Oleh : Dr. Noviardi Ferzi (Warga Kota Jambi)
ECOREV – Apa esensi dari Hari Jadi sebuah kota ? Jawabannya di Kota Jambi nyaris tak ada. Berasal dari dua kata, ” Hari” dan “Jadi” yang masing masing memiliki makna tersendiri.
“HARI” menunjukkan sebuah realitas waktu, sementara “JADI” adalah sesuatu yang dicapai berwujud, dirasakan dan dinikmati sebagai buah dari proses waktu. Sehingga jika digabungkan menjadi Hari Jadi, berarti sebuah realitas waktu yang telah dijalani, hari-hari yang telah pernah kita lakukan sebelumnya. Oleh karena itu, di setiap momen hari jadi atau ulang tahun, kita dituntut untuk melakukan sesuatu yang berbeda, inovatif dan transformatif. Jika tidak demikian, maka makna hari jadi atau HUT tidak memiliki makna.
Kalau mau jujur, kecuali seremonial berupa paripurna DPRD, baju teluk belango sebagai seragam serta pidato yang dangkal esensi dan makna, tak ada sesuatu yang patut dibanggakan dalam Peringatan 76 Tahun Pemkot Jambi dan 621 Tahun Hari Jadi Tanah Pilih Pusako Batuah.
Dengan tidak menapikan berbagai capaian infrastruktur yang dipoles oleh walikota, di usia 76 tahun Kota Jambi justru masih terbebani angka kemiskinan. Faktanya di kota Jambi kemiskinan tahun 2021 masih 8.27 persen. Dari total tersebut, setengahnya masuk dalam kategori kemiskinan yang ekstrim.
Di Kota Jambi ini berlaku apa yang diingatkan teori lingkaran setan kemiskinan (vicious circle of poverty). Situasi keterbelakangan, ketidak sempurnaan pasar dan kurangnya modal menyebabkan rendahnya produktivitas warga.
Lingkaran kemiskinan Kota Jambi dipicu pada rendahnya tingkat pendapatan, akibatnya tingkat permintaan (konsumsi) menjadi rendah, sehingga pada gilirannya tingkat tabungan dan investasi pun rendah.
Tingkat investasi yang rendah akan mengakibatkan kekurangan modal dan produktivitas rendah. Produktivitas rendah akan mengakibatkan pendapatan rendah kembali. Kondisi ini terus berputar secara melingkar, sehingga seseorang atau sekelompok orang tetap hidup dalam kondisi miskin.
Merujuk data BPS dari tahun ke tahun kemiskinan di Kota Jambi tidak beranjak. Mulai tahun 2013 awal Walikota Sy Fasha memimpin kemiskinan Kota Jambi tercatat sebesar 9, 96 %, 8,94 % (2014), lalu meningkat 9,67 % (2015), 8,87 % (2016) dan 8,84 % (2017).
Data BPS ini memperlihatkan jumlah orang miskin di Kota Jambi tidak berubah, selalu berada dikisaran 8 – 9 %. Kondisi ini menunjukkan kita terjebak pada lingkaran kemiskinan. Padahal dalam kurun waktu itu pertumbuhan ekonomi dan besaran APBD Kota Jambi terus meningkat, namun belum mampu membuat angka kemiskinan turun.
Dalam mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Jadi Penduduk Miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran perkapita perbulan di bawah garis kemiskinan.
Bagi keluarga sangat miskin, memenuhi kebutuhan pendidikan dan kesehatan yang layak menjadi sebuah tantangan besar. Tingginya biaya transportasi, peralatan sekolah, dan layanan kesehatan sering terlalu tinggi untuk mereka jangkau.
Lalu, bagaimana dengan Kota Jambi ? Mari kita lihat dari data berikut :
Tingkat kemiskinan di Kota Jambi masih tinggi. Tahun 2020 lalu saja kemiskinan meningkat sebanyak 0,15 persen dari tahun 2019, yakni dari 8,12 persen menjadi 8,27 persen pada 2020. Data ini menunjukkan dari 279,86 ribu orang miskin di Provinsi Jambi, 50 ribunya ada di Kota Jambi. Setengah dari angka ini terkategori kemiskinan ekstrem.
Sedangkan untuk pendapatan masyarakat, garis kemiskinan di Jambi pada September 2021 tercatat sebesar Rp517.722 perkapita/ bulan dengan komposisi garis kemiskinan makanan sebesar Rp391.656. Sementara garis kemiskinan bukan makanan sebesar Rp126.067.
Secara rata-rata rumah tangga miskin di Jambi memiliki 4,27 orang anggota rumah tangga. Jadi besarnya garis kemiskinan per rumah tangga miskin secara rata-rata adalah sebesar Rp2.210.673 per rumah tangga miskin per bulan.
