Oleh: Bahren Nurdin
(Pengamat Sosial dan Kebijakan Publik)
INDONESIA merayakan kemerdekaannya setiap tahun dengan bangga, mengenang perjuangan para pahlawan dan nilai-nilai kebebasan yang diperjuangkan. Namun, di balik hiruk-pikuk kemeriahan ini, cerita pilu masih menyelimuti Orang Rimba, kelompok masyarakat adat yang masih merasakan sentuhan ‘penjajahan’ meski negeri ini telah merdeka puluhan tahun yang lalu.
Bagi mereka, makna merdeka lebih dari sekadar simbolis; itu adalah hak hidup bebas di dalam hutan yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas dan kehidupan mereka.
Bagi orang Rimba, merdeka bukan hanya sebatas kalimat retorika belaka. Bagi mereka, merdeka adalah kemampuan untuk hidup dalam harmoni dengan alam, mengikuti tradisi nenek moyang mereka, dan menjalani kehidupan sesuai dengan norma-norma budaya mereka.
Hutan adalah kemerdekaan mereka; tempat di mana mereka memperoleh makanan, obat-obatan, tempat tinggal, dan kedamaian batin. Di sana, mereka hidup dalam kebersamaan, menjaga alam, dan menjaga warisan leluhur. Itulah kemerdekaan hakiki bagi mereka.
Namun, ironisnya, hutan yang telah lama menjadi sumber kemerdekaan bagi orang Rimba saat ini menghadapi ancaman serius. Perusahaan perkebunan dan kontraktor besar telah mengambil alih lahan-lahan berharga ini, membawa dampak berantai pada kehidupan dan budaya orang Rimba. Dalam dunia yang semakin modern, mereka dihadapkan pada perubahan besar yang berpotensi merampas makna sejati merdeka mereka.
Tidak hanya perusahaan-perusahaan besar yang menjadi ancaman bagi ‘kemerdekaan’ Orang Rimba, tetapi juga kurangnya keterlibatan mereka dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi hidup mereka. Mereka hanya menjadi objek bukan pelaku. Program-program pemerintah yang dirancang tanpa keterlibatan mereka sering kali hanya menambah derita dan perasaan ‘terjajah’, paling tidak merasa termajinalisasi.
Agaknya inilah yang dulu diingatkan Bung Karno, “Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, namun perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri.” Orang Rimba selalu pada posisi daya tawar lemah.
Sekali lagi, perlu ditegaskan bahwa merdeka bagi orang Rimba bukanlah sekadar semangat nasionalisme atau perayaan seremonial. Merdeka bagi mereka adalah hak untuk menjalani kehidupan yang sesuai dengan nilai-nilai dan keyakinan mereka, serta mendapatkan perlindungan atas hak-hak adat mereka terhadap tanah dan hutan. Semua pihak harus faham konsep ini.
Merdeka bagi mereka adalah tidak ada ‘penjajahan’ hutan oleh pihak mana pun dengan alasan apa pun. Mereka tidak butuh tol, supermarket, atau gedung megah. Mereka butuh hutan!
Maka dari itu, dalam usaha untuk memberikan kemerdekaan sesungguhnya kepada orang Rimba, langkah-langkah konkret perlu diambil. Penting bagi pemerintah dan perusahaan-perusahaan untuk mendengarkan suara mereka, melibatkan mereka dalam perencanaan dan pelaksanaan program-program yang berdampak pada kehidupan mereka. Jangan sampai mereka merasa merdeka tapi tetap terjajah.
Pemberian hak atas tanah adat dan upaya pelestarian hutan adalah langkah penting untuk memastikan bahwa makna kemerdekaan ini terwujud dalam kenyataan.
Merdeka bagi orang Rimba adalah panggilan untuk mengembalikan mereka kepada kemerdekaan sejati yang telah lama menjadi bagian dari identitas mereka. Kita tidak boleh melupakan mereka dalam perjuangan kita untuk kebebasan dan kemajuan.
Menghormati dan melindungi hak-hak mereka adalah tanggung jawab kita bersama sebagai warga bangsa yang satu. Kita harus memastikan bahwa hutan tetap menjadi sumber kemerdekaan mereka, dan bahwa mereka memiliki peran yang aktif dalam menentukan masa depan mereka sendiri. Hanya dengan begitu, kita dapat merayakan makna merdeka yang sesungguhnya bagi semua warga negara, termasuk orang Rimba. Semoga. (***)
Discussion about this post