Jambiday.com, JAMBI – Pertama di Indonesia, sebuah konflik pertanahan selesai oleh lembaga legislatif melalui Panitia Khusus (Pansus) konflik lahan DPRD. Pansus Konflik Lahan DPRD Provinsi Jambi merupakan Pansus insiasi DPRD Provinsi Jambi.
Latar belakang persoalan konflik lahan di Jambi mengemuka seiring percepatan pembangunan yang digalakkan pemerintah pusat maupun daerah. Percepatan konflik lahan ini juga menjadi keniscayaan lantaran berimplikasi baik secara ekonomi, politik dan keamanan sosial masyarakat.
Laporan konsorsium pembaruan Agraria tahun 2021, ada 30 provinsi di Indonesia terdampak konflik agraria. Beberapa terdapat di pulau Sumatera, dan bahkan Jambi menempati urutan nomor 2 jumlah konflik agraria terbanyak. Pansus lahan DPRD Provinsi Jambi ini berhasil menyelesaikan sengketa antara warga Suku Anak Dalam (SAD) 113 dengan pihak PT. Berkah Sawit Utama (BSU) yang beroperasi di wilayah Kabupaten Batang Hari.
Konflik ini membentang panjang dalam sejarah sengketa lahan di Provinsi Jambi hampir 37 tahun mengantung tanpa solusi, hingga dengan keinginan kuat dari sang Ketua DPRD Edi Purwanto Konflik SAD 113 dapat terselesaikan dengan cara baik.
Menyelesaikan konflik lahan bukan perkara gampang, karena melibatkan dua pihak yang berkepentingan hingga konflik ini jauh lebih komplek dan luas pengertian dari sengketa. Sejauh ini, persoalan konflik lahan di Jambi mencakup yang bersifat tersembunyi. Konflik lahan di Jambi ini melibatkan banyak pihak baik yang dapat teridentifikasi maupun yang tidak.
Akan capaian ini Ketua DPRD Provinsi Jambi, Edi Purwanto atas nama kelembagaan mendapat penghargaan dari Kemeterian ATR/BPN Republik Indonesia, sebagai bentuk apresiasi yang diberikan oleh pihak kemeterian ATR/BPN atas dedikasi DPRD Provinsi Jambi dalam upaya menyelsaikan konflik lahan yang ada di Provinsi Jambi.
Tentu saja persoalanya bukan pada penghargaan yang diterima, tapi lebih pada komitmen dan kinerja DPRD Provinsi Jambi pada penyelesaian konflik lahan yang notebene menyangkut kepentingan masyarakat. Apalagi capaian ini ditengah banyak kritik dan ketidakpuasan publik atas kinerja legislatif, sang Ketua DPRD mampu memberi bukti komitmen mereka pada masyarakat.
Selama ini peran dari DPRD hanya dikenal dalam perencanaan pembangunan daerah yang cukup dominan. Dimulai dari pembuatan Peraturan Daerah mengenai pola dasar pembangunan daerah. Kemudian program tahunan yang terdapat pada APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah) yang harus memperoleh persetujuan dari DPRD terlebih dahulu.
Sebelum menyusun Perda termasuk APBD, DPRD terlebih akan mengadakan kunjungan pada daerah-daerah guna menyerap aspirasi dari masyarakat untuk dijadikan bekal di dalam pembahasan bersama kepala daerah.
Dalam kacamata tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) dewan, keputusan DPRD menindaklanjuti aspirasi masyarakat terkait permasalahan konflik lahan di Provinsi Jambi yang tak kunjung selesai, patut diapresiasi, sebuah komitmen Ketua DPRD Provinsi sebagai representasi kelembagaaan dewan.
Dan tentu saja, semuanya tidak akan lepas dari sinergi dengan semua anggota dewan lainnya terutama anggota Pansus tersebut. Bukti negara hadir dalam proses penyelesaian konflik lahan antara masyarakat dan perusahaan dan kehadiran kami di sini untuk mengamankan keputusan yang telah disepakati bersama tersebut.
Pansus yang dibentuk tentu saja bertujuan membantu Pemerintah Provinsi untuk menyelesaikan permasalahan Jambi yang tak kunjung selesai. Pansus dibentuk untuk membantu kinerja pemerintah daerah. Melalui surat keputusan DPRD Provinsi Jambi nomor 13 tahun 2021, maka dibentuklah Pansus Konflik Lahan dari DPRD Jambi.
