Oleh: Tuti Rosmalina, SH I, MA
(Sekretaris Perhimpunan Peduli Serumpun Jambi Foundation)
MENJELANG tahun 2024 yang katanya tahun politik dan tahun banyak kepentingan, kata prempuan sering di sebut- sebut dalam setiap kesempatan, dari jumlah keterwakilan perempuan di sebuah kepengurusan partai yang wajib 30%, jika tidak mencukupi maka partai tersebut gagal lolos verifikasi faktual. Bergeser dari kepentingan pembentukan dan pendaftaran partai politik kata prempuan juga di kawal tidak kalah penting nya dalam Bacaleg (bakal calon legislatif).
Di dunia lain dan kamar kamar kepentingan lain, ada dunia penyelenggara pemilu, baik BAWASLU maupun KPU yang juga membawa kata prempuan dengan begitu seksinya.
Keterwakilan prempuan menjadi primadona saat tahapan tahapan pendaftaran dan seleksi, Tapi bagaimana dengan tahapan eliminasi ?. Apakah kata yang menunjukkan pada isu keterwakilan jenis kelamin ini, masih seksi sekali untuk terus dibawa ke meja pertarungan ?? Dan JADI.
Rasa nya gaduh gaduh soal kata prempuan ini hanya pada tataran mencukupi saja, tidak pada tataran bagaimana prempuan ini bermakna bernilai dan JADi, Penulis fikir untuk saat ini jika kata prempuan itu di lihat dari kualitas pendidikan, pengetahuan dan daya tahan, Tidak kalah dengan identitas gender yang sering disebut dengan laki laki. Namun prempuan masih jauh kalah ketika JADI.
Dengan demikian penulis sedikit tergerak mengundang diskusi diskusi kedai kopi, kenapa prempuan cenderung susah jadi, baik di dunia partai politik, dunia penyelenggara atau bahkan dunia akademisi sekalipun, coba sama sama kita hitung baru berapa orang prof. Dr. prempuan di Indonesia yang mampu menduduki jabatan sekelas rektor. Jika bicara dunia pendidikan yang dewasa ini notabene lebih banyak dosen prempuan.
Bagaimana kata prempuan itu harus berjuang secara kesejajaran hak, finansial dan hal hal lainnya untuk mampu keluar jadi pemenang pada PILKADA, Bahkan Pilkades saja prempuan masih sulit dipercaya warga desa untuk menjadi KADES, Ada mungkin tapi jumlahnya tidak kalah sedikit dibanding yang mencoba berjuang menjadi kandidat, bahkan isu yang di bangun untuk menggagalkan kandidat prempuan itu sendiri tidak kalah hebatnya.
Kembali kepada dunia politik yang secara undang undang ramai ramai menyebut kata prempuan, misalnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik menyebutkan, pendirian parpol menyertakan 30 persen keterwakilan perempuan; dan kepengurusan partai tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota disusun dengan menyertakan paling rendah 30 persen keterwakilan perempuan (Pasal 2 Ayat [2] dan [5], dan Pasal 20). Lalu ada yang lebih spesifik lagi
Mengenai penyusunan bakal calon prempuan di bacaleg Undang-Undang Pemilu (UU No 12/2003 dan UU No 10 Tahun 2008, UU No 7/2017 dan UU No 10/2016 tentang Pilkada) selalu muncul frasa 30 persen keterwakilan perempuan. Bahkan dalam Pasal 55 Ayat (2) UU No 10/2008 menerapkan zipper system, yakni dari tiga kursi di suatu daerah pemilihan (dapil) satu kursi harus diisi oleh caleg perempuan.
Secara penyesunan bakal calon legislatif sudah tentu di penuhi oleh partai politik dengan semua ketentuan undang undang tersebut, tapi yang jadi pertanyaan bagaimana partai politik ini berkomitmen menJADI kan prempuan sebagai bakal calon JADi, bukan hanya untuk sekedar memenuhi syarat dan kuota, dan yang lebih tragis banyak kandidat prempuan yang hanya dijadikan daya tarik partai. Jika di lihat di baliho banyak yang segar dan cantik saja. Tidak untuk menJADI dan mewakili jenis kelamin nya di Senayan, DPRD kabupaten maupun DPRD Provinsi.
Miris memang ! Hal ini jika dikaitkan dengan permasalahan internal prempuan itu sendiri memang banyak, seperti kata Murniati (2004:118) perempuan kurang menyadari bahwa dirinya adalah seorang pribadi yang memiliki hak-hak asasi manusia yang sama. prempuan memiliki batasan yang sangat banyak salah satunya keterbatasan finansial yang lebih dikuasai oleh laki-laki, sebut lah suami dalam rumah tangga, Akses dan lain sebagia nya.
Di dunia penyelenggara Pemilu juga tidak kalah menariknya, pengumuman pendaftaran calon bisa diundur jika keterwakilan prempuan dalam pendaftaran masih kurang dari 30% namun bagaimana dengan proses menJADIkan. Bagaimana dengan proses mengawal nilai dan wawasan, integritas yang katanya kandidat prempuan dalam penyelenggara sangat di perhitungkan, tidak kah banyak kasus yang juga meninggalkan prempuan itu.
Pada akhirnya penulis hanya ingin menyampaikan pada kita yang disebut dengan Prempuan, kita terus berjuang menyama rata kan akses. Kesempatan dan hak hak asasi kita sebagai prempuan, kita mampu dan berdaya, apalagi saat ini rasanya tidak ada lagi prempuan yang kalah dari laki laki jika bertanding secara intelektual, pengetahuan dan mungkin juga akses, tetapi kita masih tertinggal pada tahap lobi lobi, ego sentris kepentingan dan isu jenis kelamin yang selalu mengatakan prempuan berfikir dan bertindak pakai hati.
Sementara laki laki berfikir dan bertindak pakai logika, saat ini kita sudah tidak menyepakati nya secara tertulis. Namun secara alam fikir kita masih mengamininya, sehingga prempuan masih saja menjadi subordinat dari laki laki dan di anggap lemah, tidak mampu berbuat dan tidak bisa menyelesaikan konflik kepentingan.
Mari setidaknya kita mulai memerdekakan diri dari alam fikiran kita bahwa kita PREMPUAN berhak JADI dan mewakili bukan sekedar terwakili. Allahuaklam bii sawab. (***)
Discussion about this post