Oleh : Dr. Noviardi Ferzi (Pengamat)
KEKUASAAN pemerintahan daerah dituntut memiliki pemahaman pada pemerataan yang berperspektif keadilan. Salah satu instrumen keadilan yang dituntut publik dalam kekuasaan kepala daerah adalah pemerataan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).
Tanpa keadilan dan pemerataan tak ada kekuasaan yang optimal bisa melaksanakan fungsinya, menjalankan politik anggaran yang adil dan merata bagi tiap wilayah, masalah kemiskinan dan gender. Kewajiban ini berlaku untuk semua penguasa termasuk Gubernur Provinsi Jambi.
Dalam kurun waktu kurang setahun kekuasaan Gubernur Jambi, ada kekhawatiran bahwa praktek desentralisasi lokalistik belum diimbangi kesadaran untuk berpihak kepada kabupaten kota, kelompok miskin dan gender. Malah terkesan anggaran yang ada hanya menguatkan tatanan patriarki dan oligarki di tingkat lokal.
Padahal Implementasi keadilan dan pemerataan memberikan pengaruh besar dalam mendukung keberhasilan pembangunan. Pengaruh tersebut berupa dukungan dari semua pihak akan program kepala daerah. Sebaliknya jika rasa keadilan tidak dirasakan, akan melahirkan gejolak yang mengarah pada penolakan program kepala daerah. Dalam hal ini penting untuk memenuhi rasa keadilan anggaran oleh seorang penguasa.
Publik harus menuntut APBD Provinsi Jambi bisa memperkecil kesenjangan dalam rangka mewujudkan keadilan sosial yang menjadi alasan utama bagi mendesaknya kebutuhan anggaran yang berperspektif keadilan. Selain itu, anggaran yang berperspektif keadilan juga dibutuhkan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam demokrasi dan pembangunan, disamping mengurangi angka kemiskinan.
Di tahun 2022 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Jambi ditetapkan sebesar Rp 4,79 triliun. Pertanyaannya, sudahkah APBD ini pro rakyat. Memberi rasa keadilan pada kabupaten Kota, kelompok miskin dan gender. Pro pada rakyat bukan pada oligarki dengan segala kepentingannya.
Hari ini kecendrungan anggaran besar berbentuk proyek tahun jamak (multi years) seperti “gula” yang mengundang semut-semut untuk datang dan memperebutkannya.
Mereka yang tak punya kuasa akhirnya harus menelan pil pahit karena tersingkir meski merupakan populasi besar yang harus diperhatikan. Praktik di sejumlah daerah termasuk di Provinsi Jambi menunjukkan perebutan anggaran dimaksud. Itu sebabnya diperlukan gerakan-gerakan untuk memperjuangkan anggaran pro poor (pro rakyat miskin).
Di Provinsi Jambi kecendrungan ini berupa Proyek tahun jamak (multiyears) yang menelan dana APBD Provinsi Jambi senilai Rp 1,5 triliun. Sebagian bahkan sudah selesai lelang di Unit Kerja Pengadaan Barang/Jasa (UKPBJ) Provinsi Jambi.
Berdasarkan dokumen yang ada mega proyek multiyears tersebut meliputi pekerjaan konstruksi jalan dan bangunan gedung di bawah pengelolaan Dinas Pekerjaan Umum dan Permukiman Rakyat.
Khusus untuk jalan akan menghabiskan Rp 723,3 miliar. Di antaranya adalah untuk pekerjaan jalan Talang Pudak-Suak Kandis di Muarojambi; jalan Simpang Pelawan-Sei Salak-Pekan Gedang di Sarolangun dan Jalan Sei-Saren-Senyerang di Tanjung Jabung Barat.
Sedangkan untuk pembangunan gedung bakal menelan Rp 410 miliar, yakni untuk pembangunan stadion olahraga di Pijoan, Muarojambi dan Islamic Center.
Untuk pembangunan stadion senilai Rp 250 miliar, sempat heboh karena pemindahan lokasinya dari sekitar kawasan Sekolah Polisi Negara di Kecamatan Mestong ke Pijoan, perencanaan teknis dan studi kelayakan analisa masalah dampak lingkungan juga sudah berjalan.
Lalu, ada Kawasan Islamic Center, yang akan menelan dana APBD Rp 150 miliar, juga mulai berproses. Pekerjaan manajemen konstruksi stadion dan Islamic Center dengan nilai Rp 10 miliar juga sudah memasuki tahap lelang.
Kelima paket mega proyek multiyears tersebut akan menghabiskan anggaran senilai Rp 1,5 triliun. Untuk tahun pertama di 2022, alokasi anggarannya baru 10 persen. Sedangkan pada tahun kedua 2023 direncanakan sebesar 45 persen dan tahap ketiga 45 persen. Hingga total 100 persen.
Jika program multi years lancar jaya, tidak demikian dengan Program Dua Miliar Satu Kecamatan (DUMISAKE) yang disebut untuk mengintervensi kemiskinan di Provinsi Jambi. Jawabannya sampai saat ini belum terlihat realisasinya.
Padahal Program Dumisake, diarahkan untuk mengangkat derajat dan perekonomian masyarakat desa. Program ini dapat berupa bantuan langsung yang akan kita berikan melalui Pemerintah Kabupaten/Kota yang nantinya melalui program ini kita dapat memberdayakan masyarakat. Namun, saat ini publik seolah terperdaya akan program ini, karena lemah ditingkat realisasinya.
Dari dua perbandingan antara multi years dan Dumisake ini kita melihat Gubernur tidak mengkomunikasikan apa yang menjadi skala prioritas pemerintah. Dari anggaran juga dapat diketahui berapa besar perhatian pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin maupun kelompok marginal lainnya termasuk perempuan di tiap daerah.
Padahal Mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 12 tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Permendagri tentang Pedoman Penyusunan APBD yang diterbitkan setiap tahun, ada tiga fungsi APBD, yaitu:
Pertama, fungsi alokasi. Anggaran merupakan instrumen pemerintah untuk menyediakan barang dan jasa publik guna memenuhi kebutuhan masyarakat. Dalam fungsi ini, anggaran dibedakan antara belanja pegawai, belanja pembangunan atau belanja publik.
Kedua, fungsi distribusi. Anggaran merupakan sebuah instrumen untuk membagi sumber daya (kue pembangunan) dan pemanfaatannya kepada publik secara adil dan merata guna mengatasi kesenjangan sosial antara kota dan desa, miskin dan kaya, serta kelompok.
Lalu yang Ketiga, fungsi stabilisasi. Penerimaan dan pengeluaran negara tentu mempengaruhi permintaan agregat dan kegiatan ekonomi secara keseluruhan.
Dengan fungsi ini, maka anggaran menjadi instrumen untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental ekonomi. Prinsipnya Penyusunan APBD dilakukan secara tertib, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan, kepatutan, manfaat untuk masyarakat.
Berdasarkan tiga fungsi di atas, Gubernur seharusnya memiliki komitmen bahwa alokasi anggaran APBD diberikan kepada semua orang, meski tidak dinikmati dengan kapasitas yang setara dan berdampak sama baiknya kepada semua orang, agar kaum miskin di kabupaten kota tidak semakin terpuruk, membuat kesenjangan semakin lebih kokoh. (***)
Discussion about this post