Oleh : Dr. Noviardi Ferzi (Pengamat)
PROBLEM mendasar dunia ketenagakerjaan Indonesia adalah masalah kesesuaian (link and match) antara kebutuhan dunia kerja terhadap tenaga kerja yang sesuai kompetensinya. Ini bukan cerita lama, yang sudah menjadi faktor lambannya laju penurunan angka pengangguran beberapa tahun terakhir.
Saat ini pemerintah mencatat jumlah pengangguran terbuka 2021 di Indonesia mengalami penurunan sebesar 0,58 persen. Pada 2021 jumlah pengangguran turun menjadi 9,1 juta orang atau 6,49 persen dari 7,07 persen atau 9,7 juta orang pada 2020.
Sedangkan dari sisi jumlah angkatan kerja Indonesia pada Agustus 2021 mencapai 140,15 juta orang, naik 1,93 juta orang dibanding Agustus 2020. Sementara jumlah penduduk usia kerja yang telah bekerja pada Agustus 2021 sebesar 131,05 juta orang. Jumlah itu naik 2,60 juta orang dibanding tahun sebelumnya.
Lambannya laju penurunan jumlah pengangguran diikuti dengan selalu bertambahnya jumlah angkatan kerja berlatar belakang pendidikan SMK dan Perguruan Tinggi (PT) yang menganggur. Kenaikan penganggur lulusan SMK dan PT terus naik.
Faktanya tingkat serapan lulusan perguruan tinggi di dunia kerja masih rendah. Sampai Februari 2021 komposisi tenaga kerja hasil lulusan dari perguruan tinggi hanya 10,18 persen.
Kenaikan jumlah penganggur lulusan SMK dan PT dianggap sebagai buah dari belum terbentuknya keserasian antara sisi suplai dan permintaan tenaga kerja di Indonesia.
Setidaknya ada kemungkinan kemampuan atau skill yang dimiliki lulusan SMK dan PT tidak sesuai dengan kebutuhan industri saat ini. Hal yang perlu dicarikan solusinya oleh pemerintah.
Mulai dari kecocokan skill yang diperoleh, permintaan dunia kerja, link and match yang belum terbangun. Akarnya di institusi pendidikan masih menggunakan kurikulum yang mungkin nanti tak lagi digunakan industri.
Selain itu kehadiran Balai Latihan Kerja (BLK) di daerah belum banyak membantu penyerapan tenaga kerja. Fakta ini membuktikan tidak adanya keserasian antara sisi pasokan dan permintaan tenaga kerja di Indonesia.
Selama ini, dunia usaha di Indonesia sudah terbiasa bergerak sendiri menyiapkan tenaga kerja siap pakai tanpa melibatkan pemerintah. Kebiasaan itu saat ini perlahan mulai diubah.
Sementara untuk merencanakan dan mengembangkan Sumber Daya Manusia (SDM) siap kerja. Namun, proses perubahan itu diakui tidak mudah dilakukan.
Kemampuan kita untuk melihat perubahan teknologi dan skill tenaga kerja yang dibutuhkan untuk masa depan juga terbatas. Kemudian, kerja sama Academician, Business, and Government (ABG) belum terlalu efektif. Ekosistem dan kelembagaan kita masih tertinggal, terutama dalam pembiayaan pelatihan tenaga kerja yang non APBN.
Sebagai contoh, kebutuhan tenaga kerja dengan keterampilan di bidang digital belum sebanding dengan ketersediaan tenaga kerja. Terdapat gap jumlah tenaga kerja di sektor financial technology (fintech) paling banyak untuk pemenuhan kebutuhan tenaga data analis, back-end programming, user experience design, dan manajemen risiko.
Karena era digital sudah bukan lagi perkara masa depan, namun sudah menjadi realita bagi populasi dunia. Perkembangan teknologi yang terus meningkat tajam dari tahun ke tahun pun sebenarnya dilakukan demi mengimbangi kebutuhan manusia akan teknologi yang semakin besar. Dalam setiap aspek kehidupan, selalu ada teknologi digital yang membantu kita sehari-hari, menjadikan aktivitas lebih efisien. Di titik anomali ini supply tenaga kerja harus menjawab tantangan ini. (***)
Discussion about this post