Oleh : Dr. Noviardi Ferzi (Pengamat)
DALAM dua tahun terakhir, fenomena flexing alias pamer harta yang marak di media sosial. Julukan mereka juga macam – macam dari Crazy Rich hingga Sultan.
Ada kesan makin kaya makin riya. Itulah fenomena yang menjangkiti masyarakat masa kini, terlebih dengan masifnya penggunaan internet dan media sosial (medsos).
Berbagai gaya dan aksi dilakukan para Crazy Rich dadakan ini. Mulai dari pamer saldo ATM, beli mobil mewah sekelas Lomborghini dan Ferrari, pamer jam Rolex harga ratusan juta, menunggangi motor gede (Moge), hingga naik pesawat pribadi untuk liburan atau berkerja.
Jika menilik dari segi konten yang mereka sajikan, sebenarnya tak salah. Pasalnya salah satu konten yang laris manis di media sosial adalah bagimana gaya hidup orang kaya dipertontonkan, mulai dari rumah mewah, lokasi berlibur ke luar negeri, kendaraan berharga fantastis dan pakaian mahal yang dikenakan untuk menunjukkan eksistensi diri bahwa mereka bisa kaya di usia yang relatif sangat muda. Hal itu agaknya ingin ditularkan ke masyarakat, namun dengan cara yang terlalu instan.
Fenomena flexing ini mempengaruhi anak muda hingga menimbulkan keinginan kaya raya dengan cara yang instan. Ada apa dibalik fenomena flexing pada masyarakat Indonesia ini ?.
Menaikkan derajat sosial alias Pansos (panjat sosial) menjadi salah satu alasannya. Di media sosial, pamer kekayaan menjadi salah satu konten yang cukup populer dan banyak diunggah di dunia maya. Ironisnya lagi, dengan teknologi pengedit foto dan video yang makin canggih, seseorang yang dalam kesehariannya mungkin biasa saja bisa menampilkan foto bak sultan yang keren dan kaya raya. Itu semua demi derajat sosial yang semu.
Padahal semakin kaya seseorang, maka akan semakin diam atau tidak memamerkan kekayaan. Namun, saat ini begitu banyak orang kaya baru yang suka pamer kekayaan.
Dalam konteks perilaku konsumen, dikenal teori Conspicuous Consumption yakni pembelian barang atau jasa yang dilakukan untuk menunjukkan kekayaan seseorang. Padahal, orang yang benar-benar kaya tidak akan melakukan hal tersebut. Mereka cenderung semakin menjaga privasinya.
Sedangkan dari kacamata psikologi, ada penyebab fenomena melakukan pamer harta atau flexing di media sosial. Perilaku flexing merupakan perilaku instingtif dalam menjalin relasi.
Ilmu Psikologi Sosial menyebutkan bahwa memamerkan sesuatu yang dimiliki dilakukan untuk menunjukkan status sosial seseorang. Dengan harapan lebih menarik di mata orang lain sehingga dapat memperluas pergaulan.
Selain itu dalam psikologi klinis, perilaku flexing dikaitkan dengan rasa tidak aman atau insecurity yang dimiliki seseorang. Sehingga ada dorongan untuk memamerkan apa yang menurutnya unggul pada orang lain. Ada rasa tak percaya diri.
Flexing langsung ramai karena masyarakat lantaran di tengah sulitnya kondisi ekonomi akibat pandemi Covid-19, sejumlah orang justru mempertontonkan kekayaan di luar nalar. Mereka tak segan pamer harta bahkan berharap disematkan status ‘Crazy Rich’. Endingnya bisa ketebak, mirip kata kritikus akan hal ini, dibalik kekayaan yang besar, pasti ada kebohongan yang besar pula.
Benar saja, kegemilangan mereka di antaranya Indra Kenz dan Doni Salmanan tak bertahan lama setelah Bareskrim Polri mengendus ada yang tidak beres. Bermula dari adanya laporan sejumlah pihak yang mengaku telah menjadi korban penipuan judi online berkedok investasi. Para korban mengaku dibohongi dan atau ditipu melalui perbuatan curang atau tindak pidana pencucian uang.
Jadi, Fenomena Flexing di Indonesia harus di waspadai, kenapa ? Karena ada kecendrungan dilakukan untuk menipu dengan jalan mempengaruhi orang lain dengan kekayaan. Jadi, waspadalah. Ini fenomena dunia, bukan hanya terjadi di Indonesia. (***)
Discussion about this post