Jambiday.com, JAMBI – Baru-baru ini Satreskrim Polresta Jambi, menangkap kelompok geng motor sebanyak sepuluh orang. Dan tujuh diantaranya ada pelajar serta anak putus sekolah.
Para pelaku yang saat ini sudah ditetapkan jadi tersangka oleh Polresta Jambi diantaranya pria dewasa, Luis 21 tahun, warga Kelurahan Legok, Kecamatan Danau Sipin, Kota Jambi. Dan Muhammad Derry 18 tahun, warga Kelurahan Lebak Bandung, Kecamatan Jelutung, Kota Jambi dan pelajar yaitu inisial PI, TA, LP dan EY, HS, FP dan MP dan AB warga Kota Jambi yang saat ini terus diperiksa intensif oleh Polresta Jambi.
Atas penangkapan pelaku begal di bawah umur, Irwan Hadi Syamsu, Fasilitator Forum Anak Provinsi Jambi angkat bicara. Menurutnya, 10 orang pelaku begal yang ternyata 7 orang diantaranya berusia di bawah 18 Tahun, ada beberapa hal yang perlu di pertimbangkan dalam pengambilan keputusan. Mengenai tindak lanjut dari perbuatan para pelaku.
“Yang pertama adalah prinsip peradilan anak yang tertuang dalam UU No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak,” ujarnya, Rabu (26/10/2021).
Irwan menyebutkan, penyelesaian kasus pada Anak Berkonflik Hukum (ABH) harus berprinsip non diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak, dan menghargai partisipasi anak.
“Meskipun kasus yang bersangkutan bukan delik aduan namun akan lebih baik penyelesaian kasusnya dilaksanakan di luar proses peradilan (Bahasa hukumnya “Diversi”),”jelasnya lagi.
Terkait penangkapan anak di bawah umur dalam kasus kelompok geng motor sampai membegal korban harus mengkaji sebab-akibat dari kasus tersebut. Dan jika polisi mengatakan bahwa rata-rata mereka berasal dari keluarga tidak utuh alias Broken Home, berarti memang mereka perlu pembinaan lebih lanjut. Serta ada mekanisme yang harus dipatuhi dalam penanganan kasus tersebut.
“Jangan sampai nanti konsekuensi hukum yang menimpa mereka malah menjatuhkan psikologinya. Sehingga dia akan mengulangi perbuatannya, bahkan bisa saja lebih beringas,”terangnya.
Irwan menyebutkan faktor-faktor kelakuan anak semakin bebas karena pergaulan bebas. Serta adanya Pembelajaran Jarak Jauh cukup menyadarkan bahwa orang tua atau keluarga adalah sekolah yang paling signifikan pengaruhnya, terutama dalam pembentukan karakter anak.
“Selama ini, orang tua menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab mendidik anak kepada sekolah. Sehingga ketika pembelajaran tatap muka dihentikan karena persoalan pandemi covid-19,” tambahnya.
Irwan mengatakan, anak secara otomatis berhenti belajar karena keluarga tidak mampu menjadi sekolah dan memenuhi ekspekstasi pendidikan untuk menghasilkan peserta didik cerdas dan berakhlak. Serta dalam persoalan selayaknya saling berintegrasi, orang tua sebagai pengendalian preventif (pencegahan) harus berkoordinasi dengan pemerintah.
“Termasuk aparat kepolisian- sebagai pengendalian represif (penindakan) dan Jika sudah begitu, diharapkan tingkat Anak Berkonflik Hukum dapat semakin ditekan. Serta pemenuhan hak dan perlindungan anak dapat ditegakkan,” pungkasnya. (NST)
Discussion about this post