KETIKA Publik Meradang
Isu naiknya tunjangan anggota DPR RI muncul di tengah kondisi ekonomi masyarakat yang masih lesu ditambah lagi beban pajak yang tinggi. Viralitas pemberitaan ini memicu gelombang kemarahan, bahkan narasi ekstrem seperti “bubarkan DPR” pun bermunculan. Situasi ini bukan sekadar kritik, melainkan krisis komunikasi: pesan lembaga tidak lagi dipercaya publik, emosi mendominasi, dan reputasi dipertaruhkan.
DPR Gagal Menunjukkan Empati
Sayangnya, kritik ini justru direspon oleh anggota DPR dengan tone yang tidak empati, defensif, bahkan merendahkan publik. Terlihat di media anggota DPR Adies Kadir berkomentar, “Mungkin bu Menkeu kasihan sama kawan-kawan.” Ada juga yang berkata, “Segitu aja masih nombok.” Sahroni malah merendahkan, “Yang ingin bubarkan DPR orang tolol sedunia.” Sedangkan Nafa Urbach menimpali bahwa “tunjangan segitu wajar karena tidak dapat rumah dinas, padahal tinggal di Bintaro yang macet”. Sementara di media sosial beredar video anggota DPR berjoget-joget, di saat publik merasa terbebani oleh kenaikan pajak seperti PBB.
Respon-respon seperti ini bukan hanya gagal menunjukkan empati, tetapi justru menambah jarak emosional dengan masyarakat. Akibatnya, publik makin tersulut, rasa ketidakadilan semakin kuat, dan citra lembaga semakin terpuruk.
Apa itu Komunikasi Krisis?
Secara sederhana, komunikasi krisis adalah aktivitas komunikasi strategis yang dilakukan untuk merespons dan mengelola krisis tersebut agar kerusakan minimal dan reputasi dapat dipulihkan.
Menurut teori Situational Crisis Communication (SCCT) yang dikembangkan W. Timothy Coombs, respons krisis harus disesuaikan dengan intensitas kemarahan publik. Jika salah memilih strategi, justru situasi akan tambah buruk.
Data Survei: Kepercayaan Publik terhadap DPR Memprihatinkan
Survei terbaru menunjukkan betapa rapuhnya posisi DPR di mata publik. Menurut Indikator Politik Indonesia, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap DPR hanya 71% (7,7% sangat percaya; 63,3% cukup percaya), dengan 20% tidak percaya sama sekali. Data lain dari Indonesia Political Opinion (IPO) mencatat DPR sebagai salah satu lembaga paling rendah dipercaya: hanya 45,8% percaya publik, di bawah partai politik dan KPU. Riset akademik bahkan mencatat 82% responden tidak mempercayai DPR, terlepas dari kelompok sosial ekonomi mana pun.
Angka-angka ini menunjukkan bahwa DPR menghadapi krisis kepercayaan serius, kondisi yang hanya bisa diperbaiki melalui komunikasi yang sangat cermat.
Rumus Komunikasi Krisis: Empati, Empati, Empati, Rasional
Berdasarkan pengalaman saya dalam menghadapi situasi sulit sebagai Humas, ada satu rumus krusial yang efektif diterapkan, yaitu: empati, empati, empati … baru rasional:
contoh, misalnya; Empati pertama: akui perasaan public “Kami memahami masyarakat kecewa dan marah atas kabar ini.” Empati kedua: tunjukkan kedekatan “Kami ikut merasakan beban ekonomi yang tengah dirasakan rakyat.” Empati ketiga: nyatakan kesediaan mendengar “Kami siap menampung kritik dan masukan masyarakat sepenuh hati.”
Barulah setelah tiga langkah empati itu ditegaskan, lembaga boleh mengemukakan penjelasan rasional, misalnya konteks regulasi yang membolehkan, atau mekanisme anggaran yang tersedia. Karena logika tidak akan masuk sebelum publik merasa didengar.
Belajar dari Toko Roti dan PT. KAI
Ada dua contoh menarik yang bisa menjadi pelajaran penting. Pertama, saat terjadi kecelakaan dua pesawat berbeda merk di waktu yang hampir berdekatan. CEO maskapai A memilih memberi pernyataan resmi di gedung kantornya dengan jas lengkap, jauh dari lokasi kejadian. Sementara CEO maskapai B tampil sederhana dengan kemeja biasa, berdiri di dekat lokasi kecelakaan, memastikan proses evakuasi berjalan maksimal.
