukan pajak itu dibagi lagi, yakni 20 persen untuk pemerintah pusat, 16 persen untuk provinsi, 32 persen untuk daerah penghasil, kemudian 32 persen untuk kabupaten atau kota sekitar.
Kemudian untuk land rent, 20 persen untuk pusat 16 persen provinsi, 64 untuk daerah penghasil. Itu langsung ditransfer ke dana bagi hasil, namanya penerimaan negara bukan pajak.
Di samping itu, masih ada pendapatan dari pajak. Untuk pajak seperti PBB, kendaraan bermotor, dan pajak-pajak lain itu langsung ke pemerintah daerah.
Jika dihitung dari pembagian pendapatan ini, Pemerintah Provinsi Jambi menerima hasil tambang batu bara sebesar kurang lebih Rp 50 Miliar per tahun. Kecil sekali, bahkan tergolong tak berbanding dengan biaya perawatan jalan yang rusak. Apalagi kerugian lain di aspek sosial. Disinilah saya nilai Gubernur tak memiliki konsep keseimbangan dalam membangun Jambi.
Ke depan, Supaya sektor perkebunan, pertanian, tambang dan pariwisata ini saling menunjang dan menguatkan serta berjalan beriringan antara satu dengan lainnya hingga mempunyai ketahanan sebagai pondasi perekonomian Jambi, Gubernur perlu menyusun
Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Rencana Pembangunan Industri Provinsi (RPIP) Jambi yang akan menjadi ‘blue print” bagaimana menata pembangunan secara fundamental yang komprehensif.
Soal keseimbangan ini.Peraturan Daerah dan Peraturan Gubernur sebagai dasar hukum dalam menyelenggarakan pembangunan yang memberi kepastian dan keberlanjutan yang dirancang secara terpola menyeluruh terencana terarah dan terintegrasi dalam satu kesatuan wilayah.
Perda ini adalah arahan untuk menyeimbangkan struktur perekonomian Jambi agar jangan di desain untuk terlalu tinggi bergantung pada ekonomi ekstraktif agar menjadi lebih seimbang dengan tiga unsur utama yaitu pertanian, perkebuna, pariwisata dan industri.
Idealnya industri yang akan dibangun sesuai dengan potensi dan sumber daya Jambi yaitu industri berbasis perkebunan sebagai branding. Didukung dengan hasil riset dan inovasi yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi maupun pihak pihak lainnya yang akan menjadi Mitra dari Badan Riset dan Inovasi Pemerintah Provinsi.
Sehingga kita akan memiliki riset-riset yang betul-betul sesuai dengan potensi masing-masing wilayah di kabupaten kota yang ada di Jambi untuk dikembangkan sebagai satu industri.
Dengan melihat kenyataan itu dan potensi yang dimiliki, maka perlu dikembangkan secara seimbang antara tiap sektor agar struktur perekonomian Jambi ke depannya lebih memiliki ketahanan kuat terhadap berbagai guncangan ketika misalnya sektor Batu bara sedang mengalami turun harga.
Industri yang dibangun ini adalah industri yang berkaitan dengan upaya kita untuk melakukan hilirisasi dari pertanian itu sendiri agar nilai-nilai hasil pertanian kita itu menjadi memiliki nilai tambah yang lebih tinggi dan bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat, bukan menyengsarakan rakyat. (***)
Discussion about this post