Oleh : Dr. Noviardi Ferzi (Pengamat)
HARGA sawit dunia terus merangkak naik, namun petani di Indonesia belum ikut menikmati secara optimal, musababnya, skema perdagangan sawit belum memungkinkan itu terjadi. Hari ini, mereka yang berkebun setiap hari dan memanen tandan sawit, belum mampu merasakan manisnya tren dunia itu. Pasalnya, mereka tak bisa menolak peran tengkulak dalam sistem perdagangan sawit.
Jumlah petani sawit yang tak berdaya melawan tengkulak ini sangat besar, khususnya petani dengan kepemilikan lahan di bawah delapan (8) hektar. Mereka menjual sawitnya ke tengkulak, dengan selisih harga yang cukup besar, dengan harga penetapan pemerintah.
Selama ini kebanyakan petani tidak berhubungan langsung sama pabrik. Jadi yang menikmati harga yang terkesan lumayan besar sebagian besar bukan petani. Ada oknum tertentu saja yang menikmati. Kalau petani, karena tidak berhubungan sama pabrik, jadi tetap harga ini masih diatur sama tengkulak.
Di kalangan petani dikenal istilah tengkulak sangat familiar, mereka inilah yang memiliki akses menjual sawit ke pabrik pengolahan. Harga beli yang ditetapkan masing-masing tengkulak memang berbeda. Meski petani bisa memilih ke tengkulak mana sawit hasil kebunnya akan dijual, namun tengkulak memiliki jurus jitu menjerat petani, caranya ? Dengan memberi mereka hutangan sebelum panen. Ketika petani sudah berhutang ke tengkulak, mau tak mau TBS hasil panen harus dijual ke tengkulak.
Realitas hari ini harga TBS sudah ditentukan oleh tengkulak. Petani sawit tinggal menerima uang penjualan yang disodorkan para tengkulak tanpa bisa menawar atau pasang harga. Masalahnya ada pada kesulitan petani yang tidak bisa menjual langsung ke pabrik pengolahan kelapa sawit secara langsung. Dalih pabrik, produk TBS milik petani tidak memenuhi standar. Alhasil, petani tak punya pilihan.
Menjual ke tengkulak menjadi pilihan satu-satunya. Kalau dari pabrik harganya Rp 1.100, petani hanya menerima Rp 1.000. Kalau dari pabrik Rp 900, tengkulak hanya membayar ke petani Rp 800. Kurang lebih begitulah ilustrasinya.
Besarnya pengaruh para tengkulak dalam rantai perdagangan tergambarkan dalam survei pada 2017 oleh Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) terhadap 10 ribu petani sawit rakyat di Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Tenggara. Hasil survei tersebut menyebutkan bahwa 73 persen petani menjual TBS ke tengkulak. Sedangkan harga jual tandan buah di tengkulak sulit diprediksi karena mengikuti ketetapan pabrik pengolahan sawit.
Saat ini harga sawit berdasarkan penelusuran InfoSAWIT, harga TBS saat ini sawit umur 3 tahun Rp 2.803,11/Kg; sawit umur 4 tahun Rp 2.997,76/Kg; sawit umur 5 tahun Rp 3.135,32/Kg; sawit umur 6 tahun Rp 3.266,03/Kg; sawit umur 7 tahun Rp 3.348,38/Kg; sawit umur 8 tahun Rp 3.420,01/Kg.
Harga perkilo Tandan Buah Segar (TBS) Jauh lebih baik dari harga di masa lalu, yang bahkan bisa menyentuh di bawah Rp 1.000. Tetapi, tengkulak ini sudah punya kesepakatan harga, berapa akan mereka naikkan atau turunkan. Meski ada kenaikan harga di tingkat petani tidak sebesar harga yang diberitakan.
Memang ada upaya menekan peran tengkulak, salah satunya dengan mendirikan koperasi dan meminta jalur kerja sama kemitraan dengan pabrik. Memang ada kesempatan, tetapi ada persyaratan yang sukar dipenuhi, yaitu syarat Surat Tanda Daftar Budidaya. Tanpa itu tidak bisa, sementara surat ini tanggung jawab pemerintah. Ada peran pemerintah bagaimana untuk bisa menjalin kerja sama itu. Itu baru masalah dokumen, belum masalah modal dan manajemen. Artinya, perlu upaya bersama melawan tengkulak.
Sampai upaya bermitra dengan pabrik itu belum berhasil. Petani sawit masih harus menjual hasil panennya pada tengkulak. Padahal ada selisih harga yang lumayan besar. Jika setiap kilogram harga pabrik dan harga petani berbeda Rp 500 saja, maka tengkulak yang sebulan bisa menjual hingga 10 ton sawit, kehilangan potensi pendapatan Rp 5 juga perbulan.
Kecilnya dampak kenaikan harga CPO dunia ke petani sawit juga dibenarkan Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), yang mengatakan mayoritas petani sawit skala kecil, tergantung pada tengkulak. Akibatnya, meski saat ini harga sawit tinggi, tidak ada jaminan bahwa petani akan sejahtera. Selain masalah tengkulak ada sejumlah hal lain yang menentukan tingkat kesejahteraan petani sawit dalam jangka panjang.
Poin penting adalah aspek kemitraan. Kalau misalnya para petani kecil tadi bermitra dengan korporasi sawit, tentunya lost income yang 20-30 persen itu tidak akan terjadi.Untuk menutup selisih harga yang muncul, antara penetapan harga pemerintah dan kenyataan yang diterima petani, perbaikan perlu dilakukan di level pabrik. Kondisi yang harus diubah agar memberi keuntungan lebih ke petani.
Petani menjual ke tengkulak. Rantai suplainya terlalu panjang. Sistem ini memang perlu diubah agar ada kemitraan yang lebih baik. Di sini membutuhkan peran tiap perusahaan untuk melakukan pemberdayaan bagi petani sawit skala kecil di daerah.
Namun, ada sejumlah fakta lain, seperti mayoritas lahan petani kurang dari empat hektar dan produktivitasnya rendah. Selain itu, hanya sekitar 30 persen petani sawit kecil itu, yang memiliki lahan lain untuk tanaman pangan. Kondisi ini rentan, ketika harga sawit jatuh, petani tidak memiliki sumber pangan mandiri, yang menolong mereka.
Untuk menjamin kesejahteraan petani sawit, faktor luas lahan akan sangat menentukan. Selain itu, harga TBS tidak boleh ada di bawah Rp.1.200 perkilogram di tingkat petani. Petani sawit juga harus didorong untuk memiliki lahan pangan atau cross commodity dan memiliki maksimal dua anak.
Pada sisi lain, kemitraan yang adil antara petani dan korporasi harus dibentuk. Produktivitas sawit juga harus meningkat, hingga di atas 14 ton per hektar per tahun, jika lahan petani kurang dari 8 hektar.
Solusinya, mensinergikan petani dengan korporasi, baik BUMN maupun swasta. Langkah untuk terus mendorong pertumbuhan dan pemerataan kesempatan ekonomi sawit, serta mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Dalam skema baru ini, petani sawit skala kecil dimitrakan dengan korporasi terkait produksi biodisel. (***)
Discussion about this post