PRESIDEN Prabowo Subianto dan Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim baru saja menandatangani kesepakatan kerja sama pengelolaan bersama (joint development) di wilayah Blok Ambalat. Langkah ini menandai babak baru dalam penyelesaian sengketa perbatasan laut yang telah berlangsung selama puluhan tahun antara Indonesia dan Malaysia.
Ambalat dan Sejarah Sengketa
Blok Ambalat terletak di perairan Laut Sulawesi, tepatnya di lepas pantai timur laut Kalimantan dan barat daya Sabah. Wilayah ini diketahui mengandung cadangan hidrokarbon yang signifikan, baik minyak maupun gas, sehingga menjadi sangat bernilai secara ekonomi dan strategis bagi kedua negara. Selain itu, letaknya yang berada di jalur pelayaran internasional (ALKI II) menambah pentingnya kawasan ini dalam konteks geopolitik dan keamanan maritim.
Sengketa muncul sejak 1979 ketika Malaysia secara sepihak menerbitkan peta wilayahnya yang memasukkan sebagian besar Blok Ambalat ke dalam zona ekonomi eksklusif (ZEE) dan landas kontinen versi Malaysia. Indonesia menolak peta tersebut karena tidak sesuai dengan prinsip delimitasi yang diatur dalam Konvensi Hukum Laut PBB 1982 (UNCLOS).
Ketegangan bahkan meningkat pada 2005 ketika kapal-kapal patroli kedua negara sempat berhadapan secara langsung di wilayah perairan itu.
Perbedaan Karakteristik Geografis
Perlu dipahami bahwa posisi geografis kedua negara berpengaruh besar terhadap penarikan batas maritim. Indonesia adalah negara kepulauan (archipelagic state) sebagaimana diakui dalam Pasal 46 UNCLOS, sedangkan Malaysia adalah negara pantai (coastal state).
Perbedaan ini membuat metode penarikan garis pangkal (baseline) berbeda. Indonesia menggunakan garis pangkal kepulauan (straight archipelagic baselines) yang menghubungkan pulau-pulau terluarnya, sementara Malaysia sebagai negara pantai menggunakan metode normal baseline dan dalam beberapa kasus straight baseline yang ditarik dari titik-titik sepanjang pantai utamanya. Perbedaan metode ini berkontribusi pada tumpang tindih klaim di kawasan perbatasan seperti Ambalat.
Status Hukum Landas Kontinen
Blok Ambalat bukan terletak di laut territorial atau ZEE, tetapi dalam wilayah landas kontinen yang tumpang tindih klaimnya antara kedua negara. Menurut Pasal 76 UNCLOS, landas kontinen (continental shelf) adalah dasar laut dan tanah di bawahnya yang secara alami merupakan kelanjutan dari wilayah daratan suatu negara pantai, hingga sejauh 200 mil laut dari garis pangkal, atau lebih apabila terdapat perpanjangan geologis.
Pasal 77 UNCLOS memberikan hak berdaulat (sovereign rights) kepada negara pantai atas eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam di landas kontinen, namun hak ini bersifat eksklusif dan tidak tergantung pada pendudukan atau pengumuman klaim secara eksplisit.
Dalam konteks Blok Ambalat, karena klaim kedua negara tumpang tindih dan delimitasi batas belum disepakati, maka penyelesaian melalui pendekatan joint development adalah solusi yang sah dan pragmatis, tanpa harus menyelesaikan sengketa batas terlebih dahulu.
Bukan Preseden Baru
Indonesia memiliki pengalaman dalam kerja sama semacam ini. Pada 1989, Indonesia dan Australia menandatangani Treaty on the Zone of Cooperation untuk pengelolaan bersama sumber daya di Palung Timor, saat Timor Timur masih merupakan bagian dari Indonesia. Meskipun kemudian ditinjau ulang pasca-kemerdekaan Timor Leste, perjanjian tersebut menjadi preseden penting dalam mengelola tumpang tindih klaim laut melalui kerja sama yang saling menguntungkan.
Selain itu, contoh joint development pada landas kontinen di dunia yang terkenal adalah Joint Development Area (JDA) atau Wilayah Pengembangan Bersama antara Malaysia dan Thailand di Teluk Thailand. Terdapat juga contoh lain seperti pembentukan komite koordinasi antara Malaysia dan Vietnam untuk eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam di bagian teluk Thailand yang menjadi sengketa.
Prinsip Keadilan dan Kesejahteraan
Kerja sama di wilayah tumpang tindih harus dijalankan berdasarkan prinsip keadilan dan kesetaraan manfaat. Hal ini sejalan dengan semangat UNCLOS yang menekankan pentingnya hasil pengelolaan laut digunakan untuk kepentingan masyarakat dan pembangunan berkelanjutan, bukan hanya sebagai ajang eksploitasi sumber daya semata.
Maka dari itu, joint development harus mencakup: transparansi dalam mekanisme bagi hasil, perlindungan terhadap hak-hak masyarakat pesisir, pengelolaan lingkungan laut yang berkelanjutan, dan pembagian manfaat ekonomi yang adil.
Selain itu, penting digarisbawahi bahwa kerja sama ini tidak boleh dimaknai sebagai pengakuan terhadap klaim kedaulatan negara lain. Justru, ia adalah bentuk pendekatan damai yang menghormati posisi hukum masing-masing pihak sambil tetap menghasilkan manfaat konkret.
Penutup
Kesepakatan kerja sama Ambalat adalah contoh bagaimana diplomasi hukum laut dan kepemimpinan politik dapat bersinergi. Ia menunjukkan bahwa pendekatan win-win solution lebih produktif dibanding konfrontasi, apalagi dalam konteks ASEAN yang mengedepankan stabilitas dan dialog.
Langkah ini patut diapresiasi sebagai wujud kematangan Indonesia dalam memperjuangkan kepentingan nasional, kedaulatan wilayah, dan kesejahteraan masyarakat—bukan hanya demi hari ini, tetapi juga untuk generasi mendatang. (***)
Discussion about this post