Oleh : Dr. Noviardi Ferzi (Pengamat)
REALITAS politik Indonesia hari ini menepikan peranan ideologi sebagai akar kehidupan yang menopangnya. Tanpa akar sesuatu yang tumbuh hanya benalu, merusak kehidupan lain. Benalu hanya menampilkan kerakusan, gambaran elit menggenggam kekuasaan.
Ideologi dalam politik itu mirip kompas moral yg menjadi petunjuk arah ke mana urusan publik mau dibawa menurut prinsip-prinsip moral tertentu.
Berdasarkan prinsip ini ada tiga pengertian politik: pertama, politik adalah pelembagaan nilai-nilai; kedua, politik adalah pembuatan kebijakan, dan; ketiga, politik adalah perebutan kekuasaan. Secara konsep ketiganya bisa dipisahkan, tapi dalam praktek saling berkelindan.
Secara utuh konstruk politik mengandung etika, norma, ideologi, kebijakan publik, managemen, nilai budaya, filsafat bangsa, solidaritas hidup bersama, dan sebagainya. Esensi politik itu masih kabur dalam pikiran maupun perilaku politik politisi di republik ini.
Dalam perspektif awam politik diidentikkan akan kekuasaan-transaksional-harian dan jangka pendek. Padahal politik tak bermakna sempit, tapi politik juga bermakna luas. Politik tak saja berbicara suksesi kekuasaan, apalagi bagi-bagi jabatan. Politik tak sekadar menjatuhkan lawan, intrik dan konflik destruktif. Dan politik, tak saja mementingkan, pribadi, golongan, dan Parpol.
Muara dari kemiskinan ideologi ini para politisi memproduksi dan mengkonstruksi wacana politik dengan kedangkalan berpikir politik yang mereka pahami. Sedihnya kadang mereka tidak begitu tujuan berpolitik secara etik, kecuali naluri menjadikan politik sebagai alat untuk berkuasa.
Rakyat didoktrin dan diajarkan gombalan serta pendidikan politik, manipulasi, rekayasa, racun, rekaan, dan bahkan kecongkakan politik melalui debat publik, pidato, retorika, monolog, maupun diskusi politisi di media massa.
Kedangkalan pikiran politik pun disampaikan melalui gaya komunikasi politik yang tidak mencerminkan mereka sebagai politisi sejatinya yang memegang teguh etika dan norma serta filsafat politik.
Di depan publik, mereka tampil bak figur yang benar-benar mengerti makna politik. Padahal, dengan kecongkakan dan kesesatan pemikiran politik, mereka justru merubah dan atau menggeser esensi politik dari makna sebenarnya.
Kepentingan rakyat dan kebaikan bersama (bonum commune), selalu menjadi tema utama orasi elit politik. Namun dalam priksis hidup politik, seringkali disalahgunakan para elit politik sehingga tujuan politik menjadi tidak jelas. Akibatnya politik tidak lagi dirancang untuk melahirkan kebaikan bersama, tetapi menjadi batu loncatan untuk mencapai kepentingan pribadi atau kelompok.
Pada titik inilah, esensi politik menjadi distorsi. Meningkatnya intensitas korupsi sejumlah elit politik dan absennya mereka berada di tengah rakyat pada musim reses, menunjukkan politik mudah dibelokkan untuk memenuhi naluri pragmatisme elit sekaligus menelantarkan kepentingan rakyat.
Hari ini politisi yang memainkan politik gagasan pasti akan dikalahkan atau mungkin ditertawakan. Padahal politik gagasan bukan sekadar instalasi kemewahan dalam demokrasi. Berdirinya Republik Indonesia diawali melalui politik gagasan yang dibawa oleh para founding fathers, baik Soekarno, Tan Malaka, maupun Sutan Syahrir.
Partai politik modern termasuk politisinya harus menampilkan gagasan secara komprehensif. Memiliki analisis praktikal tentang gagasan tentang model gagasan yang bakal diterima masyarakat.
Seorang aktivis politik perlu menginventarisasi gagasan-gagasan apa saja yang dibutuhkan konstituen, bagaimana mengemas gagasan itu dalam rumusan yang lebih konkret melalui kebijakan publik. Gagasan dari segi pendidikan, ekonomi, pemberdayaan dan kesetaraan. Jika tidak, jangan salah politik hanya dipandang sebagai mata pencarian, dengan kuasa sebagai pembenaran, maupun kadar elektoral sebagai navigasinya. (***)
Discussion about this post