Oleh : Dr. Noviardi Ferzi (Warga Kota Jambi)
LAPORAN Keterangan Pertanggung jawaban (LKPJ) Walikota Jambi 2021 belum mengambarkan capaian tema besar visi misi Walikota menjadikan Kota Jambi sebagai pusat perdagangan dan jasa berbasis masyarakat berakhlak dan berbudaya dengan mengedepankan pelayanan prima bisa dikatakan belum berjalan dalam jalur (On the track).
Secara realitas, Visi menjadikan Kota Jambi pusat perdagangan dan jasa hanya ringan – ringan saja. Di kata ringan, karena tanpa dijadikan visi sekalipun, kota sebagai ibukota Provinsi Jambi telah lama menjadi pusat perdagangan dan jasa, saat ini tinggal memperbesar volume ekonominya secara modern lebih kekinian.
Namun karena sudah menjadi RPJMD, Visi Walikota ini tetap harus ditagih realisasinya.
Hari ini nyaris tidak ada pusat ekonomi baru yang di inisiasi pemkot di Jambi. Salah satu contohnya, Mall Jambi City Center (JCC) yang berada di eks terminal Simpang Kawat, Kota Jambi, belum tahu pasti kapan akan beroperasi. Pusat bisnis yang dibangun dengan pola Build Operating Transfer (BOT) seolah menjadi monumen bisu sentra perdagangan yang belum terwujud, tak jelas kapan mau difungsikan.
Selain itu, kota belum memiliki produk unggulan untuk diperdagangkan, kondisi ini muara dari tidak jelasnya program inkubasi bisnis yang dilakukan Pemkot, produk apa, keunikan apa, skala berapa dan menyasar kemana. Tak pernah jelas, jika pun ada masih sebatas seremonial dan foto sana – sini, nyaris tanpa kreasi apalagi planning yang mumpuni.
Malahan kondisinya, para pelaku usaha di Kota Jambi menjerit akan pajak dan retribusi tinggi yang diberlakukan Walikota. Padahal, tema besar peningkatan PAD itu ibarat pisau bermata dua bagi masyarakat, karena semangkin tinggi retribusi dan pajak, akan makin membebani masyarakat. Sayang tampaknya pemkot acuh akan hal ini.
Sedangkan untuk sektor jasa, visi ini juga belum terwujud, Kota Jambi dikenal akan jasa apanya. Entahlah jika walikota ingin adu klaim bahwa banyaknya hotel, tempat pendidikan, restoran cafe dan lainnya sebagai bukti kerjanya. Meski kita juga tahu siapa saja walikotanya, hotel, pendidikan dan lainnya telah berjalan, tak perlu dijadikan visi.
Maka di tahun 2021 lalu, visi kota dagang dan jasa ini boleh dikatakan tak ada menunjukkan progresnya. Ada dua indikasi yang menunjukkan ini, pertama, capaian dari PAD Kota Jambi tahun 2021 yang sebesar 450,001 Milyar atau hanya 84,58 persen dari target yang dicanangkan. Selain kualitas dari perencanaan anggaran yang lemah, hal ini menunjukkan ekonomi bisnis di Kota Jambi tidak berkembang sebagaimana yang diharapkan.
Selain itu kegagalan mewujudkan visi kota dagang dan jasa ini sejalan dengan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyatakan Kota Jambi di tahun 2021 menjadi wilayah yang memiliki pengangguran tertinggi di Provinsi Jambi sebesar 10,66%. Logikanya, jika Kota Jambi perdagangan dan jasa hidup tentu banyak orang yang bisa bekerja, buktinya tidak.
Di sektor transportasi, pasca bus sikoja menghilang tiba – tiba, ntah kemana rimbanya, Kota Jambi tidak memiliki sistem transportasi massal yang terpadu di kota Jambi.
Dalam hal ini bisa kita nilai pemerintah Kota Jambi tidak memiliki prioritas penataan sistem transportasi dan pelayanan angkutan umum secara terpadu sebagai satu kesatuan sistem transportasi nasional agar mampu mewujudkan tersedianya jasa transportasi yang seimbang dengan tingkat kebutuhan.
