Oleh : Dr. Noviardi Ferzi (Pengamat)
SEAKAN tak peduli. Pemerintah tetap menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 11 persen. Kenaikan ini jika dibaca sekilas kecil, hanya 1 persen dari besaran tarif semula yang 10 persen. Namun, sesungguhnya dari segi besaran, kenaikan itu setara 10 persen dari tarif awal. Suatu lonjakan tarif yang besar dan memberatkan.
Kepastian kenaikan dimuat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), peningkatan PPN ini akan berlaku mulai 1 April 2022. Hal ini bagi masyarakat berat, karena diberlakukan saat semua kebutuhan pangan naik, dari LPG, minyak goreng, tepung terigu dan beberapa komoditi pangan lainnya.
Meskipun kebutuhan sembako tidak dikenakan PPN oleh pemerintah, tapi tetap saja penjual akan menyesuaikan harga di level konsumen. Ditambah faktor bulan Ramadhan dimana permintaan barang baik pangan dan non pangan naik tinggi.
Pemerintah memang memastikan bahan pangan dasar yang dijual di pasar tidak akan dikenakan PPN seperti beras, jagung, garam konsumsi, telur, hingga susu. Barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan, jasa pendidikan, jasa pelayanan sosial dan beberapa jenis jasa lainnya juga diberikan fasilitas pembebasan PPN.
Sementara itu, barang yang dekat dengan masyarakat dan dipastikan naik dan dikenakan PPN 11 persen di antaranya adalah baju atau pakaian, sabun, tas, sepatu, pulsa, rumah, motor dan barang lainnya yang dikenakan PPN.
Namun kenaikan PPN adalah bola liar yang akan dimanfaatkan produsen sudah lama ingin menaikkan harga di level konsumen. Sepanjang kuartal pertama 2022 harga di level produsen sudah naik. Pada Januari 2022, Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) atau indeks harga produsen (IHP) umum nasional naik sebesar 0,75 persen terhadap IHPB Desember 2021. Harap dicatat, ini sebelum kenaikan, konon lagi jika kenaikan PPN diberlakukan.
Kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) meskipun kecil diyakini akan tetap berdampak kepada masyarakat serta tingkat penjualan barang. Terlebih, kenaikan PPN diberlakukan saat ada lonjakan harga komoditas pangan serta menjelang Ramadan.
Dalam kacamata ini kita bisa menilai momen kenaikan PPN tidak tepat. Pasalnya, saat ini masyarakat masih menghadapi dampak kenaikan harga komoditas pangan dan energi dunia. Harga minyak goreng, misalnya, melambung seiring kenaikan harga CPO di pasar dunia.
Apalagi secara historis, harga-harga barang terutama sembako juga akan naik menjelang Ramadhan. Kenaikan harga komoditas yang terakumulasi secara serentak. Kenaikan satu barang akan memantik kenaikan kenaikan harga barang lainnya, tidak terkecuali sembako. Sembako memang tidak dikenai PPN tapi barang-barang lain yang dikenai PPN akan naik harganya sehingga mempengaruhi harga sembako.
Di sini akan terjadi Second round effect, efek lanjutan yang muncul karena kenaikan tarif PPN. Saat ini sejumlah barang produk pengolahan seperti biskuit dan minuman kemasan kemungkinan terancam naik seiring kenaikan PPN. Padahal, barang-barang tersebut banyak dibeli masyarakat menjelang Hari Raya Idul Fitri.
Selain itu kenaikan PPN akan berimbas pada tingkat penjualan produk di mal dan pusat perbelanjaan seperti pakaian dan alas kaki. Padahal, urat nadi mal dan pusat perbelanjaan baru hidup kembali setelah terpuruk karena pandemi.
Apapun ceritanya kenaikan PPN akan berdampak kepada masyarakat karena kenaikan tarifnya akan diteruskan langsung kepada konsumen akhir. Perubahan tarif PPN pun akan langsung dirasakan masyarakat, terutama oleh masyarakat kelas menengah bawah.
Tentu saja muara kenaikan PPN akan memperlambat pemulihan daya beli masyarakat dan pemulihan ekonomi. Dampak yang akan terjadi adalah pemulihan tingkat penjualan akan menjadi semakin lama.
Untuk mengantisipasi dampak kenaikan PPN 11 persen, salah satu pilihannya, pemerintah harus menjaga stabilitas energi melalui dana kompensasi dan dana subsidi energi. Setidaknya BBM, listrik dan LPG tidak ikut alami kenaikan sepanjang April-Mei.
Kemudian kelancaran distribusi dan keamanan pasokan pangan merupakan tugas penting untuk jaga inflasi dari sisi bahan pangan (volatile food). Bagi pelaku usaha insentif perlu juga diberikan, khususnya jenis produk atau usaha yang memiliki dampak kenaikan PPN. Namun berbagai subsidi tetap buah simalakama, karena akan mengguras APBN, padahal pemerintah menaikan PPN untuk menambal anggaran. (***)
Discussion about this post