Catatan H. Dheni Kurnia (Wartawan, Penguji UKW PWI, Ketua JMSI Provinsi Riau)
“LAPOR. Dheni Kurnia Prof. Dari Riau.” Habis mengenalkan diri, saya mengulurkan tangan untuk menyalami Prof Azyumardi Azra di teras depan Hotel Novotel Bukittinggi, Sumatera Barat. Jumat sore, 9 September 2022. Dia tersenyum sumringah, menjabat uluran tangan saya.
Hingga tiga hari berikutnya, dia menginap di hotel itu. Saya juga. Dalam tiga hari, saya beberapa kali berjumpa dengannya. Waktu istirahat malam, sarapan pagi dan ketika dia berjalan-jalan dan bahkan ingin berangkat ke kampungnya, di Sumatera Barat. Bahkan waktu acara pelatihan UKW (Uji Kompetensi Wartawan) se-Sumatera Barat itu, dia yang membuka.
Mengenakan topi pet ala pelukis terkenal Almarhum Tino Sidin, Azyumardi Azra yang saya sapa Bang Edy, tampak sering tersenyum dibandingkan sakit. Meski terkadang tampak nafasnya sesak, dia hanya mengaku capek. “Latiah saya,” ujarnya.
Latiah itu, bahasa Minang. Dalam bahasa Indonesia berarti letih atau penat, atau pula capek. Karena itu dia sering minta waktu; “Saya duluan ke kamar ya. Saya mau istirahat sebentar,” katanya.
Bagi peserta dan Penguji UKW yang diadakan Dewan Pers (DP) tersebut, bertemu dengan Azyumardi Azra memang bukan hal yang sulit. Dia selalu ada untuk mengawal dan mengawasi pelatihan itu. Mulai dari acara pembukaan, sampai penutupan.
Selama tiga hari, 9-10-11 September, Bang Edy (Azyumardi), selalu bersama. Kecuali ketika dia izin ingin menjenguk kampungnya di Lubuk Basung (Agam, Sumbar). Tapi malamnya dia sudah berada kembali di Hotel. Sepertinya, dia sangat bertanggungjawab terhadap pekerjaannya. Tanggal 12 September, dia kembali ke Jakarta.
Saya ketika itu, menguji UKW bersama 6 orang penguji PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) lainnya. Di antaranya, Ramon Damora, Mardianto (Kepri) Oktaf Riadi (Sumsel), Marsum (Babel) dan Amril Jambak (Riau). Ditambah empat penguji dari IJTI (Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia). UKW itu diadakan langsung oleh Dewan Pers. Dan pengawas dari DP dipimpin Prof Azyumardi Azra. Konon, ini yang keduakali dia mengawasi UKW secara langsung sejak dia dikukuhkan sebagai Ketua DP Mei 2022 lalu. Yang pertama kali dilakukannya di Provinsi Jambi.
Diantara penguji UKW PWI yang paling sering bertukarfikiran dengannya tiga hari itu, adalah saya dan Ramon Damora. Saya tentu saja tak melewatkan kesempatan ini. Saya tahu betul bahwa Bang Edy memiliki pengetahuan yang luas dan banyak mengerti tentang persoalan hukum di Indonesia.
Lagi pula, saya sudah mengenal beliau sejak 1998 ketika masih menjadi rektor di IAIN Jakarta. Saya waktu itu menjadi wartawan di Kelompok Persda KOMPAS Jakarta. Lagi pula saya satu grup WA (WhatsApp) di Satupena (Persatuan Penulis Indonesia) dg Bang Edy.
Makanya bagi saya, dia bukan sosok asing dan baru saya kenal. Diapun masih mengingat saya sebagai salah satu wartawan di Indonesia. Karena dia dulu pernah menjadi wartawan di Majalah Panji Masyarakat. Bahkan dia juga memiliki kartu biru PWI, sebagai anggota organisasi wartawan tertua di Indonesia itu.
Itu pulalah sebabnya, dia selalu terbuka pada saya. Saya yg lebih banyak bertanya ketika berdiskusi. Dia selalu menjawab dengan singkat dan padat. Kadang dia bersama Wakil Ketua DP, Agung Dharmajaya.
Tapi lebih banyak sendiri. Dia sangat menikmati sarapan pagi tradisional yang disediakan pihak hotel. Seperti bubur sambal (lontong), bubur kampiun, lupis bagulo, lapek nagosari, katupek gulai paku, kerupuk jangek (kulit) dan lainnya. Menurutnya, sudah tak banyak hotel-hotel yang menyediakan makanan seperti ini.
