Oleh : Dr. Noviardi Ferzi (Direktur LKPR Research And Consulting)
KUATNYA peran oligarki adalah tanda pemerintahan suatu negara gagal dalam mengelola demokrasi. Ketika demokrasi gagal dikelola, sudah bisa dipastikan yang dirugikan itu rakyat sendiri, karena mereka menanggung beban dari kegagalan pemerintah dalam mengelola demokrasi.
Jika postulat ini betul, maka sesungguhnya demokrasi ini telah gagal, minimal di ambang jurang kegagalan. Masalah utama demokrasi Indonesia yang utama adalah biaya politiknya yang sangat mahal.Menyebabkan banyak orang yang berkompeten tidak dapat mengikuti pemilu, baik di tingkat legislatif maupun eksekutif.
Oligarki adalah bentuk pemerintahan yang dipimpin olehbeberapa orang, namun untuk kepentingan beberapa orang tersebut (bentuk negatif). Hampir senada dengan itu, menurut Aristoteles, oligarki adalah bentuk pemerintahan yang dipegang oleh sekelompok orang demi kepentingan kelompoknya.
Hal ini tentu menjadi permasalahan bersama dari waktu ke waktu setiap kali pemilu dijalankan. Pada akhirnya rakyat hanya dijadikan alat untuk mengejar kepentingan oligarki semata dengan politik transaksional.
Padahal semestinya Demokrasi mampu menjadi sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dalam konteks ini, demokrasi tanpa rakyat (demos) tentu merupakan anomali, atau bahkan kontradiktif yang kita tahu bahwa seharusnya kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat bukan malah berbalik kepada para pejabat ataupun oligarki politik.
Praktik oligarki disinyalir semakin menguasai sistem politik Indonesia. Pemilihan kepala daerah (Pilkada) sudah menjadi postulat, asumsi yang telah berkali-kali terbukti kebenarannya. Hari ini pilkada menjadi ladang kontestasi potensial bagi praktik penghamba kalangan elite politik ini.
Hal ini sejalan dengan Rilis indeks demokrasi yang dikeluarkan oleh The Economic Intelligence Unit (EIU) tahun 2020 lalu, menyebut Indonesia mengalami kemerosotan indeks demokrasi dengan memperoleh nilai 6,3 dan menempati peringkat 64 di dunia sehingga dikategorikan sebagai demokrasi cacat (flawed democracy).
Rilis indeks tersebut juga memaparkan nilai dari instrumen kebebasan sipil. Dalam instrumen tersebut, Indonesia memperoleh nilai 5,59. Untuk itu dapat dibayangkan bahwa demokrasi di Indonesia akan terus mengalami kemunduran jika tidak adanya peran actor civil society sebagai penyeimbang negara dan pasar.
Ancaman oligarki dalam Pilkada, tentunya membuat pasangan pemimpin daerah yang terpilih akan menjadi tangan kanan kelompok elite politik untuk mengambil sebuah keuntungan. Hal tersebut akan mencederai hak asasi manusia warga negara dan berdampak pada terabaikannya hak-hak dasar yang semestinya diperoleh oleh masyarakat. Sebagai contoh, buruknya pelayanan kesehatan, tidak meratanya akses pendidikan, banyaknya konflik pertahanan merupakan cermin pelayanan publik cukup suram.
Kaum elite politik berlomba-lomba mengucurkan dananya untuk mendanai pasangan potensial yang memiliki kesempatan besar untuk memimpin sebuah daerah. Tujuannya tak lain adalah untuk memperkuat serta menyelamatkan posisi politik mereka untuk menambah pundi-pundi kekayaan.
Belum lagi kondisi demokrasi di Indonesia sendiri yang sedang menghadapi tantangan kondisi pandemi yang berdampak hingga saat ini. Di sisi lain, jika proses politik tersebut didominasi kaum elite yang ingin mempertahankan kekayaannya dengan kekuasaan, yang terjadi adalah timbulnya pelanggaran hak asasi manusia.
Kondisi tersebut akan menjadi satu keprihatinan kita bersama. Hak asasi manusia akan sangat terancam apabila praktik oligarki semakin berkembang. Proses politik di masa depan terlebih pilkada serentak ini tidak boleh mengesampingkan prinsip dan nilai hak asasi manusia, hak hidup, hak ekonomi untuk sejahtera.
Kepala daerah yang seharusnya menjadi ujung tombak pemenuhan hak asasi manusia harus mampu melindungi hak asasi rakyatnya. Sehingga penting bagi pemilih untuk benar-benar menggunakan hak pilihnya secara tepat. Hasil proses politik tersebut akan berdampak sangat besar bagi masyarakat, khususnya dalam pemenuhan hak asasi manusia.
Jika secara teori kebijakan publik itu dibentuk untuk menciptakan kesejahteraan rakyat yang sebesar-besarnya, prakteknya hanya menumpukkan kesejahteraan pada mereka di lingkaran kekuasaan dan modal.
Pada akhirnya, mungkin dapat dipahami,kuatnya pengaruh politik oligarki di Indonesia adalah konsekuensi dari terjadinya politik berbiaya tinggi, yang mana para politisi yang ingin berlaga di Pemilu membutuhkan sokongan dana besar dari para oligark.
Kemudian, kemampuan para oligark yang dapat mempengaruhi jalannya sistem politik ini berakar dari kapabilitas uang yang dapat menjadi alat tukar nilai-nilai personal.
Dalam hal ini kita teringat akan kata W.S Rendra bahwa Politik adalah cara merampok dunia. Politik adalah cara menggulingkan kekuasaan, untuk menikmati giliran berkuasa. Naudzubillah, untuk itu Lawan Oligarki. (***)
Discussion about this post