Jambiday.com, JAMBI– Pengamat Ekonomi Noviardi Ferzi menilai pemerintah pusat dan daerah inkonsisten dalam membatasi produksi batu bara.
Inkonsisten pertama dilakukan pemerintah pusat tentang kuota produksi, awal tahun 2022 saat pecah perang Rusia Ukraina, kuota BB Jambi ditambah Kementerian ESDMN
” Saat ini kuota Jambi 39 juta ton pertahun. Perhitungan kasarnya tiap bulan ada 3,3 juta ton Batubara yang keluar dari Jambi. Jika rata rata truk mengangkut 10 ton, maka dibutuhkan 330 ribu trip angkutan tiap bulan, lalu, jika satu truk bisa kerja 25 hari dalam sebulan, maka dibutuhkan 13 lebih truk, maka tak heran kepadatan angkutan batubara di Jambi sudah amat meresahkan, ” ungkap pengamat yang dikenal kritis ini.
Inkonsisten sikap pemerintah pusat ini menurutnya diikuti oleh sikap Gubernur yang meresmikan stokfile raksasa berkapasitas 20 juta ton pertahun di Teluk Jambu Muaro Jambi, padahal soal ini Gubernur bisa saja menolak izin teknis yang menjadi wewenangnya masalah stokfile ini.
” Masalahnya ketika kuota ditambah oleh pusat, Gubernur malah meresmikan stok file baru berkapasitas raksasa di Teluk Jambu, jadi ada sikap inkonsisten pemerintah masalah batubara di Jambi, ” imbuhya.
Selain itu Noviardi juga mengeluhkan lemahnya penindakan dari Dinas Perhubungan Provinsi Kabupaten Kota. Menurutnya kewenangan polisi hanya mengatur lallulintas. Sementara soal perizinan angkutan di Dishub. Termasuk saat ini banyak angkutan berplat luar masuk ke Jambi.
Sikap inkonsten Gubernur juga terlihat dari desakan untuk menghentikan angkutan Batubara kemarin, ketika pilihan menghentikan angkutan BB hanya diusulkan oleh Gubernur pada pihak kementerian, padahal instrumen regulasi menghentikan ini ada pada Gubernur.
Sementara instruksi yang di teken berpotensi hanya membuat alur penumpukan kendaraan menyebar meluas dan merata ke seantero jambi.
” Jika dak percaya dalam 4 hari ke depan titik kemacetan akan meluas, ” jelasnya.
Dalam skala nasional di dalam undang-undang (RUU) energi nasional sudah ada rencana untuk membatasi produksi batu bara tak lebih 400 juta ton. Tapi kenyataannya, kuota produksi sudah jauh puluhan juta ton. Paling tidak kita bisa melihat sikap tidak konsisten.
Melihat hal ini, ia menduga pemerintah tidak mengawasi aturan produksi tersebut lantaran pemerintah sendiri membutuhkan devisa untuk menutupi defisit transaksi berjalan (CAD). Hal tersebut dapat dilihat dari produksi batu bara yang menurut Noviardi sangat digenjot dalam tiga tahun terakhir.
Padahal menurutnya, pembatasan produksi batu bara sendiri dinilai sangat penting dan mendesak untuk dilakukan karena sangat berdampak pada kondisi alam di Indonesia.
“Kenapa perlu dibatasi? karena dampak pertambangan itu sangat dahsyat. Data banyak yang menunjukkan bagaimana kawasan eks tambang batu bara itu ditelantarkan. Jadi, punya konsekuensi yang sangat besar. Ada perubahan (eks lahan tambang) menjadi kolam-kolam raksasa yang telah mengambil banyak nyawa juga,” ungkapnya.
Terakhir Noviardi mencoba mengambarkan kritiknya dalam sebuah puisi,
” Semerawut Batubara Jambi adalah sebuah topeng dari suatu kemunafikan sistem kekuasaan.
Batubara Jambi adalah pembiaran kekuasaan akan problem masyarakat.
Batubara Jambi sebuah contoh minimnya keberpihakan kekuasaan pada masyarat
Batubara Jambi adalah kumpulan regulasi yang tak bearti..
Hari ini kita melihat kepentingan oligarki menjadi anak kandung yang dibela penguasa.. #LAWAN. (***)
Discussion about this post