Tanggal 8 September sebelumnya, Ratu Inggris Queens Elizabeth meninggal dunia. Berita ini ikut viral di Indonesia. Bang Edy juga bercerita bagaimana dia mendapat gelar “Sir” dari Ratu Britania Raya tersebut. “Saya adalah orang yang pertama dapat gelar Sir di Indonesia,” ujarnya dengan nada merendah atau biasa-biasa saja.
Ketika itu (2010), Prof Dr H Azyumardi Azra, M.Phil, MA, CBE yang lahir 4 Maret 1955) mendapat penghargaan sebagai cendekiawan Muslim asal Indonesia. Dia memperoleh titel Commander of the Order of British Empire (CBE), sebuah gelar kehormatan dari Kerajaan Inggris dan menjadi Sir pertama dari Indonesia.
Menurutnya, gelar CBE diberikan Kerajaan Inggris kepada individu untuk menghargai kontribusi positif yang telah dia lakukan di bidang pekerjaannya sebagai cendekiawan Muslim. Dengan gelar ini, Azyumardi Azra diakui sebagai anggota keluarga bangsawan Inggris.
Dalam sejarah, katanya, CBE diciptakan oleh Raja George V sebagai penghargaan selama Perang Dunia Pertama untuk perwira-perwira Inggris. Kemudian gelar ini berubah untuk menghargai jasa dan upaya warga sipil. Mereka yang mendapat gelar diakui sebagai keluarga besar kerajaan dalam level tinggi.
#Ke Dewan Pers#
Mei 2022 lalu Azyumardi Azra dilatik Presiden Joko Widodo sebagai Ketua Dewan Pers periode 2022-2025 melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 14/M Tahun 2022. Acara serah terima jabatan (sertijab) anggota Dewan Pers periode ini dilaksanakan di Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat, Rabu (18/5/2022) malam. Ada delapan anggota lain yang membantu Azyumardi Azra.
Ketika menyampaikan sambutan sebagai ketua DP, dia mengatakan, akan melanjutkan hal-hal yang positif, fondasi yang positif, yang sudah diletakkan oleh para ketua Dewan Pers sebelumnya.
Ia menjelaskan, tantangan yang akan dihadapi Dewan Pers periode 2022-2025 akan berbeda dibandingkan sebelumnya. Apalagi, saat ini mulai terjadi peningkatan suhu politik menjelang Pemilu Serentak 2024.
“Sekarang saja sudah mulai terjadi proses peningkatan suhu politik karena adanya kepala daerah yang diangkat oleh Presiden maupun juga oleh Mendagri,” tuturnya.
Menurutnya pada saya, dia mau menjadi Ketua Dewan Pers karena milihat pers sebagai pintu gerbang informasi masih bisa diajak ke jalan yang benar. Masih punya harga diri, dan masih nyinyir mengkritik pemerintahan. Masih banyak wartawan yang mengatakan salah, jika memang salah dan benar jika memang itu sebuah kebenaran.
“Saya sudah berada di jalan yang lurus dan tepat bersama teman-teman wartawan. Karena itu saya mau memimpin Dewan Pers. Saya dulu juga wartawan, jadi saya mengerti betul apa yang mesti saya kerjakan dan tugaskan. Wartawan berperan besar dalam perubahan. Ini sudah sejak dulu. Pelatihan-pelatihan seperti UKW ini, harus saya kawal, sehingga terus lahir wartawan-wartawan yang berkompeten dan berkualitas,” tegasnya.
Memang, lanjutnya, dari segi kesejahteraan, belum semua wartawan merasakannya. Masih banyak wartawan yang ekonominya pas-pasan bahkan tidak mencukupi. Tapi pada dasarnya, menjadi wartawan itu adalah pilihan. Tak semua orang bisa menjadi wartawan. Dia harus seorang yang gigih dan intelektual. Jika dia marasa pekerjaan ini bukan bidangnya, hingga mengganggu ekonomi keluarga, dia bisa mencari pekerjaan lain.
Jadi wartawan, ikut menjaga stabilitas. Ikut menjaga hukum. Ikut menjaga keamanan, ketertiban dan sebagainya. Wartawan yang benar, patuh pada hukum dan tidak akan mempermainkan hukum. Dia punya Undang-undang dan kode etik.
“Tidak seperti Sambo yang polisi itu ya. Dia membuat hukum sendiri. Mengkriminalisasi hukum. Membuat hukum jadi brutal,” kata Azyumardi.
Wartawan gak seperti itu. Wartawan, lanjutnya, dalam sejarah dikenal sebagai pihak yang selalu mengingatkan. Wartawan juga seorang penganalisa yang cermat dan tangguh. Peran ini harus dipertahankan. “Jan malah tungkek mambaok rabah,” ujarnya menyitir pepatah Minang.
