MENELAAH dan menyikapi situsasi ibu pertiwi terakhir ini, ada satu hal yang menggelitik di benak banyak orang dan elemen bangsa. Bayangkan bagaimana setiap kali konflik sosial meletus-entah demo brutal, bentrokan jalanan, atau kerusuhan massal- narasi yang kerap menyertai adalah “Rakyat bertindak anarkis, mereka gaduh tanpa sebab, masyarakat hilang akal” dan lain-lain. Nampaknya, sering kali dalam refleksi publik dan media arus utama, wacana yang dipatenkan adalah simplifikasi yang menyalahkan rakyat. Walaupun, pertanyaan kuncinya “Kenapa rakyat selalu menjadi kambing hitam dan dipersalahkan?”
Rakyat lebih mudah dijerat narasinya
Secara sederhana, memang rakyat sangat lebih mudah terjerat narasi. Prasa “Rakyat”-subjek generik yang mencakup massa tanpa sosio-politik terkenal-mudah dijadikan villain karena tidak memiliki “suara resmi.” Karena mereka bukan pejabat, bukan elit, bukan Lembaga-mereka anonim, potret biasa. Jika kita perhatikan secara jeli, dalam alur cerita media yang menguasai framing adalah tone dan angle headline tajam, foto aksi ricuh, klip detik-detik tembakan gas air mata. Narasi moralitas hanya muncul setelah kerusuhan. Dan sangat sedikit sekali upaya memetakan akar punca ketidakpuasan itu muncul dan mencuat kepermukaan di ranah publik.
Ketidakpuasan dan akar punca yang tak tersentuh
Skenario sepanjang dekade terakhir, mungkin kita sepakat bahwa banyak demonstrasi murni lahir bukan karena “ingin bikin rusuh,” melainkan lantaran ketidakadilan, kesenjangan ekonomi yang menekan, sistem pendidikan amburadul, kesenjangan mencemburukan, dan pengabaian elit terhadap kebutuhan rakyat biasa. Tapi saat protes digolongkan sebagai “rusuh,” fokus beralih ke “perusak,” bukan penyebab utama seperti pengangguran tinggi, harga kebutuhan pokok melambung, ataupun kebijakan yang tak berpihak kepada rakyat. Padahal rakyat memilih turun ke jalan karena merasakan termarginalkan, tidak ada lagi ruang dialog antara mereka dan elit bangsa soal kondisi rakyat.
Politik difragmentasi: memecah dan menguasai
Ironi yang juga kita lihat dilapangan adalah dimana ada oknum kalangan berkuasa kerap menempuh jalan dan strategi “membuat mereka sendiri menjadi tersangka”. Alih-alih menyerap aspirasi. Sehingg kekuasaan kadang-kadang dilihat lebih senang mengisolasi gerakan dan menggambarkannya menjadi threat keamanan. Seperti dengan menyudutkan “rakyat” sebagai penjahat massa, otoritas melakukan fragmentasi-agar masyarakat lebih mudah dikendalikan. Media pun sebagai corong pemerintah turut memperkuat label itu, protes tergusur jadi “kerusuhan,” tuntutan jadi “anarki”, penyampaian aspirasi beralih “konfrontasi dan melawan” petugas dan pihak berkuasa. Seolah-olah kita tidak pernah tersentuh oleh bagaimana tauladan dari akhlak Baginda Nabi saw menjadi solusi sebagai jawaban kepada krisis empati zaman yang penuh polarisasi masyarakat ini.
Consumerism media dan dramatisasi konflik
Dan tidak dinafikan pula media modern-terutama media digital-beroperasi dalam algoritma click-driven. Narasi dramatisasi konflik lebih mengundang perhatian daripada refleksi struktural. “Rusuh!”, “Bentrok!”, “Kerusuhan berdarah!”-headline seperti ini laris manis. Padahal, sejak awal dinamika kerusuhan bisa jadi lebih halus, seperti ujaran kebencian penumpah aspirasi, lemahnya dialog, atau krisis kepercayaan. Namun narasi perusakan lebih lugas, lebih laku, lebih cepat didramatisasi. Sehingga dalam benak publik, “rakyat” dicap jahat, anarkis dan lain sebagainya.