Publik tentu menilai berbeda. CEO B dinilai lebih empatik, hadir di lapangan, dan menunjukkan tanggung jawab. Itulah bentuk nyata Empati, Empati, Empati, baru kemudian Rasional (menjelaskan investigasi kecelakaan).
Kedua, kasus toko roti Dough Lab di PIK Avenue Jakarta yang viral karena video seekor tikus memakan kue di etalase. Respon mereka justru menjadi contoh komunikasi krisis yang baik: Pertama, mereka meminta maaf secara resmi di semua kanal media; Kedua, menutup sementara toko dan memusnahkan semua produk; Ketiga, membersihkan dapur dengan bantuan petugas hama, mengganti peralatan, dan menayangkan video proses pembersihan tersebut.
Hasilnya? Publik justru menilai positif dan kepercayaan meningkat kembali. Transparansi dan empati mereka membuat krisis berubah menjadi peluang memperkuat citra.
Ketiga, Respons Empati PT KAI
Sebagai pembanding atas pola komunikasi sejumlah anggota DPR yang cenderung tidak empatik, publik juga pernah menyaksikan teladan komunikasi yang justru menumbuhkan rasa percaya. Saat terjadi kecelakaan kereta api beberapa waktu lalu, Direktur Utama PT KAI, Didiek Hartantyo, tampil di hadapan publik dengan sikap penuh tanggung jawab. Dalam konferensi pers, ia menyampaikan permintaan maaf dengan tulus, bahkan melakukan gestur membungkuk sebagai simbol penyesalan mendalam.
Ia tidak sibuk mencari kambing hitam atau membela diri dengan dalih teknis. Sebaliknya, ia menegaskan bahwa keselamatan penumpang adalah prioritas utama dan berkomitmen melakukan perbaikan sistem secara menyeluruh.
Respons semacam ini memperlihatkan bahwa komunikasi empatik bukan hanya soal kata-kata, tetapi juga tentang kesediaan menerima tanggung jawab, menghadirkan transparansi, dan menunjukkan kepedulian nyata terhadap penderitaan publik.
Model komunikasi seperti ini sangat dirindukan masyarakat, terlebih ketika kepercayaan publik terhadap lembaga negara sedang menurun. Jika pejabat publik, termasuk anggota DPR, mampu mencontoh pola komunikasi empatik seperti yang ditunjukkan PT KAI, maka kemungkinan besar akan tercipta jembatan baru antara elit dan rakyat.
Risiko Jika Empati Dikesampingkan
Respon yang defensif dan rasional tanpa empati berpotensi menimbulkan: Public distrust (hilangnya kepercayaan masyarakat), Mobilisasi protes lebih besar, dan Kerusakan reputasi lembaga jangka panjang yang sulit diperbaiki. Padahal dengan pendekatan empati yang kuat, banyak konflik komunikasi lembaga bisa ditekan bahkan dikembalikan dalam koridor positif.
Penutup: Krisis Bukan Ajang “Benar vs Salah”, tapi Ujian Kerendahan Hati
Krisis komunikasi bukan soal mencari pembenaran, melainkan mengejar kepercayaan kembali. Rasionalitas memang diperlukan, tapi hanya bisa diterima jika jembatannya adalah empati. Dalam kondisi ketika kepercayaan sebagai modal utama lembaga sudah rapuh, kerendahan hati lembaga di hadapan publik menjadi kunci: Empati, Empati, Empati… baru kemudian Rasional.
Karena pada akhirnya, membangun kembali kepercayaan publik adalah fondasi paling tak ternilai bagi institusi yang ingin tetap relevan dan dipercaya.
Demokrasi tidak hanya menuntut mekanisme formal pemilu, tetapi juga keterhubungan emosional antara wakil dan rakyat. Itulah sebabnya, DPR perlu merevolusi gaya komunikasinya: dari arogansi menuju empati, dari konfrontasi menuju solusi. Hanya dengan begitu, DPR dapat benar-benar hadir sebagai lembaga yang layak dipercaya rakyat. (***)
Discussion about this post