MOMEN Bersejarah bagi Diplomasi Indonesia
Pada 23 September 2025, Presiden Prabowo Subianto dijadwalkan berpidato pada High-Level General Debate Sidang Umum PBB ke-80 di New York.
Momentum ini bukan sekadar agenda tahunan kepala negara, melainkan panggung diplomasi global yang harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. Dengan populasi lebih dari 270 juta jiwa dan posisi strategis di Asia Tenggara, Indonesia memiliki bobot politik, ekonomi, dan kultural yang tidak kecil di mata dunia.
Panggung Sidang Umum PBB menjadi ruang di mana pemimpin negara bisa menyuarakan aspirasi kolektif bangsanya sekaligus menawarkan gagasan universal.
Sejarah mencatat, pidato-pidato di forum ini sering kali menentukan arah percakapan global tentang perdamaian, hak asasi manusia, pembangunan, hingga tata kelola dunia.
Oleh karena itu, pidato Prabowo nanti di UNGA ke-80 harus dipandang sebagai kesempatan emas untuk menegaskan posisi Indonesia di tengah dinamika internasional yang kian kompleks.
Apa Itu UNGA dan Mengapa Penting?
Majelis Umum PBB (United Nations General Assembly/UNGA) adalah organ deliberatif utama PBB, di mana semua 193 negara anggota memiliki kedudukan setara: satu negara, satu suara.^1 Fungsi utamanya adalah merumuskan rekomendasi, menetapkan agenda internasional, serta memberikan legitimasi moral dan politik atas isu-isu global.
Meski resolusi UNGA tidak bersifat mengikat seperti Dewan Keamanan, forum ini justru menjadi simbol demokrasi internasional. Di sinilah negara-negara kecil bisa bersuara setara dengan negara adidaya; di sinilah konsensus moral internasional dibangun.^2
Bagi Indonesia, UNGA adalah panggung untuk menegaskan identitas politik luar negeri: bebas aktif, anti-kolonialisme, serta solidaritas dunia ketiga.
Kilas Balik: Soekarno dan Pidato “To Build The World Anew”
Sejarah diplomasi Indonesia di PBB tidak bisa dilepaskan dari pidato Presiden Soekarno pada Sidang Umum ke-15, tanggal 30 September 1960. Pidato berjudul “To Build The World Anew” (Membangun Dunia Kembali) bukan hanya retorika biasa, melainkan tawaran ideologis kepada dunia: menjadikan Pancasila sebagai dasar perdamaian internasional.
Soekarno menyerukan anti-kolonialisme dan anti-imperialisme, sekaligus mengajak bangsa-bangsa dunia membangun solidaritas untuk menciptakan tatanan global yang lebih adil.^3
Dari pidato itu pula, gagasan Gerakan Non-Blok mendapatkan momentum. UNESCO kemudian mengakui pidato tersebut sebagai bagian dari Memory of the World, menegaskan arti pentingnya bagi sejarah diplomasi global.^4
Dari sini kita belajar: pidato di UNGA bisa menjadi warisan sejarah, bukan sekadar catatan protokoler.
Apa yang Harus Disampaikan Prabowo?
Pertanyaan utama: apa pesan yang harus dibawa Prabowo ke podium Sidang Umum PBB? Setidaknya ada enam hal pokok yang bisa dirumuskan:
Pertama, Menegaskan Posisi Ideologis Indonesia. Indonesia harus menegaskan kembali politik luar negeri “bebas dan aktif” serta warisan Non-Blok. Penting untuk menunjukkan konsistensi Indonesia sebagai negara yang berdaulat, tidak tunduk pada blok tertentu, tetapi tetap proaktif dalam perdamaian dunia.
Kedua, Solidaritas dan Perdamaian Antarbangsa. Indonesia bisa menegaskan dirinya sebagai peace builder. Rekam jejak sebagai mediator di berbagai konflik regional (Aceh, Mindanao, Myanmar) memberi legitimasi moral. Prabowo dapat menawarkan Indonesia sebagai tuan rumah dialog lintas pihak, sekaligus mengajak negara lain memperkuat diplomasi preventif.
Ketiga, Solidaritas untuk Gaza–Palestina. Isu Palestina selalu menjadi batu ujian konsistensi moral komunitas internasional. Indonesia, sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar, harus lantang menyuarakan solidaritas untuk Gaza.
