Oleh: Nur Kholik
KECENDERUNGAN praktik politik transaksional yang semakin akut akan sangat merusak proses dan kualitas hasil Pemilu serta mengancam masa depan sistem demokrasi negeri ini. Masyarakat harus segera menyadari bahwa praktik politik transaksional dalam bentuk apapun yang dikonversi menjadi suara harus segera diakhiri.
Uang Rp. 100 ribu, Rp. 200 ribu, atau Rp. 500 ribu akan habis dalam sekali duduk di warung kopi. Pun begitu juga dengan beras dalam kemasan 5 kilo gram, 10 kilo gram, bahkan 20 kilo gram akan habis dalam beberapa hari saja, tetapi dampak dari praktik yang menyimpang ini akan dirasakan masyarakat selama lima tahun atau bahkan lebih panjang lagi.
Sebagian masyarakat kita bahkan sudah berani secara terang-terangan memasang sepanduk dengan tagline “kami siap menerima serangan fajar.” Mungkin sebagian kita menganggap hal ini sebagai sebuah lelucon, tetapi sesungguhnya ini adalah ancaman serius bagi masa depan demokrasi kita.
Visi, misi, program kerja, ide, gagasan dan rekam jejak sudah tidak lagi menjadi alasan dalam menentukan pilihan, yang menjadi alasan adalah adanya kesepakatan “anda nomor urut berapa, dan berani bayar berapa?”
Kondisi ini akan berdampak pada kinerja mereka ketika terpilih dan duduk di lembaga eksekutif atau legislatif. Mereka akan sibuk dengan segala macam cara untuk mengembalikan modal kampanye yang sudah dikeluarkan dari pada berfikir dan bekerja keras untuk membangun dan mensejahterakan rakyatnya.
Adalah fakta yang tidak terbantahkan, jika banyak anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kab/Kota, menteri, gubernur, bupati/wali kota, serta pejabat pusat dan daerah yang tersangkut kasus hukum tindak pidana korupsi, bahkan beberapa oknum aparat penegak hukum pun ikut terseret dalam pusaran kasus yang sama.
Untuk menekan praktik politik transaksional dalam kontestasi elektoral dibutuhkan upaya dan kerja keras dari semua pihak untuk melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
Harus ada regulasi yang ketat dan upaya penegakan hukum yang tegas dan konsisten untuk memberikan puhishment dan efek jera terhadap setiap bentuk pelanggaran money politics.
Kampanye dibiayai oleh negara dan partisipasi pembiayaan publik untuk mengurangi ketergantungan para calon pada dana pribadi dan sponsor oligarki.
Meningkatkan kualitas pendidikan politik agar masyarakat dan peserta Pemilu memahami proses politik dengan lebih baik.
Masyarakat harus berperan aktif menjadi mata dan telinga yang memantau kampanye elektoral dengan membuat foto, video, atau menjadi saksi terhadap setiap tindakan praktik curang money politics dan melaporkannya kepada Bawaslu atau aparat penegak hukum yang berwenang.
Ajak kandidat untuk berkampanye dengan mengedepankan visi, misi, program kerja, rekam jejak, dan isu-isu strategis yang berhubungan dengan hajat hidup masyarakat secara luas.
Optimalisasi pemanfaatan teknologi untuk meningkatkan transparansi proses penyelenggaraan dan informasi hasil Pemilu, serta informasi tentang pengelolaan dana kampanye yang dapat diakses oleh masyarakat.
Penyelenggara Pemilu harus berkomitmen menjaga prinsip-prinsip penyelenggaraan Pemilu yang mandiri, jujur, adil, berkepastian hukum, tertib, terbuka, proporsional, profesional, akuntabel, efektif dan efesien. Tidak cukup hanya sampai di situ saja, selain penyelenggara Pemilu, masyarakat dan peserta Pemilu juga harus memiliki komitmen yang sama untuk menjaga integritas dan kualitas hasil Pemilu.
Harus ada upaya dan langkah tegas untuk terus-menerus tanpa lelah memerangi korupsi, karena praktik money politics dalam kontestasi elektoral akan berkorelasi dengan terjadinya tindak pidana korupsi.
Semua komponen bangsa, pemerintah, penyelenggara Pemilu, aparat penegak hukum dan masyarakat harus bersatu untuk mengubah paradigma politik kita. Hanya dengan upaya dan kerja keras secara bersama, kita dapat mengakhiri praktik transaksional “Nomer Piro, Wani Piro?” dan memastikan masa depan yang lebih baik bagi bangsa ini. Jadilah pemilih cerdas! Agar hidup kita berkualitas!! (***)
Discussion about this post