Pansus konflik lahan ini juga mempunyai tujuan dan maksud baik agar menemukan jalan solusi terbaik dalam persoalan konflik lahan di Jambi.
Bertindak sebagai Ketua Pansus konflik lahan adalah politisi PDI-P Jambi asal daerah pemilihan (Dapil) Bungo-Tebo, Wartono Triyankusumo, Abunyani sebagai Wakil Ketua dan Ivan Wirata selaku Sekretaris.
Dimulailah ‘’jihad’’ Pansus yang berusaha untuk menyelesaikan semua konflik terkait lahan yang ada di Provinsi Jambi.
Apalagi mengingat hampir keseluruhan kabupaten di Provinsi Jambi ada persoalan konflik lahan. Terdapat 21 kasus konflik lahan yang memerlukan penanganan secara serius dan berkelanjutan di Provinsi Jambi. Konflik lahan tersebut tersebar di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Tanjung Jabung Barat, Batanghari, Tebo, Muaro Jambi dan Sarolangun.
Dalam kurun waktu 6 bulan DPRD Jambi telah menerima laporan berupa persoalan konflik lahan di Jambi yang berasal dari masyarakat, NGO, maupun pemerintah. Selama itu terdapat 21 kasus konflik lahan yang telah melalui penyaringan dari total aduan kasus konflik lahan sebanyak 107 kasus yang di tangani oleh pansus konflik lahan luas lahan yang menjadi konflik lebih kurang 51.170,44 hektare.
Akhirnya setelah perjalanan panjang, dengan ratusan kali rapat, berjumpa dengan para pemangku kepentingan (stake holders) Suku Anak Dalam (SAD) 113 akhirnya mendapatkan sertifikat tanah yang diberikan oleh Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo.
Penyerahan sertifikat tanah dilakukan Se-Indonesia, dan SAD 113 masuk dalam bagian penyerahan sertifikat tersebut secara virtual. Untuk mendapatkan sertifikat tanah tersebut tidaklah mudah, butuh perjuangan hampir 37 tahun lamanya sehingga hari ini, masyarakat SAD 113 mendapatkan hak tanah.
Peran Ketua DPRD Provinsi Jambi, Edi Purwanto mau tak mau tak bisa ditepikan dalam hal terselesainya kasus konflik lahan tersebut. Butuh waktu berbulan-bulan lamanya sehingga sehingga konflik lahan ini dapat terselesaikan dengan cara yang baik melalui musyawarah pihak-pihak yang terlibat.
Pada akhirnya dilakukan inisiasi pematokan pada 31 Agustus 2022 dengan Danrem 045/ Gapu, Brigjen TNI Supriono, dan beberapa pihak lainnya. Setelah itu juga dilakukan beberapa kali rapat di ATR/BPN namun tidak mendapatkan keputusan dari permasalahan tersebut.
Setelah itu, empat hari kemudian Ketua DPRD kembali dilakukan pertemuan antara SAD dan PT BSU di rumah dinasnya. Pada pertemuan yang dilakukan dengan cara musyawarah ini, Ketua DPRD Provinsi Jambi memberikan waktu untuk kedua belah pihak musyawarah selama satu Minggu.
Lahirlah sebuah keputusan yang baik antara kedua belah pihak. Persoalan kasus konflik lahan yang terjadi hampir 37 tahun terselesaikan dengan cara yang baik, dimana PT BSU menyerahkan lahan seluas 750 hektare dan ditambah dengan 20 hektare lahan untuk fasilitas umum dan permukiman.
Ke depan bisa dibentuk satuan tugas (Satgas) penanganan konflik lahan Jambi, yang mana nanti anggotanya diperluas baik itu dari anggota dewan dan aparatur penegak hukum (APH) serta juga dilibatkan pula yaitu Lembaga Adat.
Karena penanganan konflik itu bukan hanya masalah hukum saja tetapi juga masalah pendekatan yang namanya pendekatan secara adat. Meskipun aturan dan hukum adat tersebut belum tertera secara tertulis atau dibukukan. Namun, kerap kali permasalahan yang timbul di tengah-tengah masyarakat yang menuntut penyelesaian secara adat.
Karena type masyarakat Jambi terutama, lebih mengedepankan penyelesaian masalah dilakukan secara adat. Di mana menurut masyarakat secara adat lebih mengedepankan musyawarah dan sesuai dengan syariat ajaran agama. Namun, tentu saja tetap harus ada pendekatan politik dan hukum, dan ini menjadi role model penyelesaian konflik lahan di Indonesia. (OYI)
Discussion about this post