Padahal keberadaan pelayanan angkutan umum yang handal akan mampu mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap penggunaan kendaraan pribadi dan mengurangi serta kemacetan di jalan kota Jambi. Lagi – lagi hal ini luput dari prioritas Walikota.
Kemudian masalah banjir dadakan yang menghantui sebagian warga kota saat hujan. Ini salah contoh desain pembangunan pemkot yang kurang berwawasan lingkungan. Mereka menutup parit, trotoar dan drainase sebagai saluran air permukaan, akibatnya saat hujan sebentar saja, air mengenangi jalan dan pemukiman warga. Lagi – lagi ini tanpa solusi yang jelas dari pemerintah kota. Banjir tetap banjir, usaha menutup drainase untuk trotoar jalan terus.
Kecilnya dampak APBD kota bagi kesejahteraan masyarakat adalah cerminan kualitas belanja yang tidak diarahkan untuk meningkatkan kualitas pertumbuhan ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi berkualitas harus diikuti pemerataan, bukan pertumbuhan yang melahirkan ketimpangan. Nampaknya, ini tidak berlaku di Kota Jambi.
Hari ini pertumbuhan ekonomi kota Jambi yang sebesar 3,94 persen tidak mampu mengatasi gini ratio yang melebar. Disparitas kemiskinan antara kelurahan yang tak tertuntaskan.
Akar masalahnya, APBD Kota Jambi tidak di desain untuk menjawab masalah perkotaan dalam hal kemiskinan, ketimpangan dan angka pengangguran. Ketimpangan kue ekonomi kota juga di dorong oleh penguasaan segelintir oligarki akan proyek infrastruktur yang tidak berpihak pada penguasa lokal. Banyak rekanan luar daerah Jambi yang ikut menikmati pagu anggaran infrastruktur yang semestinya dinikmati pengusaha lokal.
Tentang LKPJ Walikota
Titik fokus LKPJ semestinya diarahkan pada evaluasi kinerja keuangan, pendapatan, belanja, dan pembiayaan dengan mencermati berbagai kemungkinan terjadinya penyimpangan-penyimpangan pengelolaan keuangan daerah.
Dalam proses ini juga dilakukan evaluasi pelayanan publik dengan penilaian kinerja instansi pemerintah adalah perwujudan kewajiban suatu instansi pemerintah untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan misi organisasi pemerintahan.
Titik klimaksnya dapat diakhiri dengan penggunaan hak-hak DPRD untuk menerima dan menolak LKPJ seorang Walikota. Tentu saja menolak dan menerima berdasarkan indikator yang jelas terukur.
Menilai LKPJ Walikota Jambi tahun 2021 dapat melihat beberapa acuan indikator kinerja, mengidentifikasi dan mengurai ukuran kinerja pada setiap indikator kinerja, seberapa besar target kinerja mengidentifikasi target kinerja pada setiap indikator kinerja.
Selanjutnya, menilai capaian atau realisasi kinerja dengan mengidentifikasi realisasi pencapaian kinerja Walikota. Terakhir melakukan Evaluasi kinerja dengan membandingkan antara target dengan realisasi kinerja pada setiap indikator kinerja, dan hitung persen capaian indikator kinerja. Artinya, LKPJ idealnya yang disampaikan Walikota berisi akan hal ini, bukan sebatas data makro yang terlalu jauh untuk diidentifikasi sebagai kinerja Walikota.
Membaca LKPJ 2021 ini terlihat Walikota Jambi masih belum menyajikan pertanggungjawaban hasil kinerja pemerintah daerah secara lengkap (full disclosure), sebagaimana dipersyaratkan dalam PP 13/2019 pasal 15-16 dan masih perlu diselaraskan dengan Indikator Kinerja Utama (IKU) Daerah.
Selain itu, LKPJ belum menyampaikan capaian IKU berdasarkan tolak ukur RENSTRA secara lengkap. Serta tidak dilengkapi dengan uraian permasalahaan atas sebab-sebab ketidaktercapaian terhadap beberapa target yang telah ditetapkan. Kebijakan strategis yang ditetapkan serta status pelaksanaanya juga perlu dijelaskan lebih komprehensif. Bukan sekedar tambal sulam narasi pembenaran akan tampilan visual pembanguna yang dangkal. (***)
Discussion about this post