Maksudnya, kata Bang Edy, jangan malah wartawan yang dikenal sebagai pemberi masukan dan kritik, yang melakukan pelanggaran. Ibaratnya, wartawan adalah sebuah tiang (tongkat). Jan (jangan) tongkat itu yang mambaok (membawa) jadi rabah (rebah/jatuh).
Begitulah! Sebenarnya terlalu banyak diskusi tentang dunia Pers dengan Azyumardi yang bisa dijelaskan di sini. Tapi, ada pula yang dia minta untuk tidak dituliskan karena datanya masih dilengkapi. Banyak hal-hal sensitif di negeri ini yang harus kita tulis dengan kehati-hatian. Terutama menyangkut oligarki dan kekuasaan. “Kalau datanya, masih belum lengkap, lengkapi dulu. Baru ditulis besar-besar,” pintanya.
Dan seminggu setelah perjumpaan di UKW itu, saya dapat kabar, mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini, menghembuskan nafas terakhir di Kuala Lumpur, Malaysia Minggu (18/9/2022).
Menurut Wakil Ketua Dewan Pers, M Agung Dharmajaya kepada media, Prof Azyumardi mengalami gangguan kesehatan saat hendak mendarat di Bandara Kuala Lumpur, Malaysia (16/9). Lalu almarhum dilarikan ke rumah sakit terdekat. “Beliau sedang mengadakan kunjungan kerja dan diundang dalam sebuah seminar ke Malaysia,” ujarnya.
Dua hari setelah dirawat, Prof Azyumardi Minggu (18/9), dinyatakan meninggal dunia di RS Serdang, Selangor, karena sesak nafas dan diduga terpapar Covid 19. Ada juga berita yang menyebutkan almarhum kena serangan jantung. Namun keterangan dari pihak keluarga mengatakan, bahwa memang beliau terserang Covid 19. Jenazahnya segera dibawa ke Jakarta untuk dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata.
#Bea Siswa Fullbright#
Dari sejumlah literatur ditemukan, Azyumardi memulai pendidikan tinggginya sebagai mahasiswa di Fakultas Tarbiyah IAIN Jakarta pada tahun 1982. Kemudian atas bantuan beasiswa Fullbright, ia mendapakan gelar Master of Art (MA) pada Departemen Bahasa dan Budaya Timur Tengah, Columbia University tahun 1988. Ia memenangkan beasiswa Columbia President Fellowship dari kampus yang sama, tetapi kali ini Azyumardi pindah ke Departemen Sejarah, dan memperoleh gelar MA pada 1989.
Pada 1992, ia memperoleh gelar Master of Philosophy (MPhil) dari Departemen Sejarah, Columbia University tahun 1990, dan Doctor of Philosophy Degree dengan disertasi berjudul The Transmission of Islamic Reformism to Indonesia: Network of Middle Eastern and Malay-Indonesian ‘Ulama ini the Seventeenth and Eighteenth Centuries. Tahun 2004 disertasi yang sudah direvisi diterbitkan secara simultan di Canberra (Allen Unwin dan AAAS), Honolulu (Hawaii University Press), dan Leiden, Negeri Belanda (KITLV Press).
Kembali ke Jakarta, pada tahun 1993 Azyumardi mendirikan sekaligus menjadi pemimpin redaksi Studia Islamika, sebuah jurnal Indonesia untuk studi Islam. Pada tahun 1994-1995 dia mengunjungi Southeast Asian Studies pada Oxford Centre for Islamic Studies, Oxford University, Inggris, sambil mengajar sebagai dosen pada St. Anthony College.
Di sebuah pemberitaan media dijelaskan, Azyumardi pernah pula menjadi profesor tamu pada Universitas Filipina dan Universitas Malaya, Malaysia keduanya pada tahun 1997. Selain itu, dia adalah anggota dari Selection Committee of Southeast Asian Regional Exchange Program (SEASREP) yang diorganisir oleh Toyota Foundation dan Japan Center, Tokyo, Jepang antara tahun 1997-1999.
Ia pernah menjadi Wartawan Panji Masyarakat (1979-1985), dosen Fakultas Adab dan Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta (1992-sekarang), Guru Besar Sejarah Fakultas Adab IAIN Jakarta, dan Pembantu Rektor I IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta (1998). Ia juga merupakan orang Asia Tenggara pertama yang di angkat sebagai Professor Fellow di Universitas Melbourne, Australia (2004-2009), dan anggota Dewan Penyantun (Board of Trustees) International Islamic University Islamabad Pakistan (2004-2009).
Selamat jalan Bang Edy. Meski engkau hanya sekejap bersama kami, tapi kami tahu engkau benar-benar telah kembali ke dunia ini. Dunia kewartawanan yang menurutmu sudah merupakan pekerjaan yang benar. Kami tidak akan berhenti sampai kami juga menemukan jalan yang benar, seperti yang kau harapkan. (***)
Discussion about this post