Ritual penebusan moral publik
Percaya atau tidak kita selalu menyaksikan saat riuh mereda, muncul pula “ritual moral publik.” Rakyat digambarkan sebagai “tertipu agitator,” sebagai “aktor jahat,” atau “manusia-manusia yang tidak bermoral.” Media menampilkan korban, kerusakan, lalu wacana moralitas dan hukum sebagai solusi-yang justru menutup pintu diskusi akar masalah. Seolah cukup dengan menangkap beberapa perusuh atau membongkar spanduk-semua persoalan selesai. Padahal justru di sinilah masalah struktural seperti kemiskinan, ketimpangan, dan pemerintahan yang tak responsif seolah dimaafkan karena “rusuh sudah selesai.”
Saatnya Kembangkan Perspektif: Mengapa Kita Harus Berhenti Menyalahkan “Rakyat”?
Rakyat sebagai korban sistem, bukan pelakunya
Masyarakat dan rakyat pastinya tidak turun ke jalan demi sensasi. Mereka marah karena terhimpit ekonomi, putus asa karena sulit bertahan hidup, dan sering tak punya opsi dialog. Pemerintah seharusnya melihat unjuk rasa sebagai gejala, bukan penyakit. Dengan mendengar niat dan keluhan rakyat, dialog seharusnya menjadi langkah awal, bukan instan merujuk pasukan keamanan.
Coba kita bayangkan ketika mereka mendatangi instansi seperti dewan yang mulia kantor DPR dan pemerintahan menyampaikan aspirasi dan tuntutan ternyata kosong bangunannya kosong dan tidak berani menyambut mereka dengan berlapang dada, mendengarkan pendapat dan suara rakyat yang mereka sampaikan. Tentu mereka kecewa sekali lagi.
Media perlu bertanggung jawab terhadap framing
Tiba masanya kita media sebaiknya mendahului menyampaikan latar dan konteks, “apa yang dibumiaskan rakyat?”, “bagaimana kebijakan atau pengabaian meruncingkan ketidakpuasan?” Nada obyektif dan empatik, alih-alih sensational. Jurnalisme konstruktif bisa menjadi katalis-bukan pendeskriminasi massa.
Membangun ruang dialog publik yang sehat
Alih-alih polisi dan barikade, mestinya dibangun forum nasional, di tingkat lokal pusat kota, di kampung, hingga level digital-ruang bertemu antara publik dan pembuat kebijakan. Bila suara rakyat dipermudah aksesnya, protes bisa berubah jadi masukan membangun. Coba kita bayangkan ketika mereka mendatangi instansi seperti dewan yang mulia kantor DPR dan pemerintahan menyampaikan aspirasi dan tuntutan ternyata kosong bangunannya kosong dan tidak berani menyambut mereka dengan berlapang dada, mendengarkan pendapat dan suara rakyat yang mereka sampaikan. Tentu mereka kecewa sekali lagi?.
Mengubah sudut pandang masyarakat umum
Agar kita tidak mudah menuding “massa” itu barbar, perlu pendidikan politik dan kultural yang menekankan bahwa protes adalah bagian dari demokrasi. Dilakukan dengan aman, damai, dan dignified itu hak. Dan prioritas negara adalah mendengar, memfasilitasi, memberi solusi, harapan, menenangkan dan bukan memukul.
Penutup: Revolusi Narasi, Bukan Rusuh
Persoalan “Kenapa rakyat selalu dipersalahkan” bukan semata kritik terhadap kekuasaan dan media, tapi juga ajakan revolusi narasi. Saat framing berubah-dari menyalahkan ke memahami, menenangkan-solusi pun akan berbeda. Yakinlah rakyat bukan kaum barbar yang tergelincir, melainkan pengingat demokrasi yang dipanggil untuk memperbaiki janji-janji yang retak, ibu pertiwi yang tercabik. Dan yang harus rusuh itu bukan jalanan, melainkan paradigma kita yang menyudutkan dan mungkin memperkecilkan mereka. Marilah kita bangun keadilan narasi dan negara yang mendengar penuh empati. Wallahu a’lam. (***)








Discussion about this post