Oleh : Dr. Noviardi Ferzi (Pengamat)
MESKI BPS mengatakan Inflasi di akhir tahun Provinsi Jambi menurun, namun hal itu diyakini sebuah anomali, kondisi yang bertolak belakang dengan kebiasaaanya.
Buktinya, entah karena memang sudah menjadi program atau mungkin karena tak yakin akan data tersebut, Pemerintah Kabupaten Muaro Jambi menggelar pasar murah untuk membantu masyarakat.
Sikap Pemkab Muaro Jambi ini bukan tak berdasar, karena jelang hari Natal dan tahun baru di Muaro Jambi harga telur yang biasanya Rp 45 ribu per papan kini menjadi sekitar Rp 50 ribu per papan.
Selain itu di Kota Jambi, tengah November 2022 lalu, beras mengalami kenaikan harga, salah satunya beras merek Anggur, harga sebelumnya Rp. 253.000/20kg menjadi Rp 258.000/20kg atau dikisaran Rp 5.000 hingga Rp 6.000 untuk karung 20 Kg.
Lalu, apa sebenarnya yang dikhawatirkan dari kenaikan harga pangan ini ? Jawabannya akan mengurangi asupan gizi masyarakat sehingga meningkatkan kasus kurang gizi. Jika tidak segera di atasi, kecerdasan dan daya tahan manusia Indonesia terancam, termasuk di Provinsi Jambi yang pada dasarnya mengalami Inflasi tertinggi di Indonesia.
Dalam jangka panjang, mereka akan menjadi beban negara akibat produktivitas rendah dan risiko penyakit degeneratif lebih besar.
Mengutip Salvador P Catelo seorang ahli ekonomi kesehatan mengatakan, tantangan pangan global bukan hanya produksi pangan cukup, melainkan juga harga pangan rasional. “Tingginya harga pangan tak hanya bisa menurunkan pasokan, tetapi mengurangi asupan gizi masyarakat.
Dalam konteks Jambi, beberapa waktu lalu, Inflasi tinggi, lalu kenaikan BBM, memicu harga pangan naik signifikan. Penyebabnya beragam, mulai dari pasokan kurang, nilai tukar rupiah turun, hingga kenaikan harga bahan bakar minyak. Meski kenaikan harga bersifat sementara, hal tersebut bisa berdampak panjang pada kesehatan dan mutu manusia Indonesia.
Dalam kondisi harga pangan relatif stabil, di Indonesia 37,2 persen anak balita Indonesia pada 2013 memiliki tinggi tubuh lebih pendek dari semestinya (stunting). Sementara prevalensi gizi buruk 5,7 persen dan gizi kurang 13,9 persen. Kondisi itu menjadikan Indonesia sebagai negara keempat di ASEAN yang memiliki prevalensi gizi buruk tertinggi setelah Kamboja, Laos, dan Myanmar.
Masalah pangan bukan hanya tentang ketersediaan dan keterjangkauan, melainkan juga pemanfaatan dan keberlanjutan. Karena itu, selain penyiapan makanan hingga tersaji di atas meja perlu diperhatikan, peningkatan pengetahuan masyarakat mengolah makanan ditingkatkan.
Kurang gizi pada anak balita perlu mendapat penanganan serius dan segera. Jika tidak dilakukan, kurang gizi bisa berlanjut hingga mereka berusia remaja, bahkan hingga dewasa dan melahirkan generasi berikutnya.
Angka prevalensi stunting di Provinsi Jambi berdasarkan hasil Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) pada tahun 2021, persentase stunting pada balita Provinsi Jambi sebesar 22,4 persen.
Sayangnya, Komitmen Pemerintah termasuk Gubernur Provinsi Jambi perlu dipertanyakan ?
Sampai hari ini kita belum melihat upaya Pemerintah Provinsi untuk memberikan kontribusi secara persentase stunting sebesar 12 persen.
Padahal ini bukan angka yang mudah untuk dicapai, apabila kita komparasikan dari angka baseline 22,4 persen pada tahun 2021. Perlu membentuk sebuah sistem yang terpadu, terukur, dan akuntabel dalam upaya percepatan penurunan stunting di Provinsi Jambi, sebab menurunkan angka dari 22,4 persen menjadi 12 persen pada tahun 2024.
Selain itu pemerintah Provinsi Jambi belum melakukan inovasi yang berbeda atau hanya mengadopsi dari provinsi lain, belum sesuai dengan kondisi kita di Jambi.
Lalu intansi terkait yang tergabung dalam upaya penurunan stunting, belum optimal mengalokasikan anggaran yang bertema atau spesifik menyangkut stunting dalam DIPA masing-masing, sehingga dapat memberikan dampak dan terukur. (***)
Discussion about this post