Jambiday.com, JAMBI – Guna mempertahankan dan menuntut hak petani, Aliansi Gerakan Suara tuntutan Rakyat (GESTUR) Jambi gelar aksi unjuk rasa. Mulai dari simpang IV BI Telanaipura, hingga geruduk Kantor DPRD Provinsi Jambi pada Selasa (27/09/2022).
Dalam rilis aksi tersebut disampaikan, bahwa 24 September adalah hari kelahiran Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA).
Di usianya yang 62 tahun UUPA, patutlah kita mengingatkan kembali pemerintahan saat ini, bahwa Keputusan Presiden Nomor 169 Tahun 1963 telah menetapkan 24 September, kelahiran UUPA sebagai Hari Tani Nasional (HTN).
Mengingat semangat UUPA adalah menjamin hak atas tanah, untuk kaum tani dan masyarakat agraris lainnya di pedesaan. Namun, Orde Baru (OrBa). Kemudian mempetieskan UUPA, sekaligus memadamkan aspirasi rakyat untuk memperingati hari tani.
Sayangnya, sampai Reformasi saat ini, pemerintahan belum kunjung memulihkan pengakuan Negara atas Hari Tani Nasional. Kelahiran UUPA mengakhiri Agrarische Wet 1870 (UU Agraria Kolonial) dan merupakan sejarah kelam
agraria kita, akibat penjajahan di mana perampasan tanah terjadi demi kepentingan perkebunan komoditas ekspor dan pertambangan mineral.
Pada masa itu, dengan instrument hukum Agrarische Wet, penjajah memperparah aksi-aksi perampasan tanah-tanah masyarakat di Sumatera, Jawa dan Sulawesi, melakukan pengerukan kekayaan alam kita.
“Sejarah pahit ratusan tahun lamanya dijajah dan dijarah itu, lah yang membuat para pendiri dan pemikir
bangsa kita menetapkan cita-cita kemerdekaan. Dimana dengan tekad mengembalikan kedaulatan Negara atas
sumber-sumber agrarianya (SSA),” imbuhnya.
Selanjutnya, kedaulatan agraria adalah jalan bagi bangsa untuk memulihkan
hak-hak rakyat atas tanah yang telah terampas, sekaligus jalan bagi kemakmuran masyarakat agraris.
Hingga semua tanah di seluruh wilayah kedaulatan bangsa dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Baik secara perseorangan maupun secara gotong-royong.
Model ekonomi di lapangan agraria yang dimandatkan UUPA, haruslah dalam semangat koperasi ataupun bentuk badan usaha milik rakyat lainnya yang bersifat gotong-royong.
Pada akhirnya, Negara menjamin konstitusionalitas petani dan seluruh rakyat Indonesia dengan azas Konstitusionalisme Agraria yang diwujudkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 Negara Republik Indonesia.
Penyimpangan UUPA dimulai dari zaman Orde Baru, sampai zaman Reformasi saat ini. UUPA tidak pernah dijalankan bahkan melahirkan kebijakan yang berpihak kepada koorporasi untuk mengelola sumber-sumber agraria di Indonesia. Sehingga terjadinya perampasan lahan bagi kaum tani.
Hilangnya wilayah tangkapan ikan bagi nelayan yang menyebabkan petani berimigrasi ke kota, untuk mencari kerja
dengan tenaga upah murah dan biaya pendidikan yang mahal menyebabkan banyak anak-anak tidak bisa melanjutakan pendidikan.
Dampak dari kebijakan yang anti terhadap UUPA telah menyebabkan konflik agraria di seluruh provinsi
di Indonesia. Sehingga petani, nelayan, buruh, perempuan dan mahasiwa dikriminalisasi saat memperjuangan sumber-sumber Agraria.
Bahkan ironisnya, di tengah situasi pandemi COVID-19 pemerintah mengeluarkan kebijakan baru, menerbitkan Undang-undang Cipta Kerja yang semakin anti terhadap semangat UUPA dan diperparah dengan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM).
Provinsi Jambi sendiri menjadi penyumbang konflik agraria nomor dua (2) terbesar di Indonesia, baik di
sektor Hutan Tanaman Industri (HTI), perkebunan, dan tambang yang telah melakukan perampasan
lahan garapan bagi petani serta menyebabkan kerusakan lingkungan di Provinsi Jambi.
Maraknya perizinan di Provinsi Jambi, telah mengakibatkan hilangnya mata pencarian petani. Ketika petani
mencoba memperjuangkan hak atas lahan garapannya, malah mendapatkan kriminalisasi bahkan sampai
kehilangan tanahnya.
Salah satunya dialami Bahusni, petani asal Desa Sumber Jaya, Kecamatan Kumpeh Ulu, Kabupaten
Muarojambi dikriminalisasi oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. Fajar Pematang Indah Lestari
(FPIL), saat memperjuangkan hak atas lahan garapan masyarakat Desa Sumber Jaya sebagai sumber ekonomi.
Seorang petani perempuan, Jusma, di Desa Lubuk Mandarsyah, Keacamatan Tengah Ilir, Kabupaten TEBO juga mengalami kriminalisasi oleh perusahaan HTI PT. Wira Karaya Sakti (Sinar Mas
Grup) saat memperjuangkan haknya atas lahan garapan.
Seorang perempuan bernama Elida Caniago, pemilik Sertifikat Hak Milik (SHM) nomor 418 yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional Kota Jambi pada tahun 1983, juga menjadi tersangka dan dipenjara karena mempertahankan haknya.
Ia dilaporkan oleh Robin Lie telah menyerobot tanah dengan dasar Sertifikat Hak milik nomor 2375 yang diterbitkan Badan Pertanahan Nasional Kota Jambi tahun 2003.
Selain itu, peroses perizinan yang dikeluarkan pemerintah juga telah menyebabkan tindak pidana korupsi di sektor agraria. Baik di perkebunan, Hutan Tanaman Industri di bawah kewenangan Kementerian ATR/BPN dan Kementerian Lingkungan Hidup Kehutanan Republik Indonesia.
Dengan situasi itu, kami aliansi GESTUR Jambi menuntut :
1. Laksanakan Reforma Agraria Sejati
2. Tolak Bank Tanah
3. Tolak Omnibuslaw
4. Hentikan kriminalisasi dan intimidasi terhadap petani, perempuan, mahasiswa, dan aktivis
agraria
5. Tolak Impor Pangan
6. Pemerintah harus menjamin harga produksi petani,
7. Selesaikan konflik agraria di provinsi Jambi sekarang juga.
8. Tolak Kenaikan BBM
9. Mendorong Perda Agraria di Jambi. (DAN)
Discussion about this post