Oleh : Dr. Noviardi Ferzi (Pengamat)
MESKI menjadi angin segar bagi petani, keputusan Gubernur Jambi tentang penetapan harga tandan buah segar (TBS) sawit yang harus dibeli perusahaan dari petani sebesar Rp 2.016 per kilogram, memantik polemik
Dikatakan polemik, Pertama, ini batasan harga melawan hukum supply and demand. Kedua, sikap heroik Gubernur yang membela Petani. Lalu ketiga, sejauh mana ini akan efektif, serta ke Empat, tentang wewenang Gubernur masalah penetapan harga TBS itu sendiri ? Dari ke empat polemik itu, saya mencoba menjawab melalui tulisan.
Dasar hukum penetapan harga TBS kelapa sawit diatur melalui Permentan Nomor 14 Tahun 2013 tentang Pedoman Penetapan Harga TBS Produksi Pekebun yang mengatur harga pembelian TBS produksi pekebun oleh perusahaan perkebunan atau oleh pabrik kelapa sawit.
Perkembangan regulasi penetapan harga TBS dimulai dengan berlakunya Permentan No. 627 Tahun 1998, Permentan No. 395 Tahun 2005, Permentan No. 17 Tahun 2010, dan terakhir diatur melalui Permentan No. 14 Tahun 2013.
Berdasarkan regulasi di atas, Kebijakan harga pembelian TBS ini sesungguhnya tetap di bawah payung kemitraan, yang kalau merujuk produk legislasi dan regulasi di perkebunan, dan secara praktik, kemitraan ini tetap dimengerti dalam payung inti-plasma. Sehingga, pekebun swadaya kesulitan memperoleh akses kepada perlindungan harga.
Tentu hal tersebut di atas bertentangan dengan kenyataan berkembangnya pekebun swadaya dan adanya regulasi yang mewajibkan perusahaan perkebunan untuk membeli panen pekebun swadaya.
Sehingga, jika mengacu pada Permentan itu, keputusan Gubernur bisa dinilai lip service semata, kebijakan yang menjadi pemanis bibir semata, karena, berdasarkan Permentan No 14 tahun 2013 ini, pemerintah daerah dinilai tidak memiliki kewenangan dalam penetapan harga beli Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit seperti permintaan banyak pihak selama ini.
Permentan No 14 Tahun 2013 ini mengatur tentang rumus harga pembelian TBS kelapa sawit, pembinaan dan sanksi. Harga penetapan TBS ditujukan kepada pekebun yang telah menjadi bagian dalam kelembagaan pekebun dan melakukan kerjasama dengan perusahaan/PKS, dimana perjanjian tersebut diketahui oleh Bupati atau Walikota melalui Kepala Dinas Perkebunan.
Dari rumusan tersebut, Permentan Pedoman Penetapan Harga TBS Kelapa Sawit sebetulnya belum menyentuh dan mengakomodir dinamika yang ada di tingkat pekebun swadaya yang belum terfasilitasi dalam kelembagaan pekebun dan memilih keluar dari pola kemitraan inti plasma. Sehingga, sulit mengakses penjualan secara langsung ke perusahaan. Pemasaran TBS dilakukan dengan menggunakan perantara sebagai alternatif untuk memenuhi kebutuhan ekonomi.
Pekebun boleh saja bekerjasama untuk mengakses penjualan secara langsung ke PKS, apabila memiliki lahan perkebunan sawit yang luas untuk memenuhi kapasitas permintaan produksi TBS yang akan diolah di PKS. Realitasnya, rata-rata penguasaan dan pengelolaan lahan oleh pekebun swadaya hanya berkisar pada luasan 2 hektar.
Tidak hanya kesulitan untuk memperoleh harga penetapan, tetapi juga perusahaan tidak memberikan ruang kepada pekebun swadaya untuk melakukan penjualan TBS secara langsung, kecuali dalam skema kemitraan yang ditentukan oleh perusahaan.
Sehingga, beberapa temuan di beberapa wilayah, dalam provinsi Jambi, pekebun swadaya dianggap sebagai pihak ketiga dalam konteks pemasaran TBS. Kondisi tersebutlah yang melanggengkan ketergantungan pekebun swadaya terhadap tengkulak, yang faktanya lebih banyak merugikan pekebun mandiri dalam konteks harga pembelian TBS.
Jika melihat relevansinya, harga penetapan TBS hanya bisa diakses oleh pekebun plasma atau yang telah memiliki kerjasama dengan perusahaan.
Selain itu, jangan juga lupa, penentuan tinggi rendahnya harga jual beli TBS dipengaruhi oleh standar harga jual minyak sawit atau crude palm oil (CPO) dunia. Hal ini perlu diluruskan, jangan sampai hal ini menimbulkan kerancuan.
Adapun faktor lain yang mempengaruhi harga TBS, tergantung mutu atau kualitas TBS. Kondisi buah segar akan mempengaruhi harga. Semangkin buah segar dan matang, akan memiliki nilai jual tinggi, dan jika buah mentah, ukuran kecil dan kering tentu harganya akan rendah. Jadi, kesimpulannya, harga sepenuhnya ditentukan oleh situasi pasar, baik demand and supply maupun kondisi buah.
Pabrik Kelapa Sawit adalah usaha dagang komersil bukan milik plat merah sehingga penetapan harga beli prodak TBS harus sesuai dengan jual hasil produksi CPO dan Karnel.
