Oleh : Dr. Noviardi Ferzi (Direktur Eksektutip LKPR Research And Consulting)
DALAM sudut pandang persiapan (prepare), Pemilu 2024 tidak lama lagi. Dikatakan tidak lama, karena persiapan proses ini membutuhkan tahapan panjang, padat dan memakan waktu.
KPU sendiri sebagai pelaksana sendiri telah mengatur proses ini ke dalam beberapa tahapan pemilu 2024. Di mulai pada 14 Juni 2022 sampai dengan agenda puncaknya, pemungutan suara untuk Pemilihan Umum Presiden dan Pemilihan Umum Legislatif, pada hari Rabu, 14 Februari 2024. Kemudian, Pemilihan Kepala Daerah serentak pada November 2024. Berbagai agenda dan tahapan inilah yang harus dilaksanakan KPU dalam waktu kurang 20 bulan dari sekarang.
Tahapan ini baru dari sudut pandang KPU lembaga penyelenggara. Lalu, bagaimana persiapan pemilu 2024 dalam sudut pandang partai politik. Secara umum tentu aktivitas partai politik tak jauh berbeda dari tahapan yang dilakukan KPU. Bulan Agustus 2022 ini misalnya, Partai Politik sudah mulai mendaftar di KPU sesuai tingkatan dan selanjutnya.
Dalam konteks strategi, kepentingan partai peserta pemilu hanya satu yaitu memenangkan pemilu. Tidak ada tujuan lain selain menang pemilu, menguasai banyak kursi di legislatif baik DPR, DPRD Provinsi Kabupaten Kota.
Kenapa, semangkin besar kursi legislatip, semangkin besar pula kekuatan partai di pemerintahan yang akan datang. Di daerah dengan banyaknya kursi akan memudahkan para kader untuk meraih kekuasaan eksekutip Gubernur, Bupati dan Walikota. Kalaupun belum tersampai minimal akan meningkatkan posisi tawar (bargaining posision) partai bersangkutan.
Dalam rangka memenangkan pemilu legislatip ini ada syarat psikologis pemilih yang harus dikejar oleh partai, yakni elektabilitas partai atau tingkat keterpilihan suatu partai.
Dalam konsepsi awal elektabilitas partai berbeda dengan hasil pemilihan, kenapa ? Jawabannya karena tiap partai memiliki keterpilihan tersendiri, berbeda dengan elektabilitas calegnya. Buktinya, sebelum ada calon legislatip, partai politik sudah memiliki elektabilitas tersendiri.
Sebagai contoh elektabilitas partai, berdasarkan Hasil survei Indonesia Polling Station (IPS) tanggal 28 Maret 2022 lalu, yang menyatakan, elektabilitas PDIP 20,9 persen, Gerindra 16,5 persen, Golkar 11,4 persen, Demokrat 8,3 persen, PKS 7,7 persen, PKB 7,1 persen, NasDem 5,5 persen, PAN 2,6 persen, Perindo 2,2 persen, PPP 2,1 persen.
Hasil survei ini merupakan elektabilitas murni partai, pilihan yang terbentuk atas persepsi positip masyarakat terhadap partai. Nilai ini belum terkonstruksi dengan kekuatan para calon legislatifnya.
Survie, IPS juga menemukan bahwa partai-partai baru dan partai non parlemen sulit mendapat elektabilitas yang tinggi. Hanya Perindo yang diprediksi bisa melewati ambang batas parlemen (parliamentary threshold). Tapi sekali lagi ini perhitungan elektabilitas partai. Sebagai contoh PAN, hampir jelang pemilu lembaga survei memprediksi partai ini akan sulit menembus angka 4 – 5 persen, namun karena kekuatan caleg dan kadernya di legislatif dan eksekutip, PAN selalu bisa mementahkan survei.
Dalam konsep ini, bisa disimpulkan suara partai politik adalah gabungan dari elektabilitas partai dan suara para calon legislatifnya. Postulat inilah yang menjawab fenomena survei, kenapa ada partai yang elektabilitasnya sebelum pemilu rendah, namun pada saat pemilihan mampu meraih suara yang besar. Hipotesisnya karena terdongkrak suara calegnya.
Dari asumsi ini sudah tampak, bahwa kualitas dan kemampuan para caleg harus menjadi perhatian bahkan satu strategi dasar yang harus dipenuhi partai politik dalam menghadapi pemilu 2024 nanti. Tanpa caleg yang berkualitas, figur – figur yang memiliki kemampuan komunikasi, jaringan, finansial, militansi dan lainnya, maka partai hanya akan bergantung pada elektabilitasnya sendiri.
Rancang Bangun Elektabilitas
Lalu ada pertanyaan, elektabilitas partai dibentuk oleh faktor apa ? Keterpilihan suatu partai Politik sangat ditentukan oleh empat faktor sebagai berikut :
Pertama, citra positip partai yang biasanya dilahirkan dari kinerja legislatipnya, para anggota DPR, DPRD Provinsi Kabupaten Kota dalam mengemban amanah, merespon isu, menyuarakan aspirasi hingga program yang bisa dirasakan masyarakat hasil perjuangan mereka.
Perlu juga dicatat, membentuk citra hari ini memerlukan sumber daya yang besar, baik finansial, waktu dan pertarungan politik anggaran. Namun ini adalah realita berpolitik yang harus ditempuh demi citra sebuah partai.
Kedua, Ketokohan yang dimiliki partai. Tokoh yang dimaksud bisa merupakan ketua umum partai di tingkat pusat, atau dalam skala lokal para kepala daerah, tokoh masyarakat, ulama dan lainnya yang bergabung dengan suatu partai.
Partai politik nasional yang besar hari seperti PDI – P dan Gerindra besar karena memiliki ketua umum yang menjadi magnet bagi pemilih, katakanlah Megawati dan Jokowi di PDI – P, lalu di Gerindra ada nama besar Prabowo Subianto.
Karena postulat inilah, trend partai politik menjadikan kepala daerah seperti Gubernur, Bupati dan Walikota sebagai Ketua Partai di daerah. Trend ini juga terjadi di Provinsi Jambi, ketika hampir semua partai menjadikan Bupati dan Walikota sebagai ketua Partai.
Ketiga, Sistem, Idealnya, partai politik kuat karena sistemnya yang kuat. Sistem pengkaderan yang jelas dan berjenjang, mengakomidir kepengurusan dari sayap dan organ partai. Tradisi dewasa dalam menyikapi perbedaan pendapat dalam tubuh partai, termasuk mekanisme penentuan pimpinan partai yang demokratis.
Meski berliku dan relatip mahal dari sisi cost politik, sistem partai yang demokratis akan menghasilkan daya saing dan imunitas keorganisasian yang sehat bagi suatu partai untuk meraih dukungan yang besar. Meski tidak 100 persen Partai Golkar masuk kategori ini. Elektabilitasnya terbentuk karena sistem yang kuat mempengaruhi pemilih loyalnya.
Ke Empat, Efek polarisasi isu dan sentimen tertentu. Polarisasi politik di Indonesia adalah setting dasar yang dipelihara. Untuk apa, untuk mengamankan suara basis kekuatan politik tertentu. Hampir semua partai menikmati berkah polarisasi pilihan di masyarakat. Meski sedikit negatif, polarisasi pilihan adalah keniscayaan dalam demokrasi. (***)
Discussion about this post