Pidato Prabowo bisa menegaskan: perlindungan warga sipil, akses bantuan kemanusiaan, serta solusi dua negara sesuai hukum internasional.^5
Keempat, Reformasi PBB agar Lebih Setara. Prabowo perlu menggemakan tuntutan reformasi PBB, khususnya Dewan Keamanan yang selama ini didominasi lima negara pemegang veto. Dunia telah berubah, dan tata kelola global abad ke-21 tidak boleh hanya dikendalikan segelintir negara.^6 Seruan ini konsisten dengan suara Global South yang menghendaki tata dunia lebih demokratis.
Kelima, Penegakan Hukum Internasional Tanpa Standar Ganda. Indonesia harus menolak praktik standar ganda: ketika hukum internasional ditegakkan keras terhadap pihak tertentu, namun diabaikan ketika pelanggar adalah negara besar atau sekutu strategis.
Prabowo dapat menegaskan bahwa keadilan internasional hanya mungkin jika hukum berlaku konsisten, entah dalam isu agresi, okupasi, atau pelanggaran HAM berat.
Keenam, selain kelima poin diatas, hal lain yang tidak kalah penting untuk dibahas adalah Ketahanan pangan dan energi: menghadapi krisis akibat perang maupun perubahan iklim. Keamanan siber dan tata kelola AI: membangun norma internasional agar teknologi tidak menjadi alat dominasi. Serta Kesehatan global: pembelajaran dari pandemi Covid-19 harus diwujudkan dalam arsitektur kesehatan internasional yang lebih adil.^7
Mengangkat isu-isu ini akan membuat pidato Prabowo tidak hanya ideologis, tetapi juga praktis dan relevan dengan kebutuhan dunia.
Pentingnya Retorika: Jangan Datar, Harus Menggelegar
Substansi pesan penting, tetapi public speaking atau cara menyampaikan sama pentingnya. Bung Karno di 1960 meninggalkan kesan karena retorikanya lantang, penuh metafora, dan mengajak audiens merasakan urgensi perubahan.
Prabowo harus menghindari gaya pidato datar dan birokratis. Suaranya harus berwibawa, dengan intonasi naik-turun yang tepat, jeda strategis untuk menekankan pesan, dan kalimat singkat yang mudah diingat.
Belajar dari fenomena viral seperti pelajar Nepal, Abiskar Raut, yang mampu membakar semangat audiens hanya dengan energi vokal dan keyakinan, Prabowo bisa memadukan wibawa presiden dengan gairah moral seorang pejuang.
Menjaga Kontinuitas Sejarah Diplomasi Indonesia
Jika Soekarno dikenal dengan “To Build The World Anew”, Prabowo bisa meninggalkan jejak dengan “To Reform the World Together” atau “Membangun Dunia yang Setara”. Dengan begitu, ia tidak hanya berbicara sebagai Presiden Indonesia, tetapi juga sebagai suara Global South.
Pidato ini bisa menjadi tonggak baru diplomasi Indonesia, menegaskan kontinuitas sejarah dari Bung Karno, melalui era pasca-Reformasi, hingga kini di bawah kepemimpinan Prabowo.
Penutup
Pidato Prabowo di Sidang Umum PBB ke-80 bukan hanya soal diplomasi luar negeri, tetapi juga cermin siapa Indonesia di mata dunia. Apakah kita hanya menjadi follower dari kekuatan besar, ataukah kita berani menjadi agenda setter yang menawarkan ide-ide besar bagi perdamaian dan keadilan global?
Sejarah memberi kita teladan melalui Bung Karno. Kini saatnya Prabowo menulis bab baru: membawa suara Indonesia yang bebas aktif, berpihak pada kemanusiaan, dan menuntut dunia yang lebih setara.
Jika pidato ini dirancang dengan gagasan kuat dan disampaikan dengan retorika yang menggugah, ia akan dikenang sebagai warisan diplomasi Indonesia di abad ke-21. (***)
Catatan Kaki
[1] Piagam PBB, Bab IV, Pasal 9–22 tentang Majelis Umum.
[2] Ian Hurd, International Organizations: Politics, Law, Practice, Cambridge University Press, Cambridge, 2020, halaman 92.
[3] Bung Karno, “To Build the World Anew”, Pidato di Sidang Umum PBB ke-15, 30 September 1960.
[4] UNESCO, Memory of the World Register: Soekarno’s Speech “To Build The World Anew”, Paris, 2015.
[5] Resolusi Majelis Umum PBB No. 181 (II), 1947; Resolusi Dewan Keamanan No. 242 (1967) dan 338 (1973).
[6] General Assembly, Intergovernmental Negotiations on Security Council Reform (IGN), United Nations, New York, 2023.
[7] World Health Organization (WHO), Pandemic Preparedness and Response Report, Geneva, 2022.
Discussion about this post