Semisal, jika petani menginginkan harga yang tinggi, harus mengikuti kriteria mutu TBS, dengan kadar persensentase buah mentah 0 % dan buah matang paling sedikit 95 % dan brondolan minimal 12,5 % dan tangkai panjang tidak boleh lebih dari 2,5 cm ).
Meskipun Peraturan Menteri Pertanian Nomor 14 Tahun 2013 tentang Pedoman Penetapan Harga Tandan Buah Sawit bertujuan untuk memberikan perlindungan dalam perolehan harga wajar TBS kelapa sawit produksi pekebun, dan menghindari adanya persaingan tidak sehat diantara Pabrik Kelapa Sawit (PKS).
Namun sesungguhnya Permentan ini hanya menyediakan pedoman atau rumus harga pembelian dan pembentukan Tim Penetapan Harga, bahkan pembinaan kepada pekebun dan kelembagaanya diserahkan kepada perusahaan perkebunan.
Selama ini teori dasar pembentukan harga produk pertanian adalah harga di tingkat petani produsen diturunkan dari harga di tingkat konsumen akhir, dimana petani produsen berada pada posisi sebagai penerima harga. Pada kasus ini, saya menilai, pembentukan kelembagaan asosiasi petani belum dapat memperbaiki sepenuhnya pembentukan harga TBS sawit di tingkat petani.
Hal itu karena rumus indeks K yang ditetapkan oleh pemerintah sepengetahuan kepala daerah produsen setempat, yang berakhir pada pembentukan harga petani produsen sawit berguna untuk mengatur pembentukan harga TBS sawit tingkat petani, pabrikan dan eksportir minyak sawit kasar (CPO), juga dapat berdampak negatif.
Ketika harga CPO bukan hanya dibentuk dari kegiatan jual beli diantara eksportir dengan importir secara individual, melainkan berkembang melalui pasar berjangka komoditas, maka pembentukan harga CPO di pasar bursa berkembang mengikuti kegiatan tawar-menawar secara bersaing sempurna.
Akibatnya, harga CPO yang terbentuk di pasar internasional dapat secara ekstrim berbentuk jet roller coaster melejit naik tinggi, atau pun terjerembab turun ke titik terendah.
Situasi pembentukan harga TBS sawit di tengah rumus indeks K dan HET minyak goreng di tengah tidak dimungkinkannya pemanfaatan badan penyangga di luar makanan pokok beras oleh organisasi perdagangan dunia, maka kondisi ini kemudian menimbulkan perbedaan kepentingan antara petani produsen TBS sawit dengan konsumen rumah tangga minyak goreng, yang sangat tajam.
Campur tangan pembentukan harga tersebut di atas menimbulkan dampak negatif bukan hanya pada PKS, melainkan terutama pada petani produsen TBS sawit yang seringkali tidak melakukan strategi diversifikasi produk.
Dari uraian ini, saya menyimpulkan, penentuan harga tetap di bawah dominasi perusahaan perkebunan, karena perusahaanlah satu-satunya tempat untuk menjual dan komponen penentuan harga TBS sangat ditentukan oleh perhitungan perusahaan, sehingga ketika perusahaan tidak mau membeli atau harga jatuh, petani pekebun tidak ada perlindungan.
Beda soal, jika mengacu kepada Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, perlindungan petani pekebun seharusnya dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah.
Sayangnya Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani tidak jelas memberikan perlindungan kepada petani pekebun karena memandatkan kepada peraturan perundang-undangan. Sayangnya lagi Undang-Undang Perkebunan juga tidak mengaturnya kategori petani pekebun yang harus mendapatkan perlindungan.
Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, pemerintah memiiki kewajiban untuk memberikan jaminan kepastian usaha bagi petani. Jaminan kepastian usaha tersebut berupa jaminan pemasaran yang merupakan hak petani untuk mendapatkan penghasilan yang menguntungkan. Jaminan pemasaran tersebut dilakukan melalui pembelian secara langsung, penampuangan hasil usaha tani dan fasilitas akses pasar.
Hal-hal tersebut di atas itulah yang seharusnya dilakukan pemerintah ketika terjadi permasalahan pembelian dan harga TBS. Permentan Harga TBS memang sudah selayaknya dicabut, karena bukan saja tidak mengacu ke Undang-Undang Perkebunan yang baru (Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014) dan Undang-Undang Perlindungan Pemberdayaan Petani.
Tetapi juga dalam rangka menyesuaikan dengan dinamika kemitraan dan petani pekebun. Dan yang lebih penting agar mekanisme perhitungannya tidak merugikan petani pekebun.
Lalu, bagaimana perkembangan harga TBS di Jambi pasca penetapan Gubernur tersebut, Efektipkah ?
Data harga 5 Agustus 2022 lalu, TBS sawit yang dibeli pihak perusahaan (5/8) masih di bawah Rp 1.000. Sedangkan, pada periode 12-18 Agustus 2022 mengalami kenaikan. Data yang diterima dari Dinas Perkebunan Jambi, Sabtu (18/8) menyebutkan untuk harga TBS kelapa sawit usia 10-20 tahun naik sebesar Rp120 dari harga Rp2.016 menjadi Rp.2.136 per kilogram.
Artinya, harga TBS di Jambi masih berfluktuasi mengikuti harga dunia, bukan pada keputusan Gubernur. Jika sudah begini, saya teringat sebuah lagu, Siapa Entah yang Salah??. (***)
Discussion about this post