TULISAN ini Philosofis, bicara hal mendasar namun fundamental. Narasinya berawal saat angin kegilaan melanda dunia, yang merujuk pada eskalasi konflik dari Suriah, Yaman hingga yang terbaru perang Rusia Ukraina. Kegilaan ini makin menjadi ketika dua tahun lebih dunia kelimpungan oleh Pandemi Covid 19 yang seolah tak berujung. Gilanya, semua ini seolah terfasilitasi oleh digitalisasi informasi yang menghegemoni ke semua aspek kehidupan.
Dampak Pandemi dan Perang meluluh lantakan tatanan global. Infrastruktur ekonomi, sosial, budaya, politik pemerintahan ikut terimbas. Sedihnya pandemi dan perang ikut merusak pertahanan terbaik umat manusia, berupa harapan.
Dunia dengan situasi dan kondisi apapun adalah dunia yang dibangun oleh manusia sendiri. Ia merupakan hasil dari projek manusia membangun dunianya. Suatu enterprise of world building. Bahwa dunia secara global; lingkungan hidup, alam, sosial, budaya, politik, ekonomi, hukum, keamanan, kemanusiaan dan lain lain merupakan hasil proses konstruksi aktivitas manusia, sebagai proses dialektik antara eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi. Dan mesti diakui, dalam dunia global zaman sekarang, yang paling berbahaya adalah perilaku (destruktif) manusia.
Memahami tatanan global hari ini Sekjen PBB Antonio Guterres mengatakan meningkatnya ketidakstabilan dan ketegangan membuat semuanya menjadi tidak dapat diprediksi dan tak terkendali, membuat risiko salah perhitungan yang lebih tinggi.
Salah satu indikatornya adalah ketika kebenaran tak lagi penting, yang dicari adalah kehebohan sesaat. Kebohongan merajalela, tipu daya menjadi keutamaan yang dibanggakan. Manusia tak lagi bisa membedakan, yang mana yang benar, dan yang mana yang palsu. Fitnah menjadi senjata untuk merebut apapun termasuk kekuasaan. Fitnah, yang didasarkan atas kebencian, bisa mempengaruhi keputusan hukum dan politik. Fitnah, kebohongan dan diskriminasi juga akhirnya mempengaruhi tata kelola politik nasional dan global.
Akibatnya, manusia terjebak dalam arus dunia pasca fakta. Kebohongan, hoax, fitnah, amoral menjadi fakta. Selanjutnya secara bersamaan seperti tiba-tiba manusia merasa kehilangan identitas. Itulah kiranya suatu perjalanan yang penuh paradok. Mengejar identitas sekaligus kehilangan identitas.
Jika saat ini, dunia masih dihantui pandemi Covid 19, situasinya sama dengan dilihat oleh filsup Perancis Foucault sebagai fenomena kegilaan, saat kemiskinan dan pengangguran pada abad ke-17 menjadi masalah sosial.
Kegilaan yang menjadi objek dari kekosongan budaya. Maksudnya, sebelum kegilaan muncul sebagai suatu masalah, wabah lepra lebih pada abad pertengahan menimbulkan keresahan bagi masyarakat Eropa. Setelah lepra hilang, kegilaan menjadi pengisi nilai-nilai moral masyarakat yang kosong. Harus ada nilai atau batas antara sehat dan berpenyakit, ada batasan normal dan gila. Manusia yang dianggap gila ialah manusia yang tidak memiliki nilai-nilai moral.
Faktanya masalah global saling mempengaruhi satu sama lain. Saat ekonomi goyah, kemiskinan terus mengakar. Ketika prospek masa depan tampak suram, narasi populis dan etnis nasionalis menjadi daya tarik. Ketika ketidakstabilan meningkat, investasi surut dan siklus perkembangan menurun; ketika konflik bersenjata berlanjut, masyarakat menjadi titik kritis yang berbahaya. Dan ketika pemerintah lemah, kapitalis atau bahkan teroris menjadi semakin kuat dan memanfaatkan kekosongan itu.
Hari ini untuk mematahkan lingkaran setan penderitaan dan konflik dalam kegilaan global ini kita perlu mendorong gelombang diplomasi perdamaian, membangun kerjasama ekonomi memerangi kemiskinan dan kebodohan. Bukan terjebak dalam pembodohan itu sendiri. (***)
Discussion about this post