Oleh : Dr. Noviardi Ferzi (Seorang aktivis )
” Buat apa wilayah seluas Sabang sampai Merauke, jika pemudanya kehilangan idealisme ? – Najwa Shihab “
PERGERAKAN selalu mengetarkan jiwa, mengusik rasa keadilan dan kesetaraan. Pergerakan itu getaran yang melahirkan harmoni, irama keberanian untuk menyuarakan berbagai ketimpangan, keserakahan bahkan keegoisan dunia akan kuasa dan sumber daya. Maka, sebagai manusia, saya percaya aktivis adalah pekerjaan seumur hidup, karena hidup penting untuk bersuara, Resonansi.
Resonansi merupakan suatu getaran benda yang diakibatkan oleh getaran atau bunyi dari benda yang lain. Resonansi sering dijumpai pada ilmu Fisika, ketika sedang mempelajari tentang bunyi.
Dalam dunia aktivis, resonansi adalah daya kritis dan nalar untuk bersuara ketika ketidakadilan dan kemanusian terjadi. Aktivis merupakan kelompok elit rakyat yang resah pada gejala sosial dan lingkungan. Tanpa resonansi aktivis bukan apa – apa dan dunia pergerakan akan hilang makna.
Tulisan ini ingin mengulas anomali resonansi pergerakan sosial di Indonesia akhir – akhir ini. Saat di mana pergerakan aktivis tak lagi mampu bersuara ?
Istilah resonansi satu diksi yang sarat makna demi menguatkan semangat dari sebuah pergerakan sosial.
Mahasiswa adalah salah satu unsur masyarakat yang memiliki bargaining position bagi suatu perubahan di negeri ini. Hal itu disebabkan kalangan mahasiswa tidak hanya memosisikan diri sebagai penghuni bangku kuliah yang pasif, tapi dalam kesehariannya selalu memfungsikan daya monitoring-nya terhadap perkembangan yang ada, terutama yang berkenaan dengan kebijakan pemerintah.
Memasuki tahun 2014 saat Pilpres, dan puncaknya tahun 2018, saat Pilkada DKI, Indonesia seperti sedang memasuki lubang buaya setelah berhasil menghindar dari amukan harimau. Kala itu, lahir polarisasi politik berlandaskan SARA yang kuat. Polarisasi ini disikapi masyarakat secara terbelah. Termasuk para aktivis dan mahasiswa.
Hari ini saat harga pangan mengalami kenaikan, buruh banyak yang di-PHK, SDA yang tergerus dan nasionalisme dipertaruhkan. Resonansi pergerakan nyaris tak terdengar. Kelompok gerakan terlelap dalam kehampaan ide dan diskusi. Kondisi yang sejalan akan resistensi rezim pada demonstrasi terhadap pemerintahan.
Menilik kebelakang, ada kecendrungan, Pasca-Reformasi 1998, organisasi dan aktivis mahasiswa seperti kehilangan ruh gerakan. Mereka lebih banyak terlibat dalam struktur kekuasaan, baik di partai politik, pemerintahan, dan parlemen.
Nilai-nilai perjuangan pun bergeser, dari memperjuangkan isu-isu kerakyatan amanat reformasi menjadi isu-isu yang menjurus kepentingan diri atau kelompok. Bisa dikatakan, kalangan mahasiswa tidak lagi memiliki musuh bersama. Memberantas KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) pun sudah tidak menjadi agenda yang menarik bagi mahasiswa.
Tidak jarang kita melihat gerakan-gerakan mahasiswa sekarang dilakukan karena tren semata sehingga banyak aktivis-aktivis yang tidak memahami isu yang akan mereka usung. Berbeda dengan era 1990-an, gerakan mahasiswa selalu dikonstruksi berdasarkan ideologi yang jelas bahwa mahasiswa adalah agen perubahan sosial yang tidak bisa ditawar-tawar.
Oleh karena itu, bila ada potensi kebijakan pemerintah yang tidak memihak rakyat, mencederai prinsip demokrasi dan tak sesuai aturan, mahasiswa yang mempunyai daya kritis yang cukup tajam, secara spontan melakukan kritisme secara cermat dan benar.
Hal itu dilakukan tidak hanya melibatkan suatu elemen gerakan saja, tetapi melibatkan berbagai organ yang ada. Mereka sadar bahwa hanya dengan penyatuan ideologilah suatu gerakan bisa dilakukan secara masif.
Namun hari ini seolah tak terjadi, kaum pergerakan hilang resonansi. Malas bersuara sekedar membawa toa di jalanan. Kini, telah muncul para elit pergerakan yang tunduk pada kuasa. Bercanda dan berselfi di cafe – cafe yang megah.
Sejujurnya, fase ini adalah gulita dunia pergerakan, saat malam akan semangkin kelam, jelang fajar menyingsing. Namun selalu ada harapan bagi kaum yang berjuang. Panjang Oemoer Perjoengan. !
Discussion about this post