Oleh : Dr. Noviardi Ferzi (Pengamat)
PANGKAL masalahnya ada pada disparitas (perbedaan) harga yang besar antara harga solar bersubsidi Rp5.150 per liter dan nonsubsidi seperti dexlite yang berkisar Rp12.950-Rp13.550. Selisih harga yang tinggi ini melahirkan penyelewengan yang tak berujung. Mau memangkas selisih harga dengan menghapus subsidi resiko ekonomi dan politiknya terlalu besar. Akhirnya kita hanya berharap pada penindakan tegas terhadap pihak yang menyalahgunakan penggunaan BBM bersubsidi sebagai prioritas yang harus dilakukan.
Praktik penyalahgunaan dan penimbunan Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi masih kerap terjadi di masyarakat, terbaru, Polda Jambi (17/4/22) berhasil mengungkap perdagangan Bahan Bakar Minyak (BBM) diduga ilegal di kawasan Pelabuhan Talang Duku, Kecamatan Taman Rajo, Kabupaten Muaro Jambi.
Dalam penggerebekan tersebut, petugas menemukan 4 mobil tangki BBM Non Subsidi jenis Solar dari salah satu perusahaan sedang melakukan transfer minyak alias “kencing” ke kapal Tugboat.
Praktek seperti tentu saja merupakan tindak pidana yang sangat merugikan negara.
Modus yang digunakan para pelaku dalam usaha penyelewengan BBM bersubsidi yakni dengan cara membeli BBM dari Stasiun Bahan Bakar Umum setempat dengan harga subsidi. Para pelaku bergantian membeli BBM dengan menggunakan jerigen dan mengumpulkannya.
Saat BBM terkumpul dalam jumlah yang besar, pelaku lalu menjual BBM tersebut ke perusahaan yang beroperasi di daerah tersebut dengan harga non subsidi.
Jebolnya kuota BBM bersubsidi, terutama solar, harus diantisipasi melalui peningkatan pengawasan, termasuk sanksi terhadap penyalahgunaan solar. Apalagi ketentuan mereka yang berhak membeli BBM bersubsidi sudah jelas.
Penyalahgunaan solar bersubsidi disinyalir menjadi faktor utama jebolnya kuota solar bersubsidi yang tahun ini ditetapkan sebesar 14,09 juta kiloliter (KL) khusus untuk sektor ritel.
Pertamina memperkirakan hingga akhir 2022, konsumsi solar bersubsidi akan mencapai 16 juta KL. Proyeksi sementara BBM bersubsidi akan melewati kuota yang diproyeksikan di tengah tahun.
Untuk mengurangi penyalahgunaan penggunaan BBM bersubsidi, Pertamina sebenarnya sudah memasang sistem digitalisasi SPBU yang seharusnya bisa dimanfaatkan.Dari aplikasi digital ini bisa ketahuan truk atau mobil apapun jika dimodifikasi kelihatan sekali mengisi di SPBU. Semisal kalau ada truk isi 700 liter, pasti di ketahui.
Pengisian BBM pada kendaraan dengan tanki yang telat dimodifikasi dan penyalahgunaan JBT dengan modus menggunakan surat rekomendasi untuk dijual kembali juga masih jadi modus penyelewengan BBM subsidi.
Selain itu indikasi penyalahgunaan BBM subsidi dapat terbaca dari penjualan BBM melebihi batas maksimal pengisian yang telah ditetapkan BPH Migas pada Keputusan Kepala BPH Migas Nomor 4 Tahun 2020.
Selain itu, terdapat transaksi konsumen pengguna secara berulang dengan akumulasi lebih dari 200 liter per hari.
Selanjutnya, pencatatan data nomor kendaraan ke EDC yang tidak sesuai dengan aktual kendaraan dan masih terdapat pengisian jirigen tanpa surat rekomendasi. Bukan cuma itu, penyaluran Jenis BBM Tertentu (JBT) atau BBM bersubsidi ke warga yang seharusnya tak menerima BBM subsidi juga masih kerap terjadi.
Ke depan, pertamina harus mendorong masyarakat untuk mengawal dan mengawasi penyaluran distribusi BBM bersubsidi, serta melaporkan kepada aparat kepolisian apabila menemukan indikasi kecurangan. Karena jika masyarakat aktip dan aparat tegas penyelewengan ini bisa dikurangi. Tanpa itu masalahnya akan berlanjut, bahkan mungkin sepanjang usia. (***)
Discussion about this post