Oleh : Dr. Noviardi Ferzi (Pengamat)
MESKI tanpa dihadiri Gubernur Jambi, Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Asosiasi Penambang Rakyat Indonesia (APRI) Provinsi Jambi resmi dilantik pada Senin, 9 Januari 2023 kemarin.
Uniknya, meski tak hadir pelantikan tetap dilaksanakan di aula rumah dinas Gubernur tempat kediaman resmu orang nomor satu di Provinsi Jambi. Padahal di acara ini kehadiran Gubernur menjadi penting untuk memberi sinyal keberpihakan penguasaan ekonomi tambang pada masyarakat, bukan hanya kepada pemodal yang selama ini mencengkram tanpa mau berbagi pada warga lokal.
Komitmen Gubernur memang dibutuhkan untuk mengkoordinasi para pemangku kepentingan di daerah agar berkomitmen menjalankan tambang rakyat di daerah.
Wilayah pertambangan rakyat (WPR) jika dilaksanakan dengan baik dan proposional sesuai aturan teknis merupakan salah solusi mengembalikan penguasaan ekonomi tambang ke masyarakat.
Selama ini salah satu kritik terhadap sektor tambang adalah penguasaan pengusaha besar yang terlalu dominan. Seolah melupakan masyarakat yang tinggal di areal tambang, nah dengan WPR ini bisa salah satu solusi mengembalikan penguasaan ekonomi tambang ke masyarakat lokal.
Masalah pertambangan ilegal harus diselesaikan agar tidak berlarut. Pasalnya, tambang tersebut dapat berdampak pada pencemaran lingkungan, termasuk pada Sungai Batanghari.
Pertambangan rakyat merupakan salah satu mata pencarian masyarakat Jambi. Sebagian pekerja telah menekuni bisnis tersebut sejak lama, bahkan kata sebelum Indonesia merdeka.
Intinya penambang rakyat patut kita akomodir, Jadi masyarakat kita dapat meningkatkan kesejahteraannya dan juga selesai dari masalah, terutama persoalan lingkungan yang tidak kita harapkan.
Dasar WPR di atur dalam Undang-undang No. 3 tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU No.3/2020).
Dalam Undang-undang tersebut, dijelaskan bahwa Izin Pertambangan Rakyat (IPR) adalah Izin untuk melaksanakan usaha pertambangan dalam wilayah pertambangan rakyat dengan luas wilayah dan investasi terbatas.
Namun demikian, kriteria mengenai besaran investasi untuk pertambangan rakyat sendiri belum disebutkan secara spesifik sebagai dasar pelaksanaannya sehingga perlu kajian lebih lanjut dalam penentuan kriteria-kriteria tersebut.
Dalam UU No.3/2020, Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) merupakan bagian dari Wilayah Pertambangan (WP). WP merupakan bagian dari Wilayah Hukum Pertambangan.
Sampai dari 34 Provinsi di Indonesia, baru terdapat 25 Provinsi (sekitar 73.6%) yang sudah menetapkan WPR dan beberapa daerah masih mengusulkan untuk dilakukan penetapan WPR, misalnya dari Provinsi Jawa Barat dan Papua.
Langkah pemerintah yang memberikan dokumen pengelolaan wilayah pertambangan rakyat (WPR) untuk mendukung lingkungan hidup berkelanjutan.
Provinsi Jambi termasuk satu dari enam provinsi yang menerima dokumen pengelolaan WPR dari Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM. Daerah lainnya adalah Gorontalo, Jambi, Sulawesi Utara, DI Yogyakarta, Maluku Utara, dan Nusa Tenggara Barat.
Keenam provinsi tersebut dijadikan pemerintah sebagai daerah percontohan formalisasi pertambangan tanpa izin menjadi pertambangan rakyat.
Di Provinsi Jambi sendiri berdasarkan SK Menteri ESDM yang terbit belakangan, diketahui terdapat 127 titik Wilayah Pertambangan Rakyat di wilayah Provinsi Jambi.
Dengan segala potensi tersebut, ke depan pemerintah daerah seharusnya bisa bersinergi dengan APRI Provinsi Jambi untuk mengembangkan tambang rakyat. Jangan seperti sekarang, datang untuk mensupport kegiatan pelantikan saja tak mau. Tak mau karena abai atau kesungkanan, karena pertambangan rakyat menganggu “kue” para pemodal tambang ?
Fakta ekonominya secara nasional, sebanyak 3 juta penambang rakyat menghasilkan potensi omzet lebih dari Rp 100 triliun dan potensi pajak, royalti dan retribusi lebih dari Rp 10 triliun per tahunnya untuk negara.