Besaran garis kemiskinan ini relatip tidak terlalu jauh dari besaran UMK Jambi pada tahun 2021 yang sebesar menjadi Rp 2,93 juta dibanding tahun sebelumnya yang hanya sebesar Rp 2,84 juta pada 2020.
Namun yang juga perlu diingat, besaran UMK ini tidak mengartikan orang bebas kemiskinan. Bisa di bayangkan satu keluarga dengan orang keluarga hidup dengan pendapatan yang rata – rata kurang dari 3 juta perbulan, kurang dari 100 ribu perhari, atau kurang dari 25 ribu perhari.
Tingkat pendapatan yang rendah akan mempengaruhi tingkat transaksi masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya secara rutin salah satunya dengan Konsumsi Rumah Tangga.
Selain itu pendapatan yang rendah mempengaruhi tingkat tabungan. Hari ini di Kota Jambi masyarakat miskin tidak memiliki tabungan untuk menyimpan atau menginvestasikan supaya dapat digunakan sewaktu waktu.
Sementara bantuan langsung tunai dari pemerintah kota Jambi untuk mengintervensi kelompok miskin ini tidak menjadi prioritas, bahkan di masa pandemi sekalipun.
Walhasil ini sejalan dengan tingkat pengangguran kota Jambi di 2021 naik menjadi10,6 persen. Ini perlu perhatian, karena biasanya pengangguran di kota tidak pernah sampai dua digit.
Selain faktor tersebut, lingkungan kemiskinan di kota Jambi juga disebabkan faktor eksternal (struktural), antara lain,
Pertama, Policy bias, yaitu kebijakan pemerintah yang cenderung mengutamakan perkotaan, mengistimewakan sektor ekonomi dan perdagangan tertentu dan sebagainya.
Kecendrungan pembangunan berorientasi proyek (project oriented) membuat distribusi uang mengelompok pada satu sektor, seperti infrastruktur, akibanya pertumbuhan yang terjadi tidak melahirkan pemerataan berupa distribusi pendapatan.
Bahkan untuk sektor ini ada gejala oligarki yang kuat, saat sekelompok pengusaha dan pengusaha menguasai proyek – proyek pemerintahan secara mutlak dan tak berkeadilan.
Ke dua, kebijakan kelembagaan yang mempersulit akses terhadap sumber daya.
Dalam hal penangganan pandemi COVID-19, misalnya, di tahun pertama pandemi 2020, pemkot hanya merecofusing 58 milyar, lalu tahun 2021, sebesar 76 milyar.
Nominal ini relatip lebih kecil jika dibandingkan kabupaten kota lain, seperti Muaro Jambi yang merecofusing 78, 8 miliar, Tanjung Jabung Barat 101 miliar dan lainnya. Dana ini pun hanya dipotong dari dana perjalanan dinas dan TPP dan serta biaya pakaian. Sedangkan untuk infrastruktur dan program mercusuar lainnya nyaris tak tersentuh.
Bahkan karena minimnya anggaran, di tahun 2020 kemarin, Gugus Tugas Kota Jambi tidak lagi mengeluarkan Jaring Pengaman Sosial (JPS) sembako. Padahal Bantuan Langsung Tunai saat pandemi menjadi daya tahan satu – satunya masyarakat untuk mereka bisa mempertahankan konsumsinya. Bekerja untuk tetap bisa produktip.
Ke tiga, tekanan penduduk yang besar, hal ini disebabkan angka migrasi penduduk ke Kota Jambi yang besar.
Selain itu di Kota Jambi masalah manajemen sumber daya dan lingkungan yang berkaitan dengan kelangkaan sumber daya alam juga menjadi tantangan. Dalam hal ini termasuk soal siklus dan proses alamiah yang kurang mendukung, berupa makin hilangnya kearifan lokal yang mendukung kemandirian warga Kota Jambi.
Dalam menanggulangi lingkaran kemiskinam ini pemerintah kota Jambi harus bekerja sama dengan instansi yang terkait, perguruan tinggi, dan lembaga swadaya masyarakat untuk pendampingan, diversifikasi usaha atau pekerjaan lain untuk memperbaiki atau menambah penghasilan masyarakat.
Membuka jejaring dan kesempatan serta sugesti untuk melakukan diversifikasi usaha, agar penghasilan masyarakat dapat meningkat dari sumber yang sama dan sumber yang berbeda.
Termasuk mengkolaborasikan program pemutus rantai kemiskinan dari pemerintah dan swasta dengan memberikan bantuan uang tunai bersyarat untuk mendukung kebutuhan anak-anak warga kota Jambi.
Jadi, ditengah kemiskinan dan pengangguran, apa yang harus dirayakan dari hari jadi kota Jambi, kecuali adu citra yang dimuat megah dalam biloboard dan media. (***)
Discussion about this post