Oleh : Dr. Noviardi Ferzi (Pengamat)
ECOREVIEW – Pandemi covid-19 menjadi tameng pemerintah atas kenaikan jumlah penduduk miskin di Tanah Air. Ada kesan apapun situasinya, pemerintah selalu berlindung dibalik alasan pandemi.
Sebagai contoh tentang kemiskinan, pemerintah seolah tak mau mengakui, ada pendekatan yang salah dalam hal memerangi kemiskinan. Tetap saja pandemi masih menjadi alasan Favorite.
Soal kemiskinan, Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ada 27,54 juta orang miskin di Tanah Air per Maret 2021. Jumlah ini setara 10,14 persen dari total penduduk Indonesia.
Dari sisi angka, jumlah penduduk miskin sudah menyusut sejak 10 tahun terakhir yang tadinya 30,02 juta atau setara 12,49 persen. Tetapi, di sisi lain, ini juga berarti bahwa pengurangan orang miskin sebanyak 3,5 juta membutuhkan waktu 10 tahun. Tidak sebentar.
Kenaikan jumlah orang miskin akibat pandemi covid-19 ini wajar, karena mobilitas masyarakat di batasi, imbasnya kegiatan ekonomi menurun. Namun, menjadi tidak wajar jika kita hanya menyalahkan, tanpa mau menganalisa apa yang sebenarnya keliru dari sisi kebijakan dan program akan kemiskinan. Tulisan ini mencoba menganalisanya.
Pada puncak pandemi lalu, banyak perusahaan mengurangi produksi atau aktivitas mereka yang berbuntut pada tergerusnya pendapatan, yang diikuti dengan efisiensi, termasuk gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK).
Muaranya, orang yang sebelumnya masuk kelompok rentan miskin menjadi miskin. Tidak sedikit pula pengusaha bangkrut dan mendadak jatuh miskin.
Jika di analisa, soal kemiskinan ada beberapa penyebab yang terlanjur mengakar di masyarakat. Salah satunya faktor struktural, seperti :
Fenomena, rantai kemiskinan turun temurun dari satu keluarga ke keluarga berikutnya. Hal ini terjadi karena minimnya tingkat gizi, pendidikan, dan pendapatan dalam suatu keluarga.
Dari sisi gizi dan pendidikan, sebenarnya pemerintah sudah mencoba memitigasi melalui program pemberantasan stunting dan bantuan dana sekolah 12 tahun. Namun, tetap saja, kualitasnya masih kurang.
Hal ini membuat masyarakat sulit mendapatkan kehidupan yang layak, termasuk pekerjaan dengan pendapatan yang memadai. Belum lagi, penciptaan lapangan kerjanya pun masih minim.
Dalam hal ini pemerintah harus menciptakan lapangan kerja secara memadai, misal seperti di China, mereka meningkatkan industrialisasi dan memajukan teknologi pertanian yang masif, sehingga perekonomian penduduknya bisa diangkat.
Selanjutnya kemiskinan bisa disebabkan, karena pemerintah tidak benar-benar menyiapkan program peningkatan ekonomi struktural bagi masyarakat miskin ke menengah dan menengah ke atas. Imbasnya, pertumbuhan kelas menengah di Indonesia semu.
Indonesia punya 115 juta orang kelas menengah yang tetap rentan miskin, kajian Bank Dunia, sedikit saja terjadi situasi seperti pandemi, mereka gampang turun kelas menjadi orang miskin baru. Banyak yang kekurangan pendapatan, kekurangan pekerjaan.
Peningkatan jumlah orang miskin semakin tak terbendung, sekalipun bansos dari pemerintah mengalir. mencontohkan program bansosnya baik, namun Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) di Kementerian Sosial ternyata belum diperbarui.
Tak heran, jumlah penerima Bansos orang yang sama di tiap tahunnya. Belum tentu juga tepat sasaran dan tidak mampu menyelamatkan orang miskin baru. Banyak pemerintah daerah yang tidak konsisten dalam melakukan update data. Padahal, data menjadi penting, untuk memastikan bantuan tersalurkan dengan tepat.
Kekurangan lain adalah masalah Bansos yang kurang taji dalam menembus belenggu kemiskinan, rancangan sejumlah program kurang tepat. Sebut lah, Kartu Prakerja dan Bantuan Subsidi Upah atau BLT Subsidi Gaji.
Alasannya, masyarakat miskin perlu dana segar untuk bertahan hidup. Sementara, program bansos di atas memaksa masyarakat bermodal pulsa untuk kuota internet demi mengikuti pelatihan online sebagai syarat mendapatkan insentif.
Sedangkan, rumah tangga miskin yang memiliki gadget atau fasilitas internet memadai untuk ikut program seperti Kartu Prakerja juga terbatas.
Sementara BLT Subsidi Gaji diberikan kepada peserta aktif BPJS Ketenagakerjaan. Padahal, pekerja yang kesulitan justru banyak dari sektor informal, yang umumnya tidak menjadi peserta asuransi sosial milik pemerintah tersebut.
Faktor lainnya, soal besaran bansos masih jauh dari ideal. Misalnya saja, bansos tunai atau BLT sebesar Rp300 ribu per penerima per bulan. Padahal, garis kemiskinan Indonesia Rp472 ribu per kapita per bulan pada Maret 2021.
Ambil contoh, satu keluarga terdiri dari tiga orang, maka untuk bertahan hidup kebutuhan dananya harus di atas garis kemiskinan atau sebesar Rp1,4 juta per keluarga. Angka Rp 300 ribu, sangat tidak memadai.
Atas berbagai kekurangan bansos dan kemiskinan yang mengakar ini, sudah seharusnya pemerintah segera berbenah. Sebab bila tidak, semakin banyak jumlah penduduk miskin yang tidak bisa terselamatkan di tengah pandemi.
Pasca pandemi pemerintah harus segera menyusun kebijakan yang lebih terstrukur dan cakap dalam implementasinya. Beberapa program bansos sebenarnya sudah cukup baik, tapi mubazir kalau penyalurannya lamban.
Termasuk yang tak kalah penting adalah menciptakan kebijakan yang terstruktur, seperti reformasi industri agar bisa menciptakan lapangan kerja baru. Khususnya, bagi masyarakat yang sekarang ini menjadi korban PHK dan pendapatannya melorot drastis akibat pandemi. Jadi, banyak hal yang perlu dievaluasi, bukan sekedar menyalahkan pandemi. (***)
Discussion about this post