Perputaran mata uang hasil Penambangan Tanpa Ijin (PETI) atau penambangan liar di Provinsi Jambi, ditaksir mencapai puluhan miliaran rupiah. Angka ini lahir dari perhitungan 1 rakit mesin dompeng penghasilan minimal 3 gram emas, sedangkan untuk 1 exsavator penghasilan minimal 40 gram emas. Penambang menjual emas ke pengepul dengan harga 850 rb – 870 rb/gram.
Catatan Kesbangpol Provinsi Jambi ada 3.000 lebih eksavator yg beraktivitas dalam aktivitas PETI, dengan mesin rakit dompeng ada 15.000 rakit.
Wilayah pertambangan Rakyat (WPR) di Provinsi Jambi mendesak untuk diberlakukan, bukan saja secara ekonomi mampu memperkuat ekonomi masyarakat, tapi juga bagian untuk menata pertambangan yang lebih ramah lingkungan.
Sejauh ini ini mengutip, Data KKI Warsi, di tahun 2022 ini ada total 45.896 hektar lokasi PETI yang tersebar di enam kabupaten di Provinsi Jambi Jambi. Jumlah ini bertambah 3.535 hektar atau 8 persen dari tahun 2021 yang mencapai seluas 42.361 hektar.
Luasan areal PETI yang paling banyak bertambah tahun 2022 di Kabupaten Bungo, yakni 2.053 hektar. Total luasan areal PETI di Bungo mencapai 8.801 hektar. Kemudian di Tebo bertambah 1.011 hektar, kini totalnya menjadi 5.101 hektar. Lalu di Sarolangun luas areal PETI bertambah 219 hektar pada tahun ini, menjadi 15.878 hektar.
Selanjutnya, di Kabupaten Merangin bertambah 215 hektar. Luasan areal PETI di Merangin yang terluas di Provinsi Jambi, yakni 16.072 hektar. Lalu, di Kabupaten Batanghari dari tahun 2019 luas areal PETI 37 hektar. Bahkan, aktivitas PETI juga sudah merambah ke Kabupaten Kerinci dengan luasan mencapai 44 hektar.
Namun, satu fakta yang mengenaskan soal ini, hal ini menyangkut apakah penambangan tanpa izin ini dilakukan oleh masyarakat setempat, apakah benar untuk mencari sumber ekonomi baru dan penambangan emas dengan alat berat tentulah butuh modal yang tidak sedikit dan butuh biaya yang besar untuk memulai usaha.
Dengan melihat kebutuhan dan cara eksploitasi emas ini, tentulah bisnis ini harus dijalankan oleh pihak-pihak yang tertentu yang memiliki modal besar, dan lagi masyarakat hanya sebagai buruh yang dipekerjakan. Masyarakat termakan bujuk rayu untuk menyerahkan lahannya dan kemudian mengatasnamakannya demi kepentingan bisnis yang lebih besar.
Kini aktivitas penambangan emas ilegal ini makin masuk jauh ke dalam kawasan hutan dan semakin banyak hadir di lahan masyarakat. Tapi sayang ketika kerusakan lingkungan makin tak terkendali, secara ekonomi masyarakat dan daerah hanya menikmati sedikit dari tuah ekonomi tersebut.
Sehingga wajar, sekarang muncul desakan yang menginginkan agar pertambangan rakyat menjadi ekonomi kerakyatan yang resmi, dimana dapat menambah pendapatan pemerintah daerah (PAD) seperti pajak, retribusi dan royalti.
Pertambangan rakyat di Jambi dapat memperluas lapangan pekerjaan yang diprediksi mampu menyerap 100 ribu pekerja serta dapat memicu pertumbuhan perekonomian dari sektor pertanian, perdagangan, perikanan dan perternakan daerah setempat dan membentuk kemandirian ekonomi bagi pembangunan desa.
Pemberian peran rakyat dalam memanfaatkan sumber daya alam daerahnya masing-masing, maka akan membuat rakyat berjaga mengamankan aset sumber daya alam.
Hal ini merujuk pada hasil Peneliti Lingkungan dari Universitas Charles Darwin Australia yang melakukan uji tambang rakyat di kawasan Nusa Tenggara Timur. Dimana penelitian ini menyimpulkan tambang rakyat di Indonesia masih terjaga lingkungannya.
Jangan seperti sekarang, tambang rakyat di Jambi dikelola oleh pihak swasta yang tidak mempedulikan aspek lingkungan. Kehadiran APRI terkait tambang rakyat di Jambi dilakukan agar usaha sektor ini menjadi legal, para pekerjanya mendapat pelatihan dari segi keamanan menambang dan aspek menjaga lingkungan serta peningkatan kesejahteraan penambang. (***)
Discussion about this post