Oleh : Dr. Noviardi Ferzi (Peneliti)
PSIKOLOGI sosial masyarakat untuk kritis berhadapan realitas memalukan hari ini. Konstruknya, ketika nalar publik terus mengalami kemunduran. Masyarakat makin takut untuk bersuara, baik karena hilangnya keberanian atau memang karena tidak peduli disebabkan daya kritis yang kian menurun.
Padahal nalar mengendalikan perilaku masyarakat. Selama ini para ahli bersepakat berbagai perilaku dan siasat perubahan pada dasarnya dikendalikan oleh nalar yang mereka miliki. Ketika nalar telah ditakuti, sesungguhnya demokrasi telah mati.
Dalam lintasan sejarah orde baru bisa berkuasa sangat lama karena sukses memunculkan ketakutan di kalangan kelas menengah ke atas. Kini, ketakutan yang sama telah mengerogoti masyarakat, takut untuk bersuara.
Masyarakat takut untuk menyampaikan pemikiran, meski pemikiran yang paling tidak kritis sekalipun, jangankan tindakan memusuhi penguasa, yang bertentangan dengan kepentingan penguasa masyarakat takut. Rasa takut ini yang menjaga penguasa survive menjalani agenda ekonomi, politik dan semua aspeknya, tanpa merasa terganggu.
Hari ini masyarakat cenderung mengambil jalan tengah, bersikap abu – abu bahkan diam sama sekali untuk menanggapi hal – hal yang membutuhkan keberpihakan manusia.
Meski logika tentang Idealisme sesungguhnya telah lama bergeser. Idealisme yang diuji ketika aktivis masuk ke lingkaran kekuasaan baik di eksekutif maupun legislatif. Faktanya tidak sedikit aktivis yang terkikis idealismenya bahkan hilang idealismenya ketika masuk ke lingkaran kekuasaan. Padahal publik berharap pada mereka untuk bersuara.
Padahal jika dikontekstualisasikan dengan realitas empirik politik di Indonesia maka betapa tidak sedikit aktivis yang berguguran dalam memegang teguh idealismenya
Jika diamati, pudarnya nalar tidak dalam ranah pemikiran, tapi lebih pada psikologi masyarakat untuk nyaman, demi rasa aman ini mereka memilih untuk tidak bersuara apalagi bergerak secara kolektif.
Kemunduran ini juga terjadi di lembaga perwakilan sekelas DPR RI, Pengadilan, organisasi mahasiswa hingga organ jalanan yang semestinya independen sekalipun. Maka, tak heran hari ini orang menilai secara umum civil society mengalami kemunduran, mengalami pelemahan moral publik.
Penurunan bobot atau Regresi demokrasi ini dalam konteks Indonesia pasca pemilu 2019 ditunjukan oleh setidaknya dua hal. Pertama, revisi UU KPK yang dilakukan secara kilat dinilai melemahkan institusi KPK dan mencederai narasi anti korupsi yang menjadi semangat reformasi.
Pemberlakukan secara otomatis UU KPK (UU No. 19 Tahun 2019) dianggap menguntungkan elit politik tanpa melalui proses yang mengakomodasi aspirasi publik. Dengan demikian gerakan mahasiswa mendesak Presiden untuk mengeluarkan Perppu pembatalan UU KPK sebagai ujian keberpihakan presiden terhadap narasi antikorupsi tersebut.
Kedua, regresi demokrasi berkaitan dengan porsi oposisi dalam pemerintahan. Dalam konteks Indonesia, hasil pemilu 2019 menunjukan minimnya porsi oposisi yang kuat di dalam parlemen berimplikasi pada minimnya pengawasan terhadap pemerintah, akibatnya tidak ada check and balances di dalam proses demokrasi.
Partai oposisi yang tersisa yakni Demokrat meraih 10.876.507 (7,77 persen) suara dan memiliki 54 kursi di DPR. Kemudian PKS meraih 11.493.663 (8,21 persen) suara dan memiliki 50 kursi di DPR.
Total kursi yang dimiliki partai oposisi ialah 104 atau hanya 18,1 persen dari keseluruhan kursi di parlemen.
Presiden Jokowi mestinya belajar dari kegagalan Orde Baru yang menggaungkan pembangunan dengan menciptakan stabilitas politik semu melalui pendekatan amputasi oposisi.
Dalam sistem politik yang lebih terbuka seperti sekarang, pendekatan ini hanya akan memancing perlawanan yang lebih besar dari masyarakat. Pemerintahan dan parlemen yang dihasilkan melalui proses demokratis seharusnya juga merapkan kebijakan dan cara-cara yang demokratis pula.
Walhasil isu apapun digelindingkan saat ini sulit membangkitkan kesadaran dari semua pihak. Padahal Bung Hatta mengingatkan, tugas kaum terdidik untuk terus menerus membimbing jalannya masyarakat. Baik ketika dalam struktur pemerintah ataupun tidak. Kesadaran yang tak lagi dimiliki elit partai.
Persoalan kemunduran nalar adalah kemunduran bersama dan merupakan gejala yang kurang sehat. Meski banyak orang merasa tidak baik-baik saja, tetapi tidak berani bicara. Mereka diam dengan kesimpulan bisu dan kepentingan.
Kemunduran nalar ini, bukan berarti kemampuan berpikir argumentatif yang mundur, tetapi keberanian untuk bersikap. Meskipun alasannya kuat, misalnya keselamatan keluarga. Tapi cara berpikir itu untuk tidak berani bagian dari kemunduran.
Melawan kondisi ini, satu hal yang bisa dilakukan adalah bergerilya, bergerak, jika ada rasa ketakutan itu berbisiklah, dengan narasi dan ide. Akhirnya, kita sadar bahwa hari bahwa, ” Common enemy kita hari ini bukanlah rezim otoriter, tetapi demokrasi itu sendiri. Demokrasi telah dikorupsi oleh elit politik yang berhasil mentransformasikan diri melalui pintu demokrasi. (***)
Discussion about this post